Saturday, July 27, 2013

The Paynes and The Pauper

Finalis #1DFanficContest13


LILS

“Selamat pagi! Selamat datang di Starbucks. Namaku Ashley. Kau ingin pesan apa?” sapa seorang gadis barista dengan ramah. “Aku ingin secangkir latte vanilla tanpa gula,” balas seorang pria muda berambut cokelat. “Semuanya jadi 4.5 poundsterling. Siapa namamu?” lanjut gadis barista itu. “Daniel,” jawabnya lagi. “OK Daniel,” gumam Ashley sambil menulis D-A-N-I-E-L pada cup latte pesanannya, “Counter pengambilan ada di sebelah sana dan semoga harimu menyenangkan, Daniel,” ujar Ashley mengakhiri pembicaraannya. “Kau juga, Ashley,” Daniel tersenyum lebar dan menatap Ashley dengan mata birunya yang menawan. Ashley dibuat tertegun sejenak dengan pesona Daniel dan setelan jasnya. “Aku ingin pesan secangkir besar kopi hitam,” seru pelanggan di antrian selanjutnya kepada Ashley. “Oh, maaf. Pesanan Anda akan siap sebentar lagi,” kata Ashley sambil berusaha kembali fokus pada pekerjaannya.
Melayani pesanan pelanggan di Starbucks merupakan bagian dari rutinitas pagi Ashley Keegan, mahasiswi tahun pertama di University of London, pada liburannya kali ini.  Karena saat ini kampus sedang libur musim dingin, Ashley memutuskan untuk menghabiskan waktu di Wolverhampton dengan menginap di apartemen sepupunya, Emily Keegan. Sambil mengisi waktu liburan, Ashley dan Emily bekerja part time sebagai barista di Starbucks, coffee shop tersibuk di kota Wolverhampton.
“Aku bisa melihat dengan jelas kalau kau suka dengan pria yang memesan latte vanilla itu, Ash. Kau bahkan tidak bisa berhenti memandanginya sampai ia berjalan keluar toko kita,” ledek Emily pada Ashley ketika jam makan siang. “Daniel? Kau pasti bercanda, Ems. Aku tahu dia sangat charming dengan setelan jasnya yang berwarna abu-abu itu, tapi aku bukan tipe orang yang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama,” balas Ashley cuek sambil mengaduk-aduk salad, menu makan siangnya hari itu. Emily malah tertawa lebar mendengar jawaban sepupunya itu. Ashley terlihat sedikit gusar akibat ulah sepupunya yang iseng. “Santai,Ash. Aku memang Cuma bercanda kok. Oh iya, aku ingin memperlihatkan sesuatu kepadamu,” kata Emily sambil mengoper iPhone-nya kepada Ashley. Ashley melihat iPhone Emily, ada sebuah halaman facebook. Ia mulai meneliti akun facebook siapakah itu dan Ashley langsung batuk-batuk tersedak ketika melihat nama dan foto pemilik akun facebook tersebut. “Daniel Payne? Daniel vanilla latte? Dari mana kau bisa tahu facebok-nya, Ems?  Dasar penguntit,” Ashley tertawa canggung, menyembunyikan keadaan kalaua ia sedikit salah tingkah, sambil mengembalikan iPhone Emily. “Pelankan suaramu, Ashley. Jangan sampai orang lain tahu siapa Daniel itu sebenarnya,” kata Emily. “Apa maksudmu, Ems?” tanya Ashley penasaran.
Emily kemudian mengibaskan rambut pirangnya, menaikkan kacamatanya dan mulai bergaya seperti seorang detektif, “Ashley Keegan, kau tahu nama belakang Daniel?” tanya Emily. “Payne?” jawabnya. “Dan kau tahu orang lain yang memiliki nama belakang Payne selain Daniel?” lanjut Emily. “Liam One Direction?” ujar Ashley. “Bingo! Liam dan Daniel adalah saudara sepupu. LIAM dan DANIEL PAYNE,” seru Emily penuh semangat sambil mengguncang-guncang badan Ashley. Ashley tertawa melihat kehebohan sepupunya. Emily adalah fans berat One Direction. Tidak hanya Ashley, sepertinya semua orang di Wolverhampton juga sangat mengagumi Liam. “Bayangkan, Ash. Kau menikah dengan Daniel dan aku dengan Liam. Kita akan hidup bahagia selamanya,” Emily sangat antusias menjelaskan khayalannya. Ashley menaikkan alisnya menatap sepupunya dengan bingung, “Ems, as much as I love to hear about your possibly-never-going-to-happen plan, I hate to say that our lunch break has over,” Ashley meledek balik Emily dengan memasang mimik muka sedih, kemudian ia tertawa lebar. “Oh God, I’m such a terrible actor,” ujarnya. “Never say never, Ash” balas Emily penuh arti.
 Sore itu tampak berjalan seperti biasa bagi Ashley dan Emily. Setelah menyelesaikan jam kerja mereka di Starbucks, Ashley dan Emily kebagian tugas untuk merapikan dan menutup toko. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam ketika mereka akhirnya mematikan lampu toko dan menguncinya. Cuaca di Wolverhampton yang semakin dingin pada malam hari membuat Ashley melepas ikatan ponytail-nya, rambut brunette Ashley yang lurus panjang menutupi tengkuknya, membuatnya sedikit lebih hangat. “Ash, sepertinya  iPhone ku tertinggal di toko. Bisakah kau menunggu di sini sebentar? Aku akan kembali ke toko mengambilnya,” kata Emily setelah mereka sudah sampai di stasiun subway. “No problem, Ems,” jawab Ashley santai.
Ashley menunggu Emily sambil mengamati kesibukan yang terjadi di stasiun subway Grove Street, salah satu stasiun subway tersibuk di Wolverhampton, sesekali ia meniup-niup tangannya karena kedinginan. Meskipun stasiun ini bisa dibilang yang tersibuk di Wolverhampton, bagi Ashley ini masih tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan kehebohan di stasiun-stasiun subway di London. Ashley melihat di depannya ada seorang pria yang berdiri sangat dekat dengan platform. Pria itu sedang sibuk berbicara di telepon, jadi wajar kalau ia tidak memperhatikan kalau ia sudah berdiri terlalu dekat ke pinggir dekat rel kereta. Pria itu sepertinya sedang bertengkar dengan seseorang di telepon, ia berbicara amat serius, sampai-sampai ia terpeleset terjatuh ke rel kereta. Kepanikan mulai terjadi di stasiun subway, orang-orang segera mengerumuni tempat kejadian dan berusaha untuk menolong pria malang tersebut. Ashley berusaha keras untuk menembus kerumunan dan ia sangat terkejut setelah mengetahui bahwa pria yang jatuh dari platform adalah Daniel Payne. “Oh God, he’s Daniel! We need to call an ambulance, now!” teriak Ashley yang panik karena melihat kondisi Daniel yang pingsan di platform.
“Ash, ada apa? Kenapa ada petugas medis di sini? Was there an accident? Are you OK, Ash? You look super shocked,” tanya Emily kebingungan setelah kembali ke stasiun. Ashley menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Ems, kita harus ke rumah sakit sekarang. Daniel Payne baru saja terjatuh dari platform subway. Kepalanya terbentur rel kereta cukup keras. Aku harus memastikan kalau ia baik-baik saja,” Ashley menjelaskan.
       ******
Ashley dan Emily menunggu dengan cemas di depan ruang gawat darurat Rumah Sakit St. Claire. Sesekali mereka berdua mengintip dari balik kaca untuk mengetahui tindakan apa yang sedang dokter dan perawat lakukan terhadap Daniel. Emily melihat ekspresi wajah Ashley yang sangat khawatir, “Geez Ashley, aku rasa kau benar-benar suka pada Daniel,” celetuknya.
Ashley segera menghampiri seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang gawat darurat. “Bagaimana keadaan Daniel? Bolehkah aku masuk menemuinya?” tanya Ashley sopan. “Maaf nona, tapi yang boleh mengunjungi pasien di ruang gawat darurat hanya pihak keluarga saja,” jawab perawat tersebut dingin. Ashley terlihat kecewa karena tidak bisa masuk menjenguk Daniel. “Sepupuku ini adalah tunangan pasien, maksudku calon tunangannya. Mereka seharusnya bertunangan akhir pekan ini, tapi sepertinya kecelakaan hari ini akan menunda hari bahagia mereka,” ujar Emily tiba-tiba. Mendengar perkataan Emily, perawat tersebut memasang ekspresi tidak enak hati pada Ashley. “Baiklah nona, kau diizinkan masuk menemui pasien,” perawat tersebut membukakan pintu untuk Ashley.
“Selamat malam, aku Dokter Smith, dan kau?” tanya dokter yang merawat Daniel sambil menjabat tangan Ashley. “Namaku Ashley Keegan, aku tunangan Daniel, maksudku calon tunangannya. Kami seharusnya bertunangan akhir pekan ini,” kata Ashley memasang muka sedih menerawang. Ia berharap dokter Smith bisa percaya kalau dirinya terlihat seperti pacar Daniel, terlepas dari aktingnya yang buruk. “Aku sangat menyesal mengatakan ini,tapi sepertinya kau harus menunda pertunanganmu karena kecelakaan ini,” dokter Smith menjelaskan. “Apakah Daniel akan baik-baik saja?” tanya Ashley. “Daniel akan baik-baik saja, tapi mungkin ia akan tertidur selama beberapa hari ke depan,” lanjut dokter Smith. “Maksud dokter, Daniel mengalami koma?” tanya Ashley khawatir. “Bisa dibilang begitu, tapi ia pasti akan tersadar dalam beberapa hari dan setelah itu ia akan baik-baik saja seperti sedia kala,” dokter Smith menepuk bahu Ashley, berusaha menenangkan kepanikan gadis itu.
Dokter Smith mengantar Ashley keluar ruang gawat darurat. “Melihat keadaan Daniel yang cukup stabil, besok pagi kami akan memindahkannya ke ruang perawatan di lantai 4,” kata dokter Smith seraya berjalan meninggalkan Ashley dan Emily di bangsal rumah sakit. “Bagaimana keadaan Daniel?” tanya Emily penasaran. “Daniel baik-baik saja, tapi dokter bilang mungkin ia akan mengalami koma selama beberapa hari ke depan. Besok pagi ia akan dipindahkan ke ruang perawatan,” Ashley menjelaskan.
Ashley kembali ke Rumah sakit St. Claire ketika jam istirahat makan siang hari berikutnya. Ia mengintip dari kaca pintu ada beberapa orang sedang berkumpul di dalam ruang perawatan Daniel. Ashley dengan mudah menebak kalau orang-orang itu adalah itu keluarga Daniel, mereka semua berambut pirang sepertinya. Ashley sempat mengurungkan niatnya menjenguk Daniel, namun ia merasa bertanggung jawab untuk mengecek keadaan pria itu. Ashley menarik napas, mengumpulkan keberaniannya dan kemudian mengetuk pintu ruang perawatan Daniel dengan perlahan.
Seorang gadis berambut pirang membukakan pintu, “Apakah kau Ashley?” tanyanya. “Ya, aku Ashley Keegan,” jawab Ashley canggung. “Namaku Nicola. Aku sepupu Daniel. Mari masuk Ashley, kami semua sudah menunggu untuk bertemu denganmu dari tadi” lanjutnya penuh semangat. “Ashley!” seru seorang pria paruh baya sambil memeluk Ashley erat. “Senang bertemu denganmu, Nak. Aku Geoff Payne, paman Daniel dan ini istriku, Karen. Ayah dan ibu Daniel meninggal ketika Daniel masih kecil dan sejak saat itu Daniel tinggal bersama kami,” pria itu memperkenalkan diri. “Ashley, ini nenekku dan nenek Daniel juga. Nenek Beatrice,” Nicola memperkenalkan seorang wanita yang kira-kira berusia 70 tahun. Ashley menjabat tangan Nenek Beatrice dengan sopan. “Oh, aku senang sekali bisa bertemu dengan calon istri Daniel. Kau sangat cantik Ashley. Kau mengingatkanku pada aku ketika masih seumur dirimu,” ujar Nenek Beatrice hangat. Ashley tersipu-sipu mendengar pujian tersebut, “Ah, nenek bisa saja. Aku masih tetap kalah cantik kok dengan nenek yang sekarang,” balas Ashley tulus.
“Perawat memberi tahu kami tentang seorang gadis bernama Ashley yang adalah calon tunangan Daniel. Terus terang kami kaget sekali, Ashley. Daniel tidak pernah memberi tahu kami kalau ia punya pacar dan akan segera bertunangan akhir pekan ini,” ayah Daniel membuka pembicaraan serius. Ashley merasa ini sudah saatnya ia memberi tahu keluarga Daniel kalau ia bukan tunangan Daniel dan kemarin ia hanya berbohong supaya bisa berbicara dengan dokter tentang keadaan pria itu setelah kecelakaan.
 “Mr. Payne, sebenarnya aku…” Ashley baru saja mengucapkan beberapa patah kata itu dan Geoff memotongnya, “Kau bisa memanggilku Geoff, kita kan sebentar lagi akan menjadi keluarga,” kata Geoff Payne ramah.  “Geoff, menurutku kita harus memberikan privasi untuk Ashley dan Daniel. Ashley kan ke sini untuk menjenguk Daniel. Mungkin dengan menghabiskan lebih banyak waktu dengan gadis yang ia cintai, Daniel bisa  cepat sembuh,” ujar Karen Payne tiba-tiba.  “Tidak apa-apa Mrs. Payne, aku memang ingin mengatakan sesuatu kepada kalian,” jawab Ashley. “Kau bisa mengatakannya besok,” celetuk Nicola. “Besok? Apa maksudmu?” tanya Ashley kebingungan.  “Kau diundang ke acara Natal tahunan keluarga Payne. Kita akan makan malam bersama dan saling bertukar kado. Di sana juga akan ada anggota keluarga Payne yang lain. Aku yakin kau akan menyukai acara kami. Kau mau datang kan Ashley?” pinta Nicola. Ashley semakin dibuat bingung dengan permintaan Nicola. Sebenarnya Ashley ingin cepat-cepat mengakhiri kebohongannya sebelum ia sudah masuk terlalu jauh ke dalam keluarga Payne. Namun, sambutan keluarga Payne begitu baik kepadanya. Lagipula, sejak ayah dan ibu Ashley bertugas menjadi relawan di Afrika dua tahun belakangan ini, Ashley hampir tidak pernah merayakan Natal lagi bersama keluarganya. “Satu malam lagi dan aku akan mengakhiri ini semua,” ujar Ashley dalam hatinya.
“Baiklah, Nicola. Aku akan datang besok. Terima kasih sudah mengundangku,” jawab Ashley gembira.
Nenek Beatrice, Geoff, Karen dan Nicola akhirnya keluar dari ruang perawatan Daniel dan sekarang tinggal Daniel dan Ashley di dalam ruangan itu. Ashley memandangi wajah tampan Daniel yang sedang tertidur tenang. Ia tidak tampak seperti orang yang koma. Ashley mulai memutar kembali kejadian kemarin bagaimana ia pertama kali bertemu Daniel di Starbucks, di subway, dan sekarang di ruang perawatan rumah sakit St. Claire. Ashley juga teringat lagi bagaimana sambutan yang diberikan oleh nenek, ayah, dan sepupu Daniel kepadanya. Semua itu membuat hatinya terasa hangat. Ashley membayangkan betapa ia sangat beruntung kalau seandainya ia benar adalah calon tunangan Daniel.
“Hai Daniel, ini aku Ashley,” Ashley mengenggam tangan Daniel, mencoba berbicara dengannya. Ia tahu Daniel tidak bisa mendengarnya sekarang, tapi setidaknya bisa mengeluarkan apa yang mengganjal di dalam hatinya akan membuat Ashley merasa lebih lega. “Kau mungkin lupa kalau kau pernah bertemu denganku di Starbucks. Jadi, aku memperkenalkan diriku lagi. Ketika kau bangun, pasti kau akan kaget mendengar kalau aku mengaku-ngaku sebagai tunanganmu. Aku benar-benar minta maaf. Perawat tidak mengizinkanku berbicara dengan dokter kemarin malam, padahal saat itu aku ingin memastikan kau baik-baik saja. Jadi, aku terpaksa mengaku sebagai tunanganmu. Itu ide Emily, sepupuku. Sebenarnya aku sudah ingin mengakhiri kebohongan ini tadi ketika bertemu dengan keluargamu, tapi mereka begitu baik kepadaku. Mereka bahkan mengundangku ke acara Natal keluargamu. Aku bilang aku akan datang besok. Aku berjanji begitu pesta itu selesai, aku akan mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya tidak ingin kesepian Natal tahun ini. Aku harap kau mau memaafkanku,” Ashley melepaskan genggamannya, mengelap matanya yang berkaca-kaca menggunakan lengan kemeja.
“Nona Keegan, tunggu sebentar,” seorang perawat berteriak memanggil Ashley yang baru saja selesai menjenguk Daniel. “Ada apa?” tanya Ashley pada perawat yang terlihat membawa satu boks kecil berisi barang-barang. “Aku ingin menyerahkan barang-barang Liam Payne kepadamu. Kami mengumpulkan barang-barang ini dari tas pasien semalam ketika ia dibawa kemari,” perawat itu menjelaskan. “Baiklah, terima kasih. Aku akan memberikan ini kepada keluarga Daniel nanti,” kata Ashley sambil mengambil boks itu. “Nona Keegan, aku turut menyesal atas pertunanganmu yang tertunda. Kau tahu, menurutku kau dan Liam Payne adalah pasangan yang sangat serasi,” kata perawat itu lagi. “Terima kasih, Olivia,” balas Ashley setelah melihat name-tag perawat tersebut agar ia tidak salah menyebut nama.
***
“Bagaimana keadaan Daniel, Ash?” tanya Emily ketika Ashley kembali ke apartemen mereka. “Daniel masih belum tersadar dari koma,” jawab Ashley sambil meletakkan sebuah boks kecil di meja. “Apa yang ada di dalam boks?” tanya Emily. “Oh. Itu barang-barang Daniel. Perawat memberikannya kepadaku, besok aku akan menyerahkan boks itu kepada ayah Daniel,” ujar Ashley. “Ayah Daniel? Memangnya kau sudah kenal dengan keluarga Payne?” tanya Emily. “Aku baru bertemu dengan mereka tadi. Belum semuanya sih, hanya ayah, sepupu dan nenek Daniel,” lanjutnya. “Wow! Apakah Liam juga ada di sana?” Emily terdengar sangat bersemangat. Ashley tertawa melihat tingkah laku sepupunya. “Kurasa tidak, Ems. Mungkin besok aku baru bisa bertemu Liam,”kata Ashley. “Besok?” tanyanya lagi. “Ya, besok. Keluarga Payne mengundangku ke pesta Natal tahunan keluarga mereka,” Ashley menjelaskan. “Apakah kau sudah mengatakan yang sebenarnya pada keluarga Daniel? Kalau kau bukan calon tunangannya?” Emily menginterogasi sepupunya. “Itulah masalahnya, Ems. Aku sudah berniat untuk mengatakan kepada mereka tadi, tapi baru saja aku hendak mengatakannya, ayah Daniel memotong kata-kataku. Keluarga Payne sangat baik kepadaku dan aku akan menyakiti perasaan mereka dengan pengakuanku. Tapi aku sudah berkomitmen, besok setelah pesta selesai, aku akan mengatakan yang sebenarnya kalau aku bukan calon tunangan Daniel,” ujar Ashley mantap. “Kau tahu Ems, sebenarnya ada bagian dalam diriku yang berharap aku bisa menjadi bagian dari keluarga Payne, meskipun bukan sebagai calon tunangan Daniel. Ada sesuatu dalam keluarga itu yang bisa menghangatkanmu,” lanjut Ashley menerawang.
Pembicaraan Ashley dan Emily terputus karena mereka mendengar ada suara telepon berdering. Mereka mencari-cari dari mana asal suara itu dan ternyata seseorang menelepon iPhone Daniel yang ditinggalkan di dalam boks dari rumah sakit. Ashley mengambil iPhone itu dan melihat di layar muncul nama penelepon adalah Clarissa.  “Menurutmu, aku harus mengangkat telepon ini?” tanya Ashley kepada Emily. Emily menggeleng, “Diamkan saja, Ash.”
“Kau tahu Ems, sepertinya Clarissa ini punya hubungan yang sangat dekat dengan Daniel. Banyak sekali SMS dan voice mail yang ditinggalkan gadis ini untuk Daniel,” kata Ashley setelah melihat notifikasi di iPhone Daniel. Ashley yang terdorong oleh rasa penasarannya, mulai menyusuri satu-satu histori percakapan Clarissa dengan Daniel. “Ya Tuhan! Ems, Clarissa ini adalah tunangan Daniel yang asli. Mantan tunangan, maksudku. Mereka baru saja putus sekitar sehari sebelum Daniel mengalami kecelakaan dan sekarang Jen ingin kembali pada Daniel. Sepertinya Clarissa sudah menelepon Daniel sebanyak lebih dari 100 kali selama dua hari ini,” Ashley menjelaskan. “Ash, kau harus segera mengakhiri semua ini besok. Lebih cepat, lebih baik. Apabila Daniel bangun dari koma atau Clarissa muncul, keadaan akan menjadi sangat rumit untukmu,” Emily menasehati sepupunya.
***
Malam itu Ashley datang ke rumah Nenek Beatrice untuk menghadiri acara Natal keluarga Payne. Ashley mengenakan sweater rusa yang dipinjamnya dari Emily. Ibu Ashley sangat sibuk sampai ia tidak pernah punya waktu untuk merajut sweater seperti orang tua yang lain. Ashley terlihat sangat manis mengenakan sweater itu, tapi dalam waktu yang bersamaan ia juga tampak gugup membayangkan bagaimana reaksi keluarga Payne setelah mendengar pengakuannya. Namun Emily benar, Ashley harus mengakhiri semuanya sebelum ia terjebak dalam kebohongan lebih jauh lagi.
“Ashley! Akhirnya kau datang juga. Aku akan memperkenalkanmu kepada anggota keluarga kami yang lain,” Nicola sangat bersemangat menyambut Ashley di depan pintu. Nicola mulai mengenalkan Ashley kepada saudaranya, Ruth. Lalu ada Paman George, Bibi Sylvia, Paman James, Bibi Elizabeth si kembar berambut ginger Katherine dan Victoria, dan masih ada beberapa anggota keluarga Payne yang lain yang Ashley masih belum terlalu hapal nama-namanya. “Kemarin rumah sakit memberikan boks yang berisi barang-barang Daniel ini kepadaku,” ujar Ashley sambil menyerahkan boks itu kepada Ruth. Ruth mengambil boks itu “Sebentar ya Ashley, aku akan meletakkan boks ini di tempat yang aman,” bisiknya.
“Semuanya, Ashley sudah datang. Mari kita mulai acara tukar kadonya!” seru Geoff Payne dengan semangat menghampiri Ashley. “Acara tukar kado? Geoff, aku sama sekali tidak menyiapkan kado untuk kalian,” Ashley terdengar panik. “Tenang saja Ashley. Setelah kau bertunangan dengan Daniel, kau akam punya banyak waktu bersama keluarga Payne,” Geoff menepuk bahu Ashley menenangkan gadis itu. “Kau bisa ikut memberikan kado untuk kami mulai tahun depan, tapi sebagai permulaan, tahun ini nenek Betarice telah menyiapkan kado spesial untukmu,” Geoff mengantarkan Ashley ke ruang keluarga Payne, di mana semua orang telah berkumpul di depan perapian.
Rumah nenek Beatrice sangat besar dibandingkan dengan ukuran rumah-rumah pada umumnya di Wolverhampton, terlihat rumah ini sudah turun temurun dihuni keluarga Payne. Ashley memperhatikan bangunan rumah itu tampak sudah berusia ratusan tahun dan banyak sekali foto-foto anggota keluarga Payne tergantung di setiap sudut ruangan di rumah itu. Mereka tampak seperti keluarga besar yang sangat bahagia. Tampak juga ada foto Daniel dan Liam, mereka berdua sangat mirip ketika kecil.  Namun sayang sekali, tampaknya Liam tidak hadir di acara Natal tahunan keluarga Payne, padahal Ashley penasaran pada personel One Direction satu ini yang bisa membuat Emily sampai tergila-gila. Di atas perapian tergantung banyak kaos kaki bertuliskan nama-nama anggota keluarga Payne dan betapa terkejutnya Ashley ketika di ujung ada kaos kaki yang bertuliskan namanya juga. “Hei Ruth, apakah kau memiliki anggota keluarga yang bernama Ashley juga?” bisik Ashley kepada Ruth. Ruth tertawa lebar, tampak giginya yang mengenakan kawat. “Tidak Ash, nenek Beatrice khusus membuatnya untukmu semalam. Kau kan calon tunangannya Daniel, kau akan segera menjadi bagian dari keluarga kami juga. Tunggu saja sampai kau melihat apa yang nenek Beatrice sudah siapkan sebagai kado Natalmu, kau akan sangat terkejut,” Ruth tersenyum penuh arti mengakhiri kalimatnya.
“Baiklah untuk hadiah pertama tahun ini, aku akan memberikannya untuk Ashley,” Nenek Beatrice mengambil sebuah boks di atas meja dekat perapian. Ashley menghampiri nenek Beatrice untuk mengambil kadonya. “Aku harap kau menyukainya Ashley, aku langsung membuatnya semalaman kemarin setelah ketika bertemu di rumah sakit,” kata Nenek Beatrice. Ashley membuka boks itu dan ia mendapati semua sweater berwarna pink cerah sebagai hadiah Natalnya dari keluarga Payne. Ashley benar-benar terharu, baru kali ini ada seseorang yang khusus membuatkan sweater untuknya. “Terimakasih Nenek Beatrice, aku benar-benar menyukai sweater ini,” Ashley memeluk Nenek Beatrice dengan erat. Nenek Beatrice mengelus-elus punggung Ashley, “Sama-sama, Ashley. Selamat datang di keluarga Payne ya,” balas Nenek Beatrice. Ashley kembali ke tempat duduknya dan ia memandangi sweater itu, hatinya mulai dliputi rasa bersalah. Di satu sisi, ia sangat menyukai keluaga Payne dan sangat terharu dengan perhatian yang mereka berikan dan sisi lain, ia tahu ia tidak pantas mendapatkan sweater itu karena ia bukan tunangan Daniel. Clarissa lah yang pantas mendapatkan semua ini, perhatian keluarga Payne dan juga sweater pink tersebut.
Ashley menghela napas panjang, membuka mulutnya dan mengatakan “Perhatian semuanya, ada hal penting yang ingin kusampaikan. Sebenarnya aku…” Ashley sebenarnya sudah tahu kelanjutan kata-katanya, tapi ada sesuatu yang membuatnya lidahnya kaku dan suaranya tidak keluar. “Aku…” Ashley berusaha melanjutkan kata-katanya lagi, tapi ia terus gagal. “Apa yang ingin kau katakan Ashley?” tanya Nenek Beatrice cemas. Melihat tatapan cemas Nenek Beatrice, Ashley benar-benar merasa tidak enak apabila ia harus menyakiti perasaan orang yang telah merajutkan sweater pertamanya. Ashley terdiam sejenak, lalu ia melanjutkan kata-katanya, “Sebenarnya aku merasa sangat beruntung telah mengenal kalian semua, keluarga Payne, Kalian yang terbaik,” jawab Ashley sambil mengangkat gelas egg-nog nya untuk bersulang.
Malam itu salju turun dengan sangat lebat, tadinya Ashley hendak memaksakan diri untuk pulang naik bis, tapi Karen Payne tidak mengizinkannya karena malam itu cuaca sangat dingin. Karen memaksa Ashley untuk menginap di rumah Nenek Beatrice, Ruth dan Nicola menawarkan Ashley untuk tidur di kamar mereka, tapi Ashley memutuskan untuk tidur di sofa di ruang keluarga Payne. Ia sama sekali tidak bisa tidur karena hatinya dipenuhi rasa bersalah karena telah membohongi orang-orang. Namun bagaimana lagi, Ashley benar-benar tidak tega menyakiti hati keluarga Payne, Ashley sepertinya menyukai keluarga Payne lebih daripada ia menyukai Daniel.
Waktu sudah menujukkan hampir tengah malam, Ashley yang tidak bisa tidur tiba-tiba mendengar ada suara ketukan pintu. Ashley ingin membukakan pintu untuk orang itu, tapi ternyata Nicola sudah buru-buru lari dari kamarnya di lantai atas untuk membukakan pintu. “Ruth, Nicola! Aku tidak percaya ini. Kalian hampir sama tingginya denganku!” Ashley bisa mendengar bahwa itu adalah suara seorang pria yang sedang berbicara. “Liam, pelankan suaramu. Nanti kau bisa membangunkan Ashley,” balas Nicola. Ashley kaget begitu mendengar Nicola mengucapkan nama itu. Akhirnya Liam muncul juga. Ashley bisa membayangkan kalau Emily yang ada di posisinya sekarang, pasti Emily akan langsung berteriak heboh menghampiri Liam. Ashley bukan Emily, Ashley malah menarik selimutnya lebih dalam, mencoba untuk tidur dan tidak ingin mencampuri urusan Liam dan kedua adiknya.
Keesokan paginya, Geoff Payne meminta Liam untuk mengantar Ashley pulang ke apartemennya. Ashley dan Liam berkenalan pertama kali dalam suasana yang amat canggung. Liam sangat dingin menanggapi Ashley, sangat berbeda jauh dengan tanggapan anggota keluarga Payne yang lain. Hampir 15 menit pertama perjalanan mobil dari rumah keluarga Payne ke apartemen Ashley berlalu tanpa ada satu kata pun yang diucapkan dari Ashley ataupun Liam. Ashley berusaha mencairkan suasana dan mengajak Liam ngobrol duluan. “Terima kasih Liam kau sudah mau mengantarkanku pulang.” “Sama-sama Ashley,” jawab Liam pendek. “Aku tahu kau pasti sangat lelah baru tengah malam malam tiba di rumah dan paginya kau harus bangun dan mengantarkanku pulang,” kata Ashley tidak enak. “Tidak masalah. Aku sudah terbiasa seperti ini. Hanya tidur beberapa jam dan besoknya aku harus bangun pagi-pagi dan mengerjakan aktivitas yang lain,” Liam menjelaskan.
Bagi Ashley perjalanan mobil dengan Liam selama 30 menit tersebut adalah salah 30 menit tercanggung dalam hidupnya. Ashley hanya ingin cepat-cepat turun dari mobil. “Kau bisa menurunkanku di sini Liam, apartemenku tinggal beberapa meter saja,” ujar Ashley. Liam memberhentikan mobilnya, kemudian ia menatap Ashley dengan tajam. “Aku tahu kau bukan tunangan sepupuku. Daniel pernah memperkenalkan tunangannya kepadaku, ketika kami bertemu di London. Nama tunangan Daniel adalah Clarissa, bukan Ashley dan ia juga beberapa tahun lebih tua daripada kau,” kata-kata Liam membuat Ashley sangat ketakutan. “Kau tidak percaya padaku?” tanya Ashley balik. “Mana buktinya kalau memang kau tunangan Daniel?” Liam semakin sengit menuduh Ashley. “Clarissa dan Daniel sudah membatalkan pertunangan mereka, Liam. Kalau kau tidak percaya, kau bisa tanya Daniel ketika ia sadar nanti,” kata Ashley mantap karena kali ini ia tidak berbohong. “Benarkah? Wow! Aku benar-benar minta maaf telah menuduhmu Ashley,” tiba-tiba Liam yang dingin jadi berubah 180 derajat. Ia tampak sangat merasa bersalah dan mengeluarkan senyum permintaan maafnya yang tulus.
***
“Ashley! Kau tidak percaya siapa yang datang ke Starbucks sore ini,” Emily berteriak histeris di dapur Starbucks. “Biar kutebak, kalau kau histeris seperti ini..One Direction?”  jawab Ashley asal. “Bagaimana kau bisa tahu? Liam Payne ada di sini Ashley!” Emily berteriak semakin kencang. “Wow. Tenangkan dirimu, Ems. Teriakanmu bisa memecahkan cangkir-cangkir yang sedang kucuci,” Ashley meledek sepupunya. “Liam memang sedang ada di Wolverhampton kan, wajar kalau ia datang ke Starbucks,” lanjut Ashley. “Tapi ia kemari mencarimu, Ash,” Emily memelankan suara, ia terdengar serius. Ashley yang sudah selesai mencuci piring terakhirnya, segera mengelap tangan dan langsung ke luar dari dapur. “Sampaikan terima kasihku pada Liam karena sudah mau foto bareng,” teriak Emily dari dapur.
“Kata Emily, kau mencariku. Ada apa Liam? Dari mana kau tahu aku bekerja di sini?” Ashley mendekati meja Liam. “Hai Ash! Nicola memberi tahuku kalau kau bekerja di sini. Ia melihat seragam yang kau kenakan ke rumah sakit beberapa hari lalu. Aku hanya ingin minta maaf atas sikapku tadi pagi dan mungkin kita bisa mengobrol sebentar,” kata Liam. “Baiklah, kita bisa ngobrol di sini. Kau tidak keberatan kan menungguku sampai selesai membereskan dapur? Kau ingin pesan apa? Aku yang traktir,” tanya Ashley. “Vanilla latte, tanpa gula,” jawab Liam pendek.
“Aku tidak menyangka kau punya selera kopi yang sama dengan sepupumu,” ujar Ashley sambil meletakkan secangkir vanilla latte pesanan Liam. “Ngomong-ngomong ke mana sepupumu? Ia benar-benar histeris ketika melihatku, aku pikir ia akan pingsan,” kata Liam polos. Ashley tertawa mendengar ucapan Liam. “Emily sudah pulang tadi lewat pintu belakang, she’s going to have a date with her boyfriend,” jawab Ashley. “Emily is the biggest Directioner, I’ve ever known in my life,” Ashley mempromosikan sepupunya. “Apakah kau juga seorang Directioner?” tanya Liam penasaran. “Kalau boleh jujur, aku lebih sering mendengarkan lagu Coldplay dan Adele di iPod ku. Tapi, aku menyukai lagu-lagu kalian di album kedua, terutama “Little Things”. Aku mendengarkan laguitu dan membayangkan gadis yang kalian dedikasikan lagu itu adalah gadis yang paling beruntung di dunia ini. Apakah kalian banyak menulis lagu di album ini? Liriknya banyak terdengar seperti curahan hati yang mendalam,” tanya Ashley penasaran. “Produser memang memberikan kesempatan kepada kami untuk menulis lebih banyak lagu di album ini,” jawab Liam.
Daniel sudah mengalami koma selama seminggu dan sudah hampir 5 hari belakangan ini pula Liam selalu datang mengunjungi Ashley ketika Starbucks tutup hanya untuk mengobrol ringan dengan gadis itu. Ashley juga tidak keberatan meluangkan waktu untuk berbicara dengan Liam. Lain dengan Emily, Ashley tidak mengenal Liam sebagai anggota One Direction, boyband nomor satu di dunia saat ini. Ashley hanya melihat Liam sebagai seorang pria muda dari Wolverhampton yang sebaya dengannya, memiliki kepribadian yang menarik dan selalu menyenangkan untuk diajak mengobrol.
“Aku tidak percaya kau pernah ke Jepang, Liam!” seru Ashley bersemangat sore itu. “Aku selalu ingin pergi ke Jepang. Aku menonton banyak anime, mempelajari kebudayaan Jepang, bahkan aku bisa sedikit berbicara dalam bahasa Jepang, tapi aku tidak pernah ke sana. Ceritakan padaku, bagaimana rasanya menggelar konser di Jepang? Apakah Directioners di sana lebih histeris daripada Emily?” Ashley memberikan pertanyaan bertubi-tubi pada Liam. Liam tertawa mendengar semua pertanyaan Ashley, kemudian ia mulai menjawabnya. “Jepang adalah negara di Asia yang pertama kali kami kunjungi untuk tur dunia. Aku suka berada di sana, Jepang memiliki kebudayaan yang jauh berbeda dengan Inggris, tapi itu sangat menarik. Directioners di sana sangat bersemangat dan mereka sangat kreatif. Mereka banyak membuat poster-poster lucu untuk menyambut kami. Aku ada boneka hinamatsuri dari Jepang. Aku tadinya mau memberikannya untuk Ruth dan Nicola, tapi ternyata mereka tidak begitu suka boneka seperti itu. Aku akan membawakannya untukmu besok,” Liam menawarkan dengan tulus.
“Hei Liam, apa malam ini kau ada acara? Para barista di Starbucks akan mengadakan malam karaoke di apartemenku dan aku secara khusus mengundangmu untuk menjadi bintang tamu,” ajak Ashley. Liam mengernyitkan dahinya, ia tampak ragu-ragu. “Ayolah Liam! Ini akan menyenangkan. Kau bisa menjadi juri selebriti di acara kami,” lanjut Ashley. “Baiklah, Ash,” jawab Liam sambil tertawa. Liam dan Ashley sudah turun dari mobil dan mulai berjalan menyusuri halaman parkir apartemen dan tiba-tiba salju turun dengan sangat lebat. Ashley yang tidak tahu cuaca akan menjadi dingin, malam itu hanya mengenakan jaket yang tidak terlalu tebal. Ia terlihat gemetaran ketika berjalan. Liam yang melihat Ashley gemetaran langsung melepaskan jaket tebalnya dan mengenakannya pada Ashley. “Jangan repot-repot Liam, Sedikit dingin sudah biasa kok,” ujar Ashley hendak melepaskan jaket itu. Liam memegang tangan Ashley, menghentikan gadis itu melepas jaketnya. “Tidak apa-apa Ash. Kau adalah calon tunangan sepupuku. Aku akan merasa bersalah sekali pada Daniel apabila aku tidak menjagamu dengan baik selama ia tidak ada,” kata Liam mantap. Wajah Ashley sedikit memerah, ketika Liam mengenakan kembali jaket itu padanya, jantungnya berdebar kencang dan ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. “Terima kasih, Liam,” ujar Ashley canggung.
Malam karaoke di apartemen Ashley dan Emily berlangsung sangat seru. Kegiatan ini merupakan acara rutin para barista di Starbucks setiap bulannya. Bagi Ashley dan Liam ini adalah kali pertama mereka mengikuti malam karaoke Starbucks. “Liam bagaimana kalau kau menyanyikan sebuah lagu untuk kami semua di sini? Kapan lagi kami bisa punya kesempatan menyaksikan penamplian langsung personel One Direction di hadapan kami secara gratis” celetuk William, salah satu barista yang hadir pada malam itu. Semua yang hadir ikut mendukung permintaan William, “Liam, Liam, Liam,” seru yang lain menyemangati Liam untuk tampil. Liam meminjam sebuah gitar milik James, salah satu tamu malam itu dan mulai bersiap-siap akan tampil menyanyikan sebuah lagu. Semua yang hadir bertepuk tangan menyambut penampilan Liam. Liam menyanyikan lagu “They Don’t Know About Us” secara akustik. Emily memperhatikan gerak-gerik Liam yang sering mencuri-curi pandang ke Ashley selama menyanyikan lagu itu. “Ash, kurasa Liam menyanyikan lagu ini untukmu,” bisik Emily. “Jangan bercanda, Ems. Tadi sebelum masuk ke sini, Liam sudah bilang kok kalau ia hanya menganggapku sebagai calon sepupu iparnya,” balas Ashley, meskipun dalam hati, ia berharap apa yang dikatakan Emily tentang Liam itu benar adanya.
***
Paginya, Ashley terbangun dengan melihat ada 20 missed calls dan sebuah SMS dari Nicola. Ashley membaca SMS tersebut dan isinya mengatakan bahwa Daniel sudah sadar dari komanya dan ingin berbicara empat mata dengan Ashley. Ashley langsung lemas membaca SMS dari Nicola, ia tahu kebohongannya akan segera terbongkar. Ashley segera bergegas menuju Rumah Sakit St. Claire.
Ruang perawatan Daniel terlihat sepi, tidak ada tanda-tanda keramaian dari keluarga Payne di sana. Ashley membuka pintu ruangan itu dengan hati-hati dan ia melihat Daniel yang tampaknya sudah menunggu Ashley dari tadi. “Hai Ashley!” sapa Daniel ramah. Berlawanan dengan Daniel, Ashley tampak sangat ketakutan melihat Daniel. “Hai Daniel!” sapa Ashley balik.
“Semua orang terus-menerus bertanya padaku tentang dirimu. Apakah aku mengingat kau sebagai calon tunanganku dan tentu saja aku bilang tidak karena memang kita tidak bertunangan kan? Atau memang kita bertunangan dan aku sudah mengalami amnesia akibat jatuh dari platform subway?” tanya Daniel sungguh-sungguh. “Aku benar-benar minta maaf, Daniel. Aku tahu kau pasti akan kaget mendengar apa yang telah kulakukan padamu,” jawab Ashley lirih. “Terus terang, ketika ayahku menyebutkan calon tunanganku bernama Ashley, aku langsung teringat padamu. Gadis barista di Starbucks yang melayani pesananku di pagi sebelum kecelakaan dan ternyata benar dugaanku. Aku sama sekali tidak marah. Aku malah sangat beterima kasih kau telah mengantarkanku ke rumah sakit dan memastikan aku baik-baik saja,” kata Daniel. “Lalu bagaimana dengan tunanganmu yang sebenarnya? Aku benar-benar merasa tidak enak,” lanjut Ashley lagi. “Santai saja, Ash. Aku tidak bertunangan dengan siapa-siapa sekarang. Clarissa telah memutuskan pertunangan kami, meskipun sebenarnya aku masih sangat menyanyanginya,” Daniel terlihat sedih meratapi nasib percintaannya yang buruk. “Kau tahu, aku benar-benar terkejut karena nenek dan ayahku tampaknya sangat menyukaimu dan mereka berharap kau benar-benar akan menjadi bagian dari keluarga Payne. Mereka tidak pernah bersikap begitu kepada Clarissa,” lanjut Daniel. “Kurasa siapapun yang bisa menjadi bagian dari keluarga Payne akan sangat beruntung karena keluargamu benar-benar luar biasa, Daniel,” jawab Ashley.
“Apakah kau mau menolongku?” tanya Daniel tiba-tiba. “Melihat semua kekacauan yang telah kubuat tentu saja aku harus menebus kesalahanku padamu,” jawab Ashley. “Bagaimana kalau kita pura-pura bertunangan? Aku akan mengundang Clarissa dan apabila ia masih mencintaiku, ia pasti akan menghentikan pertunangan ini dan kau bisa terbebas dari sandiwaramu tanpa perlu menjelaskan apa-apa. Kita sama-sama untung bukan?” Daniel memberikan penawaran pada Ashley. Dengan cepat Ashley langsung mengangguk menyetujui rencana Daniel.
Daniel dan Ashley mengadakan acara pertunangan mereka pada akhir pekan di halaman belakang rumah Payne. Semua anggota keluarga Payne tampak sangat antusias mempersiapkan acara ini, terutama nenek Beatrice. Nenek sampai khusus membelikan Ashley sebuah gaun berwarna kuning cerah yang akan dikenakan pada hari pertunangan Ashley dengan Daniel. Selain Daniel dan Ashley, hanya Emily yang tahu bahwa rencana pertunangan Daniel dan Ashley ini adalah rekayasa untuk Daniel kembali pada Clarissa dan Ashley bisa lepas dari kebohongannya pada keluarga Payne.
“Kau yakin tidak akan memberi tahu kedua orang tuamu kalau kau akan bertunangan? tanya Emily kepada Ashley ketika mereka berdua sedang bersiap-siap sebelum acara. “Ini hanya pertunangan bohongan, Ems. Aku tidak mau orang tuaku sampai repot-repot datang dari Afrika untuk menghadiri pertunangan yang pasti 100% akan gagal,” jawab Ashley cuek sambil merapikan gaun kuningnya. “Lalu bagaimana dengan Liam, Ash? Kau sudah siap kalau harus menjauh darinya?” tanya Emily lagi. Ashley terdiam sejenak, ia benar-benar tidak tahu jawaban atas pertanyaan Ashley. Dalam hati kecilnya, Ashley sangat takut apabila ia harus kehilangan Liam. “Kita lihat saja nanti,” jawab Ashley datar.
Sementara itu di ruangan yang berbeda, Liam dan Daniel sedang bersiap-siap. “Daniel, Nenek ingin kau menggunakan cincin ini untuk melamar Ashley,” ujar Liam sambil menyodorkan sebuah kotak cincin kepada Daniel. “Sekarang aku baru mengerti mengapa nenek, paman dan bibi, Ruth dan Nicola, serta kau sangat menyukai Ashley. Ashley gadis yang baik, dia pantas mengenakan cincin milik nenek di jari manisnya. Aku benar-benar berharap hubungan kalian bisa selanggeng kakek dan nenek,” lanjut Liam tulus. Daniel bisa merasakan kalau adiknya memiliki perasaan pada Ashley. “Aku berjanji padamu, semuanya akan berakhir bahagia, Liam,” kata Daniel sambil mengedipkan matanya.
Acara pertunangan Daniel dan Ashley siap dilaksanakan. Seluruh anggota keluarga Payne telah duduk di kursi mereka masing-masing, Daniel dan Ashley sudah berdiri di hadapan para tamu. Daniel berlutut di hadapan Ashley, mengeluarkan sebuah kotak cincin dari kantong jasnya. Daniel membuka kotak itu dan tampak sebuah cincin sapphire yang sangat indah. “Ashley Katherine Keegan, maukah menikah denganku?” Daniel mengajukan pertanyaan. Wajah Ashley memerah sepersekian detik mendengar ucapan Daniel, meskipun ia tahu Daniel hanya berpura-pura mengatakan itu. Ashley mengalihkan pandangannya ke arah Liam berharap Liam akan melakukan sesuatu untuk membatalkan pertunangan ini, tapi Liam hanya tersenyum dan menyemangati Ashley untuk menerima lamaran Daniel.
“Aku keberatan! Hentikan pertunangan ini!” teriak seorang wanita.
“Clarissa?” ujar Daniel setengah kaget. Daniel tidak bisa membohongi dirinya kalau ia senang melihat Clarissa datang.
“Siapa gadis ini, Daniel? Salah satu dari mantan pacarmu? Berani-beraninya ia datang kemari dan mencoba menghentikan pertunanganmu dan Ashley,” Nenek Beatrice marah besar. Liam segera bangun dari tempat duduknya dan menarik Clarissa menjauh dari acara pertunangan Daniel dan Ashley. “Daniel, lakukan sesuatu! Aku ini tunanganmu kan?” teriak Clarissa lagi. Ashley melihat Daniel yang kebingungan, ia ingin menolong Clarissa, tapi ia tidak berani melawan kemarahan Nenek Beatrice.
“Liam, lepaskan Clarissa. Clarissa adalah tunangan Daniel yang asli dan aku lah yang telah berbohong mengaku-ngaku sebagai tunangan Daniel,” ujar Ashley tiba-tiba. Liam langsung melepaskan Clarissa saking terkejutnya mendengar pengakuan Ashley.
“Apa maksudmu, Ashley? Mengapa kau mencoba membohongi kami semua?” tanya Liam sengit.
“Ashley tidak salah. Ia terpaksa mengaku sebagai tunanganku karena malam setelah mengantarkanku ke rumah sakit, perawat tidak mengizinkan Ashley yang tidak memilki hubungan apa-apa denganku untuk berbicara dengan dokter. Maksud Ashley baik, kalian jangan menyalahkan dia dan lagipula acara pertunangan ini juga ideku. Aku yang meminta Ashley untuk berpura-pura bertunangan denganku, Daniel menjelaskan.
“Lalu apa yang membuatmu berbohong sampai selama ini Ashley? Mengapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya dari awal?” tanya Geoff Payne.
“Itu semua karena aku sudah terlanjur menyukai kalian semua, seluruh anggota keluarga Payne. Aku takut apabila aku mengatakan yang sebenarnya, aku akan kehilangan kalian yang sudah membuatku akhirnya bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga. Aku benar-benar minta maaf. Masih ada satu hal lagi yang harus kukatakan, aku memang menyukai salah seorang anggota dari keluarga ini dan bukan Daniel yang aku maksud, tapi Liam,” Ashley berusaha tegar mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Suasana pesta yang tadinya hening menjadi kacau seketika, seluruh keluarga Payne jadi sibuk sendiri berkomentar akan apa yang baru saja terjadi. Ashley dan Emily merasa ini kesempatan yang baik untuk segera meninggalkan rumah keluarga Payne.
“Kau baik-baik saja, Ash?” tanya Emily pada sepupunya. Ashley sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun dari saat pengakuannya di depan keluarga Payne, sampai mereka sudah sampai di halte bis.
“Aku tidak baik-baik saja, Ems. Apa yang harus aku lakukan?” Ashley langsung menangis di pelukan Emily. Emily memeluk Ashley erat, mengusap-usap punggung Emily. “Aku benar-benar minta maaf, Ash. Semua ini ideku,” bisiknya lirih.
***
Hari ini adalah hari terkahir Ashley bekerja paruh waktu di Starbucks, besok ia akan terbang kembali ke London untuk melanjutkan kuliahnya.
“Thanks Emily for letting me spends my winter break in Wolverhampton. Such a crazy experience, but I’m so lucky to have my cousin by my side all the time,” ujar Ashley sambil mengerjakan tugasnya terakhirnya di Starbucks, mencuci gelas dan piring di dapur. “You’re very welcome, Ash. But I think you should thank the Payne family for the experience they gave you,” balas Emily yang membantu Ashley mengelap piring. “Aku rasa begitu, hampir sebagian besar dari liburan ini adalah tentang keluarga Payne. Well, just don’t mention about them anymore. They’re a great family, but I’m no longer part of them,” balas Ashley datar.
“Ems, sepertinya ada yang memencet bel dari meja kasir, aku cek dulu ya,” Ashley keluar dari dapur dan melihat di depan meja kasir, ada Ruth dan Nicola Payne. Ashley sedikit terkejut melihat mereka karena sudah seminggu sejak kejadian di rumah keluarga Payne dan tidak ada satupun dari mereka yang menghubungi Ashley lagi. “Hai Ash! Aku tahu toko sudah hampir tutup, tapi apakah kami masih bisa memesan kopi?” pinta Ruth dengan sedikit memohon. Ashley tersenyum melihat mereka berdua, “Kalian hanya berdua? Tentu saja. Kau ingin pesan apa?” tanyanya. Kami sebenarnya sedang menunggu seseorang. Can we have a cup of vanilla latte with no sugar?” jawab Nicola. “No problem. Sebentar ya, aku akan ke dapur menyiapkan pesananmu,” ujar Ashley ramah.
Ashley keluar dari dapur dan ia makin terkejut dengan pemandangan yang ada di depannya, Nicola dan Ruth tiba-tiba sudah tidak ada lagi dan digantikan dengan Liam yang sedang berdiri di depan meja kasir. “Liam? Mengapa tiba-tiba kau muncul di sini? Ke mana adik-adikmu?” tanya Ashley bingung. Liam tertawa kecil mendengar pertanyaan Ashley. “Sebenarnya mereka memesan kopi itu untukku,” jawabnya. “Baiklah, semuanya jadi 4,5 pounds, Liam,” kata Ashley. “OK, Ash,” Liam kemudian merogoh uang dari kantongnya untuk membayar kopi itu. Namun ternyata bukan uang yang keluar dari kantong jeans Liam, tapi sebuah cincin sapphire yang tampak tidak asing bagi Ashley.
“Kau tahu kalau Starbucks hanya menerima pembayaran dalam bentuk uang tunai kan?” sindir Ashley. “Tapi aku tidak bermaksud membayar pesanan kopiku dengan cincin ini, cincin ini untukmu,” Liam menyodorkan cincin itu ke arah Ashley. “Kau jangan bercanda Liam,” balas Ashley mengembalikan cincin itu ke arah Liam.
“Cincin itu sekarang jadi milikmu Ashley,” ujar sebuah suara tiba-tiba. Ashley mencari asal suara itu dan ternyata suara itu adalah suara nenek Beatrice yang datang dengan Nicola, Ruth, Daniel, dan Clarissa. Ashley tidak mengerti maksud perkataan nenek Beatrice, “Cincin itu kan harusnya jadi milik Clarissa karena ia yang akan menikah dengan Daniel, bukan aku,” balasnya polos. “Aku tidak memerlukan cincin itu lagi Ashley. Selama aku bisa bersama dengan Daniel, aku tidak peduli cincin apapun yang melekat di jari manisku,” celetuk Clarissa sambil menatap Daniel dengan mesra. Ashley turut senang melihat akhirnya Daniel dan Clarissa bisa bahagia bersama.
 “Tidak Liam, aku tidak mau menikah denganmu, Mungkin tidak untuk sekarang ini,” Ashley tertawa canggung menutupi kebingungannya. Liam tertawa geli mendengar ucapan Ashley, “Kau benar-benar salah paham, Ash. Kau bahkan belum mendengar pertanyaanku. Baiklah Ashley Katherine Keegan, apakah kau mau menjadi pacarku? tanya Liam serius. Seketika wajah Ashley langsung memerah dan jantungnya berdetak sangat cepat. Ashley tahu kalau ini pertanyaan yang sudah lama ia tunggu dari Liam, tapi saat yang sama ia benar-benar terkejut dan tidak tahu harus menjawab apa. Ini pertama kalinya seorang pria menyatakan perasaannya pada Ashley. Ashley terdiam cukup lama sambil menatap cincin itu.
“For God’s sake, Ashley. Just say yes. I know you’ve been waiting for this your whole life,” teriak Emily yang muncul dari balik pintu dapur. “Ems, you’re embarrassing me!” gerutu Ashley. Ashley kemudian mengangguk malu-malu, “Ya, Liam James Payne, aku mau jadi pacarmu.” “Tidak usah panik, Ash. This is just a promise ring, OK?” bisik Liam memasangkan cincin di jari manis Ashley. Semua orang yang menyaksikan kejadian tadi bertepuk tangan meriah dan mereka memberikan selamat kepada Liam dan Ashley. Senyum terus mengembang di wajah Ashley, ia tidak pernah merasa lebih bahagia daripada hari itu.
***
“You know that I had a huge crush on your family first, and then on you right?” kata Ashley keesokan harinya dalam penerbangan menuju London. Liam tertawa lebar, “I know, is my family the best one in the world?” tanya Liam balik. “They are,” jawab Ashley pendek sambil menyandarkan kepalanya di bahu Liam.
Liburan musim dingin sudah berakhir. Ashley melanjutkan kuliahnya lagi di Universitas London dan Liam juga kembali beraktivitas dengan One Direction. Liam dan Ashley sepakat untuk menjaga agar hubungannya jauh dari sorotan media. Tentu saja anggota One Direction yang lain tahu tentang Liam dan Ashley dan mereka sangat mendukung hubungan keduanya. Ketika pernikahan Daniel dan Clarissa pun, Ashley datang mendampingi Liam, namun ia berhasil lolos dari sorotan paparazzi. Liam dan Ashley memang sengaja merahasiakan hubungan mereka dari media karena Ashley hanya melihat dirinya berpacaran dengan Liam anggota keluarga Payne, bukan Liam Payne anggota dari boyband nomor satu dunia, One Direction.

Bring Me To Your Heart


Finalis #1DFanficContest13

oleh Desi Dwi Wahyuni , 19

HLS


“And the last winner… For Harry’s girl… Is…. KIARA FROM INDONESIA!!!!!!”
            Kalimat yang mengalun dari radio kala itu masih melekat kuat di benak Kiara, Directioners asal Indonesia yang berhasil memenangkan kompetisi “Bring Me To 1Date 2013”. Bagaimana tidak? Mimpinya untuk bertemu dengan idolanya, One Direction sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Tidak hanya bertemu, Kiara dan empat gadis beruntung lainnya dari berbagai penjuru dunia juga akan kencan seharian dengan masing-masing personil 1D sebagai hadiah karena telah memenangkan kompetisi ini.
            Gadis manis itu kini sedang duduk sendirian di pesawat, terbang menjemput impiannya untuk bertemu lima cowok yang baginya adalah cowok-cowok paling tampan sedunia. Matanya terus mengeluarkan butiran air mata sembari memandang lautan awan di luar jendela. Dalam hati ia terus berpikir, “Is it real? Am I dreaming?”
Lalu suara-suara lain menjejali otak Kiara, membuat air matanya semakin menetes ketika mengingat kembali bagaimana kalimat-kalimat itu dulu selalu menjatuhkan harapannya.
            “You’ll never meet them!”
            “They don’t even know you’re exsist!”
            “Wake up and get a life! They’re not real!”
            “They’re celebrity! And you’re just an ordinary girl. Just stop dreaming!”
            Tapi Kiara ada di sini sekarang. Tiba di London dengan selamat dan semakin dekat dengan impiannya. Bukan, sekarang ini bukan mimpi lagi.

Sesampainya di hotel di dekat O2 Arena, tempat 1D akan menggelar konser besok malam, untuk pertama kalinya Kiara bertemu dengan pemenang-pemenang lain. Orang pertama yang menarik perhatiannya adalah seorang gadis dengan wajah hispanik yang amat sangat cantik, sampai-sampai Kiara berpikir panitia memenangkan gadis ini karena kecantikannya, bukan karena challenge yang mereka berikan.
“HIIIIIII GUUUYS!!!!!” tiba-tiba sesuatu menubruk Kiara dari belakang. Belum sempat ia menyadari apa yang terjadi, dia langsung dipeluk bersamaan dengan gadis-gadis yang lain.
 “OH MY GOD I’M SO HAPPY TO MEET YOU GIRLS! I’M SO EXCITED!” Pekik sebuah suara melengking. “Haloooo! My name is Hanna Chang, I’m from China, and I’m Niall’s girl!” Sesosok gadis berwajah oriental muncul di hadapan Kiara. Tubuhnya mungil, bahkan lebih pendek dari Kiara. Wajahnya yang tampak ramah sekaligus ceria entah bagaimana membuat Kiara merasa Hanna akan jadi teman baiknya.
“Hi! I’m Kiara from Indonesia. I’m Harry’s girl. Nice to meet you!” Kiara tersenyum sambil menjabat tangan Hanna yang putih.
“Seriously? Harry’s girl?” ujar seorang gadis yang baru saja datang sambil menarik koper yang lebih pas disebut lemari yang ditambah roda.
“I’m sorry, but I thought Harry’s girl is the hottest one, but…”Cewek pirang itu tersenyum sengak sambil menurunkan sedikit kacamata hitamnya. Mengamati Kiara dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Ah never mind! Hi, I’m Erica by the way. Louis’ girl from United States.”
“Nice to meet you all! My name is Therine. You can call me The, or Therine, whatever! And by the way, I’m going to be Mrs. Malik for three days!” kata seorang pemenang lain dengan logat Perancis yang kental.
“My name is Briza from Spain and I’m Liam’s girl. Nice to meet you girls!”
“So, we’re One Direction’s girlfriends now? AAAAAAAaaa~” Mereka berlima berpelukan erat sekali lagi seperti sekelompok sahabat yang baru saja bertemu setelah bertahun-tahun. Gadis-gadis beruntung ini bahkan meneteskan air mata karena telah berhasil mewujudkan mimpi mereka bersama-sama. Walau mereka belum pernah bertemu, tapi sebagai Directioners, mereka punya ikatan.

“Bring Me To 1Date” adalah kompetisi yang sangat istimewa. Hanya ada lima pemenang untuk masing-masing personil One Direction. Mungkin karena itu juga challenge yang diberikan untuk kompetisi ini cukup berat. Para peserta harus membuat video tentang kecintaan mereka kepada 1D yang unik dan kreatif untuk diposting ke youtube. Setelah hampir sebulan proses penjurian, akhirnya dipilihlah mereka berlima sebagai pemenang yang diumumkan di radio BBC London. Dari ratusan ribu peserta menjadi lima pemanang. Semua ini pasti sangat menguras emosi mereka bahkan setelah mereka menang.

Malam ini Kiara tidak bisa tidur. Ia terlalu takut untuk memejamkan mata. Ia tidak siap jika harus terbangun di tempat lain dan menyadari kalau ini semua hanya mimpi. Kalau benar ini hanya mimpi, Kiara tidak ingin terbangun. Tidak sebelum kisah ini berakhir.
***
Arena konser sudah dipenuhi oleh para Directioners sejak berjam-jam yang lalu, termasuk kelima orang pemenang yang menempati kursi VVIP. Tapi ini konser, apa serunya nonton konser sambil duduk? Jadi mereka berlima bersama dengan penonton yang lain meneriakkan nama idola mereka sambil mengangkat tinggi poster-poster mereka, berharap kelima cowok super tampan itu akan melihat ke arah mereka.
Teriakan semakin menjadi ketika lampu padam dan layar mulai menyala, menampilkan video pembuka yang membuat bulu kuduk merinding dan tenggorokan tercekat menahan haru. Penonton semakin tidak sabar menanti idola mereka datang. Sampai akhirnya ketika mereka benar-benar datang dan berdiri di panggung, mereka semua kompak berteriak histeris sekuat yang mereka bisa sampai tak mampu lagi bersuara. Sampai hanya tersisa air mata bahagia yang mampu mengungkapkan segala perasaan gembira sekaligus bangga melihat lima orang pemuda yang kini berdiri di puncak kesuksesan setelah perjuangan panjang yang telah mereka lalui.
Konser malam ini luar biasa dan amat sangat berkesan bagi semua orang yang ada di tempat ini. Termasuk Kiara yang baru pertama kali melihat langsung dengan jarak beberapa langkah saja idolanya dalam sosok nyata, bukannya poster. Sambil berangkulan, kelima pemenang menikmati konser sambil bernyanyi bersama. Fangirling bersama ketika salah satu dari cowok-cowok itu melambai atau sekedar menolah ke arah mereka. One Direction tidak hanya bernyanyi malam ini, tapi juga bermain, bersenang-senang, dan bercanda satu sama lain. Menyebarkan kebahagiaan kepada semua yang hadir di sini. Konser One Direction di O2 Arena London sukses besar. Selalu.
“Thank you to everyone who’s coming tonight! You guys are absolutely incredible!”
“Thank you and bye bye!”
“See you laterrrrrrr!”
***
Konser sudah usai, tapi bagi para pemenang, ini baru permulaan. Setelah konser, kelima gadis ini berkumpul di backstage untuk menanti hadiah mereka, Liam, Louis, Niall, Zayn, dan Harry. Mereka semua gugup setengah mati, termasuk juga Erica yang sejak kemarin selalu bersikap cool di depan semua orang. She loves Boo Bear so much. Mungkin karena itu juga dia selalu bergaya seperti Eleanor, pacar Louis.
Lain Erica lain juga Kiara. Ia tidak bisa tenang sejak pertama kali tiba di sini. Tangannya gemetar dan jantungnya berdetak tidak karuan. Rasanya bahagia tapi juga cemas. Ini adalah perasaan paling luar biasa yang pernah dirasakannya.
“Relax Kiara, relax.”
“I’ve tried but I can’t. I’m too nervous, Hanna!” Kata Kiara dengan suara gemetar.
“Look at me.” Hanna meraih tangan Kiara dan menggenggam tangannya. “Breath in…” Kiara memejamkan mata dan mengikuti apa yang dilakukan Hanna.
“Breath out.”
Fiuhhhhhh~
“Again. Breath in…. breath out.”
“Okay that’s good. Do it again until you feel better.”
“Breath in…. breath out. Breath in… breath out.”
“VAS HAPPENIN, LADIESSSSSS!!!”
DEG!
……..
……..
……..
……..
……..
“Oh… My… God. Kiara, you should open your eyes right… NOW! AAAAAAAAAaaaa!!!!!!” Lengkingan Hanna kini melebur bersama dengan suara riuh gadis-gadis yang histeris bertemu dengan idolanya. Kelima cowok idama itu masuk ke backstage dan langsung disambut dengan pelukan dan air mata. Ucapan syukur dan kata-kata penuh cinta mengalir keluar dari bibir gadis-gadis beruntung itu.
“Wait a minute, where’s my girl?”
Kiara sudah biasa mendengar suara serak yang dalam itu lewat CD maupun youtube. Namun ketika mendengarnya langsung, suara itu jadi terdengar seratus kali lebih memikat dan membuatnya serasa ingin lompat dari atas gedung. KYAAAAAAAA~
“I-I’m here…” Dengan kaki gemetar ia berusaha berdiri. Ketika Kiara membuka matanya, ia merasa bagai ditelan bumi. Lelaki di depannya ini, dengan tubuh tinggi besar dan otot yang menyembul dari balik lengan bajunya, rambut keritingnya yang fenomenal, dan dimples itu… semuanya nyata. Harry Edward Styles berdiri tepat di hadapannya!
“Hi! I’m Kiara, from Indonesia.” Katanya canggung sambil menggigit bibir.
“Hi! I’m Harry from Chesire.” Harry tersenyum sambil melambaikan tangannya. Astaga senyum itu…… Kiara tidak bisa menahan diri lagi. Ia pun berlari memeluk Harry.
“Oh my God you’re real! My poster’s alive! Can I hug you?!” Kiara sesengukan di dada Harry yang bidang dan tertutup t-shirt putih tipis.
“Ow, okay.” Kiara bisa merasakan tangan besar Harry melingkar di pinggangnya. “But you’re already hug me.”
“Yeah, I know.” Kiara tersenyum dalam pelukan Harry. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh Harry yang sangat luar biasa. Aroma parfum Blue de Channel tidak pernah semenakjubkan ini.
“Umm, you won’t let me go, don’t you?” Suara serak itu berbisik di telinga Kiara.
“Oh all right. I’m sorry! I’m just too excited.” Kiara melepaskan pelukannya dengan enggan. Bekas air mata yang cukup lebar menempel di t-shirt Harry.
“It’s okay babe.”
“Why you both stop? Lets hug again! Do the group hug!!!!” seru Louis yang langsung menghampiri Harry dan Kiara, diikuti oleh Zayn, Niall, dan Liam beserta keempat pemenang yang lain. Semua orang berpelukan dalam satu lingkaran besar.
“Oh my God this is amazing! You guys are so funny and easy going and amazing!” Isak Therine yang langsung disambut pelukan oleh Zayn.
“Yeah it’s like a dream come true!” tambah Kiara semangat sambil terus menatap Harry.
“Aaahh we can’t believe we can meet you all too. Thanks for struggling so hard to win this competition. You guys make me wanna cry.” Tambah Liam bangga.
Tak lama setelah pertemuan pertama itu, mereka semua larut dalam tawa, saling berbagi cerita, dan tanda tangan serta foto bersama tentunya. Kelima pemenang sudah menanti saat-saat ini sejak lama. Bukan untuk memajang foto mereka di mana-mana dan membuat Directioners lain hampir mati karena jealous, tapi hanya untuk menyimpannya sebagai kenangan indah yang tak terlupakan.
            Pertemuan di backstage itu tidak berlangsung lama karena hari sudah larut dan mereka semua harus istirahat. Desahan penuh kekecewaan dari para pemenang bergema di seluruh ruangan.
            “Don’t be mad, girls. We’re going to date tomorrow!” kata Niall meninju udara.
***
“So, what do you think about these girls, boys?” tanya Louis sebelum mereka berlima tidur.
“They’re nice. I like my girl, Hanna. She’s so unique. I like her.” Jawab Niall yang sedang bergelung dengan bantalnya. “But Liam’s girl is so damn beautiful!”
“Thank you Nialler! I know I’m lucky!” kata Liam bangga sambil mencubit pipi Niall.
“Not as lucky as I am. I got Eleanor’s twin!” sahut Louis tak mau kalah. “She’s really looks like my girlfriend!”
“Therine reminds me to Perrie too! Especially her hair. But I love my girlfriend more, of course hehe.” Tambah Zayn yang tiba-tiba nongol dari pintu kamar mandi dengan hanya memakai handuk.
“What about you, Harry? What do you think about that Indonesian girl?”
Harry yang berbaring di samping Niall memutar bola matanya. “Umm, basically, she’s cute. I like her expression when she saw me for the first time. It was cute and funny at the same time. ” Bibir Harry tertarik ke samping, menampakkan dimples unyu di kedua pipinya.
“But…”
“But what?”
“She’s just too tiny and absolutely not my type.” Kata Harry santai sambil menyelipkan bantal di bawah kepalanya.
“Oh come on Harry! She’s a winner, not your real girlfriend. Don’t expect anything!” kata Zayn yang langsung disambut anggukan setuju teman-temannya.
“Zayn’s right. Just make them all happy like they’re the luckiest girl on earth!”
“Yeah, they’re working so hard to win this. To win us.” Louis menatap Harry tajam.
“That’s why we call them best fans in the world!”
***
Pagi ini semua pemenang berkumpul di lobby hotel dengan penampilan terbaik mereka. Kiara, Hanna, Briza, Therine, dan Erica duduk dengan cemas tapi sekaligus bersemangat menanti kehadiran the boys. Di bawah kaki mereka berjejer rapi barang-barang yang mereka bawa dari tempat asal mereka sebagai hadiah untuk One Direction.
Sekitar lima belas menit menunggu, seorang security menyuruh kelima gadis beruntung itu ke luar hotel. Mereka nyaris mati di tempat ketika melihat lima orang pemuda tampan keluar dari lima mobil mewah yang berbeda di halaman hotel.
“Holy shit.” Gumam Erica sambil membekap mulutnya.
“I think I’m going to die right now.” Kiara menggenggam erat tangan Hanna ketika ia melihat cowok dengan rambut keriting spektakuler itu melepas kaca mata hitamnya sambil melangkah keluar dari mobil Range Rovernya. Bukan, dia bukan Gu Jun Pyo. Tapi Harry Edward Styles.
“Ready to go now, babe?” Tangan besar Harry terjulur ke arah Kiara yang berdiri mematung. Definitely forget to breathing.
“Yes, she’s absolutely ready! Good luck!” Hanna melepaskan genggaman Kiara dan meletakkannya di atas tangan Harry.
“Wow, your hand is so cold. Are you okay?” Mata hijau Harry memandangnya khawatir.
“NO! I-I’m okay.” Kiara tergagap. “Let’s go!”

Harry dan Kiara duduk bersebelah di dalam mobil. Kiara tidak bisa berhenti menatap Harry yang sedang sibuk menyetir. Bagaimana bisa ia menyia-nyiakan kesempatan bisa menatap langsung seorang Harry?
“I could die because of that gaze you know.” Kata Harry tersenyum sambil terus memandang ke jalan.
“Oh I’m sorry. Your face is amaze me!” Kupu-kupu di perut Kiara seketika beterbangan kesana-kemari ketika Harry tersenyum dan menampilkan dimplesnya.
“So, Kiara… What you gonna do today?”
            Harry cukup terkejut dengan permintaan Kiara akan kencannya hari ini. Ia berpikir gadis ini akan mengajaknya nonton atau makan, tapi Kiara justru mengajaknya jalan-jalan menyusuri kota London seharian. Mereka mengunjungi tempat-tempat terkenal di sana. Big Ben, jembatan Sungai Thames, Trafalgar Square, London Eye, dan masih banyak lagi. Kiara bahkan mengajak Harry berfoto bersama di salah satu phone booth sambil berpose ala cover album Take Me Home. Tidak hanya itu, Kiara juga meminta Harry bernyanyi untuknya di atas bus Double Dekker seperti di video musik “One Thing”. Baru saat tengah hari, mereka beristirahat dan makan siang di Nandos.
            “Wow, its so delicious! I never eat Nandos before.”
            “There’s no Nandos in Indonesia?” tanya Harry sebelum menggigit burgernya.
            “It’s in Jakarta, the capital city. We don’t have one in my place.” Jawab Kiara. “Harry, can I—”
            “Well excuse me? I need to go to bathroom now.” Potong Harry tiba-tiba.
            “Hmm okay.” Kekecewaan terpancar jelas di wajah Kiara.
            “I wont be long, I promise. Enjoy your lunch!” Harry mengusap pelan tangan Kiara sebelum meluncur pergi.
***
            “Hey, how’s your date, Lou?”
            “Hello, Harry? Harry? Sorry I can’t hear you. I’m watching football match now with Erica. Call you later okay byeeee!”
            “Shit!” Harry menekan tombol merah di handhone-nya dengan keras sebelum memencet beberapa nomor lagi.
            “Hello?” panggil Harry dengan suara beratnya yang khas. “Hello, Zayn where are you?”
            “Uhhmm, I’m having lunch with Perrie.” Jawab suara serak yang lain di seberang sana.
            “Perrie?!”
            “What? No! I said Therine!”
            “Ah whatever Zayn!” Harry bisa mendengar suara tawa Zayn di ujung telepon.
            “Vas happenin mate? Where’s your girl? What’s her name? Tiara?”
            “It’s Kiara.” jawab Harry lesu. “I’m so bored, you know? And extremely tired!”
            “Harry, don’t you remember what I said last night?”
            “Yes, I am. That’s why I only talk about this to you. I’m acting cool in front of her. I always smile and treat her nice. I even sang “One Thing” in Double Dekker for her!”
            “You did what?! Hold on a sec…” Tiba-tiba suara Zayn menghilang. Harry berpikir Zayn akan menutup telepon tapi kemudian ia bisa mendengar suara tawa Zayn meledak di seberang telepon.
            Baru sekitar semenit kemudian Zayn kembali, “Okay, go on!”
            “Fuck you, Zayn!” bentak Harry kesal.
            “Hahaha calm down, Bro! You know, you’re the sweetest boyfriend I ever know. After me of course.”
            “Shut up!” Keluh Harry kesal. Zayn tertawa lagi.
            “Harry, listen to me! Just make her happy. Make our fans happy.”
            “I’ve tried but I can’t! When I said shes not my type, I mean it. It’s not about the face or body or boobs… Its about anything! I am so bored with her! I’m not enjoying this date. I wish I could have Briza or Erica or even that Chinesse girl, I don’t care! I don’t want her!!!”
            “Hmm, glad you don’t want my girl, Therine because I wont give her to you haha.” Sahut Zayn. “Umm, I’m sorry Harry, but I have to go. We’re going to watch a movie. Just try to enjoy it okay? I’m leaving now, byeeee!”
            “Damn you, Zayn!”
***

Harry’s POV

            “Hey, maaf ya lama?” aku buru-buru kembali ke tempat duduk dan mendapati makananku yang sudah mendingin.
            “It’s okay.”
            “Errr… What happened to these people?” Aku mengamati sekeliling. Semua orang memandang ke arah kami. Aku tidak bisa mengartikan pandangan mereka. Tapi tatapan-tatapan itu membuatku tidak nyaman.
            “Why you ask for that?” Kiara tertawa, “You’re Harry Styles!”
            “No, it’s not like that!” sanggahku. Belum terjawab rasa penasaranku, sesuatu yang lain mearik perhatianku.
            “What happened to you cheeks?” aku menunjuk kedua pipinya yang memerah. Seketika ia langsung menempelkan kedua tangan di atasnya.
            “Aaah, I think I just cold. Udara di sini dingin banget. Di Indonesia tidak pernah sedingin ini.”
            “Are you sure?”
            “Hmm not really.” Kiara memutar kedua bola matanya. “Maybe I just blushing because I spending time with Harry Sexy Styles.”
            Aku tertawa mendengar pengakuannya. “Hmm okay then.” Aku meneruskan makan siangku dengan perasaan lega.
            “Harry?”
            “Ya?”
            “Could you please….”
Aku mendongak dan nyaris terjungkal dari kursi ketika tiba-tiba Kiara menarik sweaternya turun ke bawah, memperlihatkan bahunya hingga ke punggung bagian atas.
            “Wow wow wow, what are you doing?!” aku menjerit sebelum ia membuka semua bajunya di depan umum.
            “Hahaha calm down, Harry! Aku cuma ingin kau tanda tangan di sini kok. Kau mau kan?” Kiara menunjuk bagian belakang bahunya sambil menyerahkan spidol padaku. Oooh anak ini!
            Aku menuliskan tanda tanganku di atas kulitnya yang kecokelatan. Warna yang bagus, menurutku. Aku juga suka rambutnya yang hitam dan tebal yang ia sampirkan di sisi kiki bahunya. Dia sangat berbeda dengan gadis-gadis lain yang pernah aku temui sebelumnya. Tapi tetap saja, pendapatku masih sama. She’s not my type.
            “Done!”
            “Have you wrote your name?”
            “Should I?”
            “Yes, please?” ia menoleh sambil tersenyum.
            “Okay.” Aku pun menuliskan “Harry Styles” dan double “x” di bawah tanda tanganku.
            “Thank you so much, Harry!”
            “Are you happy today?”
            “This is the best day ever!” katanya tulus. Well, kalau begitu tugasku sudah selesai. Aku sudah membuatnya senang hari ini. Dia sudah mendapatkan hadiahnya. Kini saatnya aku mendapatkan kembali waktuku yang terbuang karena kompetisi konyol ini.
            “Tapi, aku masih ingin pergi ke satu tempat lagi…”
            Hiyaaaaa!!!!!
***
            “Kau sering ke sini?” lagi-lagi dia bertanya seperti anak kecil yang terlalu ingin tahu.
            “Hmm, begitulah.”
            “Ayo kita masuk!” ia menarik lengan bajuku dengan antusias.
            “What?!” dia membuatku terkejut lagi. “Ngapain?”
            “Berenang! Ya bikin tato laaaah! Ayo!”
            Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Kiara. Ia menarikku ke dalam tempat itu dan memohon-mohon minta dibuatkan tato. Oke, mungkin itu tidak terlalu aneh. Banyak juga kan perempuan bertato? Tapi yang membuatku harus mengerutkan kening adalah dia ingin mentato tanda tangan yang baru saja kutuliskan di belakang bahunya.
            “Semalaman aku berpikir aku harus membawa sesuatu dari sini. You know, as a gift. Juga sebagai tanda kalau kita pernah bertemu.”
            “Tapi, Kiara… Ditato itu sakit. Pertama kali aku di tato, Zayn sampai harus memegangi tanganku dan aku harus menggigit kausku saking sakitnya!”
            “But, look at you now… You have more tattoos than Zayn.” Ia tertawa. Sial! Kenapa juga sih dia harus bawa-bawa masalah itu?!
            “Tapi….”
            “It’s okay Harry. Aku pernah merasakan yang lebih sakit kok.” Kiara menggenggam tanganku, seolah-olah akulah yang harus dikhawatirkan, bukannya dia.
            Aku duduk tak jauh dari tempatnya ketika seorang pria berkepala licin mulai mengeluarkan alat-alat tatonya. Aku bisa melihat kecemasan dan ketakutan di mata Kiara. Tapi aku bisa apa? Dia sendiri yang mau. Lagi pula ini akan jadi kesempatanku untuk istirahat. Aku benar-benar lelah.
            Belum satu menit aku memejamkan mata di sofa, aku mendengar suara jeritan. Seketika aku terbangun dan tahu-tahu aku sudah berada di sisi Kiara dan memegangi lengannya.
            “I told you it’s hurt! You don’t have to do this.” Aku memberi isyarat pada pria itu untuk berhenti mentatonya.
            “No it’s fine. Aku cuma kaget kok. Please, Sir!” suara alat tato yang kembali berdengung itu mengagetkanku. Kedua mataku menyipit ketika alat itu kembali menyentuh tanda tanganku di atas kulitnya. Kiara tidak lagi bersuara. Tapi ekspresi di wajahnya menunjukkan kesakitan yang teramat sangat ketika jarum itu menggores kulitnya mengikuti tulisanku. Tak butuh waktu lama, mata Kiara pun berair.
            “You want me to talk to you?” Aku merunduk sambil menggenggam kedua tangannya yang dingin dan basah. Kupandang matanya dalam-dalam agar perhatiannya teralih padaku.
            “W-what?”
            “Mungkin kalau kita ngobrol, kamu jadi tidak terlalu merasakan sakitnya.” Jawabku pelan. “You said that you’re from Indonesia. Where exactly it is?” tanyaku memulai.
            Kiara meringis kesakitan sekali lagi sebelum menjawab pertanyaanku dengan susah payah. Tapi dengan segera perhatiannya teralih sepenuhnya kepadaku. Ia masih merintih sesekali tapi aku yakin dia baik-baik saja.
            “It’s in Southeast Asia. Letaknya di atas Australia kalau kamu lihat di peta. Ada lima pulau besar di sana.”
            “Aaaaah I know! The island that looks like a bird’s head!”
            “Yes! It’s Papua, but I’m not live in that island. But it’s a beautiful place too.”
            “Hmm, I think I have to googling it.” Aku amat lega melihat Kiara bisa tersenyum, yang artinya dia tidak terlalu merasakan sakitnya lagi. Aku terus menjejalinya pertanyaan agar kami tidak berhenti bicara atau dia akan kembali berteriak. Aku tidak melepaskan tanganku dari genggamannya.
            “How old are you?”
            “Eighteen, almost nineteen.”
            “Really? Aku kira kau masih 16 tahun.” Jawabku tak percaya melihat postur tubuh Kiara yang bagiku terlalu mungil untuk ukuran gadis delapan belas tahun.
            “Why? Because I’m cute?” She giggles. So do I.
            “Who’s your favorite member in One Direction?” tanyaku lagi. Kiara langsung tertawa. Aku jadi khawatir tatonya jadi berantakan karena dia terlalu banyak bergerak.
            “Why you ask for that? If it’s somebody else I won’t be here with you.” Kali ini tawaku benar-benar tulus dan tidak dibuat-buat. Kiara is not that bad. Dan harus kuakui dia punya senyum yang manis. Dia mungkin tidak seksi dan tidak terlalu cantik, tapi aku suka caranya tersenyum. Dan rambutnya… Aku tidak bisa tidak membayangkan jari-jariku terselip di antara helai-helai rambutnya yang tersampir dibahu kirinya.
            “I haven’t seen your video by the way. Bagaimana kau bisa menang?”
            “I sang.” Kiara tersenyum sambil memandang ke langit-langit. Sebagian dirinya tertarik ke masa-masa bagaimana gadis ini berusaha memenangkan hadiahnya. Aku.
            “Aku bernyanyi dan bermain gitar di tengah jalan di pusat kota. Aku sampai didatangi polisi lho! Tapi kakakku ternyata terus merekamku waktu itu sampai ke pos polisi. Dan ternyata polisi itu juga suka One Direction dan akhirnya kami berdua bernyayi sama-sama di tengah jalan sambil mengatur lalu lintas. It’s so embarrassing but it was fun!”
            “Wow, it’s so amazing!” Aku tak bisa menahan senyumku mendengar ceritanya. “How do you feel now, after you win this?”
            “I feel amazing.” Jawabnya singkat. “Rasanya benar-benar seperti mimpi. Setiap kali aku melihat fans yang bisa bertemu dengan kalian aku selalu merasa iri dan cemburu. Aku selalu berpikir kapan ya waktuku tiba? Kadang aku sampai menangis saat aku benar-benar ingin bertemu kalian, tapi satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah memandangi poster kalian di dinding.”
            Aku tercengang mendengar ceritanya. Fans 1D banyak juga yang punya cerita yang sama, tapi hanya sedikit yang menceritakannya secara langsung di depan mataku. Aku bisa melihat kepedihan sekaligus juga syukur di matanya karena mimpinya telah terwujud. Aku juga bersyukur karena telah mencapai posisi seperti sekarang. Beberapa tahun yang lalu aku bukan siapa-siapa. Aku hanya anak laki-laki yang bekerja di toko roti. Aku tidak populer, dan tidak ada seorang pun pernah memuji penampilanku. Tapi sekarang, gadis-gadis bisa menggila hanya dengan melihat rambutku.
            “What’s your dream?” pertanyaanku selanjutnya membuat Kiara memutar kedua bola matanya.
            “Well, nonton konser One Direction, ketemu One Direction, memeluk One Direction… Doing anything with One Direction.” Jawabnya sambil terkekeh.
            “Hanya itu?” satu alisku terangkat. “Kalau tidak ada One Direction bagaimana? Kau tidak akan punya mimpi sama sekali?” Gadis itu terdiam cukup lama, mungkin menyadari ada kebenaran di dalam pertanyaanku.
            “Aku tidak tahu.”
            “Anggap 1D tidak pernah ada. Sekarang apa keinginan terbesarmu?”
            “Aku tidak bisa membayangkannya, Harry.” Aku kecewa mendengar jawabannya.
            “Anggap aku bukan Harry.” Ekspresi di wajah Kiara menunjukkan seolah-olah tatapanku baru saja membuatnya seperti disilet-silet. “Apa keinginanmu? Apa mimpimu?”
Tapi gadis itu hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
            “Oke, kita mulai dari yang paling sederhana. Apa yang paling kau sukai di dunia ini?”
            “You.” Aku menepuk jidat. Kiara tertawa. “I don’t know. Drawing, maybe.”
            “Really? How much you like it?”
            “Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggambar. Kadang aku sampai tidak memperhatikan pelajaran karena asyik menggambar wajah guruku atau teman-temanku. Cuma itu sih. Tidak ada yang istimewa. Semua orang juga melakukannya.”
            “No.” aku menggeleng. “Di antara semua member 1D, hanya Zayn yang bisa menggambar dengan baik.”
            “I don’t get it. What’s the point?” Aku tak bisa menyembunyikan senyum getirku.
            “Aku hanya tidak ingin gara-gara mengidolakan One Direction atau siapa pun, banyak orang jadi lupa akan mimpi dan cita-cita mereka yang sesungguhnya. Aku tidak ingin fans kami khususnya, mengatakan bahwa cita-cita mereka adalah bertemu dengan kami, padahal sebenarnya mereka bisa bermimpi lebih besar dari pada itu. Aku ingin menginspirasi orang-orang lewat musik, bukannya membuat orang-orang justru lupa bermimpi. Jujur aku sangat tersanjung dengan fans 1D yang bermimpi besar untuk bisa bertemu kami. Benar-benar mengharukan ketika kau tahu ada orang di luar sana, yang kau sendiri bahkan tidak mengenalnya, yang sangat mencintaimu dan setiap hari berharap ingin segera bertemu denganmu. Just like you.
            “Tapi mendengar jawabanmu barusan, aku merasa seperti memberi pengaruh buruk bagimu dan fans yang lain. Kami hanya bisa membuat fans kami menjerit histeris tanpa sebab, membuat mereka kehabisan uang saku untuk membeli album dan merchandise, kehabisan pulsa untuk mem-vote kami di awards, sakit hati setiap kami dekat dengan cewek, dan menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari haters. Dan parahnya lagi kami tidak bisa menghibur mereka satu per satu. It hurts me, you know?”
            “I’m sorry, Harry.” Kiara meraih tanganku.
            “Kenapa jadi kau yang minta maaf? It’s okay. Itu hanya pendapatku saja kok.” Tiba-tiba aku merasa tidak enak hati padanya.
            “But you’re right. Seharusnya aku bermimpi yang tinggi. Bermimpi untuk diriku sendiri. Aku memang penggemar berat kalian, tapi tidak seharusnya aku terlalu larut dalam dunia kalian dan lupa akan hidupku sendiri. Kau benar, Harry.” Melihat Kiara tersenyum seperti itu aku merasa lega.
            “Kau tahu, dulu aku pernah bermimpi jadi designer dan semacamnya yang bisa dilakukan dengan menggambar. Kupikir aku harus mulai kembali pada cita-cita masa kecilku itu. Terima kasih, Harry. And by the way, aku dan semua Directioners di dunia tidak keberatan kok dengan semua itu. Kami senang melakukannya. You don’t need to feel hurt.” Kiara tersenyum dan mengulurkan tangannya. Sambil terkekeh aku menggamit tangannya.
            “I really like your eyes!” seru Kiara sambil menggigit bibir. Sepertinya ia merasakan sakit itu lagi. “It’s like a doll eyes. I want to have eyes like that but that’s impossible. Beside, in my country, “green eyes” refers to people who craving for money.”
“What? No waaaay!” kami berdua tertawa lagi.
“Yeah it’s true!”
“Oh my God, I’ll wear softlense when One Direction held a gig there.”
“No, you don’t have too. We’re all love your eyes!”
“I really like your tanned skin. It’s so beautiful.” Balasku.
“And I like you.” Kiara tertawa. “Thanks for today, Harry. You’re the nicest guy I ever known.” Mata cokelat Kiara memandangku penuh arti. Aku menelan ludah. Wajah kami dekat sekali.
            “Anytime, Babe.”
            “It’s done!” Suara pria botak itu memutuskan koneksi tak kasat mata yang membentang di antara kedua pasang mata kami. Aku berdeham keras sambil menyibakkan rambutku.
            “Oh, thank you so much. It’s amazing! I like it! What do you think, Harry?” Kiara bersorak kegirangan melihat tato barunya lewat cermin yang tergantung di dinding.
            “Hmm, it looks like my sign.” Jawabku.
            “It suits you, you know!” kata pria botak itu sambil menatap hasil karyanya.
            “Ahhh let’s get out of here!” Aku meletakkan beberapa lembar pundsterling di atas meja, lalu kutarik Kiara keluar.
            “Sudah puas kan? Ayo kita kembali ke hotel!”
            “Umm, actually, not yet.” Kiara menyeringai sambil memandangku.
***
           
“Harry, where are you going?!” pekik suara merengek di belakangku.
Aku tidak peduli lagi seandainya ada kamera yang merekam kami berdua. Sama tidak pedulinya dengan kemungkinan besok fotoku akan terpampang di berbagai majalah dengan headline semacam “Harry ‘Villain’ Styles Dumped A Fan”. Gadis bernama Kiara ini benar-benar membuatku muak. Aku benar-benar lelah fisik dan juga mental karena ulahnya hari ini. Bayangkan saja, setelah dia minta dibuatkan tato, dia mengajakku pergi ke kebun binatang. Kuulangi sekali lagi, kebun binatang! Rasanya tidak perlu lagi aku menjelaskan bagaimana keadaannya di sana. A BIG CHAOS! Saking kacaunya aku sampai harus meninggalkan mobilku di sana dan kami berdua pulang dengan berjalan kaki sambil sembunyi-sembunyi. Oh God! Badanku benar-benar remuk hari ini. Mungkin otakku juga.
“Harry wait me!” aku tidak mempedulikan suara itu dan berjalan semakin cepat. Aku hanya ingin pulang dan tidur.
“Come on,” kataku malas.
“Wait, I…. Harry pleaseeee!”
“Just walk okay? I’m really tired.”
“Harryyyyy!”
“Apa lagi?!” Aku tak tahan lagi. Sambil terus berjalan aku lontarkan semua batu panas yang menyesakkan dadaku sejak tadi.
“Aku sudah memenuhi semua permintaanmu. Kita jalan-jalan keliling London seharian sampai kakiku sakit, makan siang di Nandos, menemanimu bikin tato, jalan-jalan lagi ke kebun binatang sampai tulang-tulangku hampir patah, sekarang mau apa lagi? I’m so sorry, aku tidak bermaksud marah padamu, tapi aku benar-benar lelah hari ini oke? I’m sorry but I’m not enjoying this anymore. You can mad at me or stop being a Directioner because of this, but I can’t do this anymore. I just want to end this right NOW!”
Ada hening panjang yang tidak menyenangkan setelah kata terakhir meluncur keluar dari mulutku bersamaan dengan uap akibat cuaca yang dingin. Salju turun dengan derasnya sejak kami pulang dari kebun binatang. Aku memasukkan kedua tanganku yang hampir beku ke saku jaketku tepat ketika suara berdebum itu terdengar.
            “What the hell was that?”
Ketika aku menoleh ke belakang, aku tidak mendapatkan jawaban apa pun selain seorang gadis yang tergeletak di tanah bersalju.
“KIARA?!” Aku berlari menghampirinya dan mendapati tubuhnya hampir membeku. Kiara gemetar hebat, bibirnya membiru. Uap terus keluar dari mulutnya dengan kecepatan tidak menentu setiap dia menggigil kedinginan. Aku bisa mendengar suara giginya yang bergeletuk kencang.
“Oh my God, you’re freezing!” Dia tidak menjawabku. Kulitnya yang membeku dan tidak terbungkus jaketlah yang menjawab semuanya. Aku segera melepaskan jaketku dan menyelimuti tubuhnya. Kuraih tangannya yang dingin lalu kutiupkan udara hangat dari mulutku. Dengan jarak sedekat ini aku bisa melihat wajahnya dengan amat jelas. Kedinginan dan amat menderita. Dia pasti belum pernah merasakan dinginnya salju sebelumnya.
“Haa-rrryy.”
“Yes? I’m here.” Kataku sambil terus menghangatkan jemarinya.
“I’m so cold.” Seketika itu juga tubuhnya lemas tak berdaya. Aku menahan kepalanya agar tidak terbentur ke tanah. Ia tidak pingsan tapi tak sepenuhnya sadar. Tanpa ragu aku membawanya ke dalam pelukanku.
            “It’s okay, it’s okay. You’ll be safe. Please be save.”
            Aku mendongak ke atas. Butir-butir salju yang jatuh di atas kepala kami semakin banyak. Jika kami terus berada di luar, aku juga bisa membeku.
            “Bertahanlah, oke?” Aku mengumpulkan seluruh kekuatanku dan mengangkat tubuh Kiara yang lemah karena udara dingin. Ia bergetar di dalam pelukanku. Rasa bersalah yang teramat sangat langsung menjalari seluruh tubuhku ketika melihatnya tidak berdaya di tanganku.
            “Harry, what have you done?” Gumamku penuh penyesalan.
***
            “Oh Harry, how sweet!”
“Louis, you should carry me with bridal style like Harry did!”
“Oh no, wait! Harry what happened?!”
“She’s freezing!” jawabku panik sambil terus berjalan.
“Bawa dia ke kamar!” Sahut Erica sambil menuntun kami semua ke kamar Kiara. Dia dan juga Louis mengikutiku di belakang. Di koridor kami bertemu dengan Zayn dan Therine yang sedang asyik mengobrol. Setelah melihat kami, mereka langsung berhenti dan membantuku membawa Kiara ke kamarnya.
“What happened to her, Harry?”
“She’s freezing and passed out. Louis, Zayn, help me please!” kami bertiga meletakkan Kiara di atas tempat tidur dan menyelimutinya.
“Harry, her clothes!” seru Zayn sambil menunjuk baju Kiara yang basah. “Dia bisa semakin parah kalau tidak melepaskannya.”
“I’ll do it.” Dengan cekatan Briza langsung membongkar isi tas Kiara dan mengambil pakaian kering sebelum ia menuju tempat tidur dan membuka kancing baju Kiara satu per satu.
“Umm, Harry, I think you should turn around.” Bisik Louis di telingaku.
“Oh God, sorry!” aku pun berbalik mengikuti saran Louis. Aku bisa melihat Zayn menahan tawa di sampingku. Tapi aku tidak ada waktu untuk bertanya apalagi berdebat dengannya soal ini.
“Done.”
“Thank you so much, Briza. Sekarang aku yang akan menjaganya.” Aku segera mengambil kursi kecil dengan bantalan yang empuk di sudut ruangan dan menariknya ke samping tempat tidur.
“Oookay, guys! I think we should go. She’ll be fine.” Kata Zayn. “Umm, you too, Hanna and Briza.”
“Well, I hope your room is bigger than ours.” Aku melihat Hanna mengerling pada Erica dan Therine.

Aku lega ketika melihat wajah Kiara mulai berwarna lagi. Kuletakkan tanganku di atas keningnya dan membiarkan panas tubuhku mengalir padanya. Syukurlah dia baik-baik saja. Tapi aku masih belum ingin meninggalkannya. Jadi aku memutuskan untuk tetap di sini.
Aku merogoh saku celanaku dan mengambil ponselku. Lampu merah yang berkedip-kedip menunjukkan ratusan pesan yang masuk ke sana. Mention-ku meledak lagi. Dengan malas aku menggerakkan jariku di atas screen, mencari mention-mention yang menarik selain permintaan followback atau notice yang ditulis dengan huruf kapital. Tapi bahkan mention semacam itu tidak banyak muncul kali ini. Melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat wajahku merah padam seketika. Aku hampir menghancurkan ponsel di tanganku andai aku tidak berhenti melihatnya. Aku meremas rambutku sambil menahan sakit di tenggorokanku. Lagi-lagi hal semacam ini terjadi. Kutatap wajah Kiara dengan perasaan tercabik.
Aku memutar ulang kejadian tadi siang. Ketika aku meninggalkan Kiara sendirian untuk menelepon Zayn. Ketika aku mengeluh kesal tentang kencan hari ini, sementara Kiara menerima tamparan keras di pipinya dari orang-orang yang iri dengan kemenangannya.
“BM21Date Winner Got Hit”. Kalimat itu terus merasuki diriku dan membuatku serasa terbakar. Dan foto itu, foto yang menampilkan beberapa orang fans (not real fans, I guess, just some crazy-obsessed girls) mengerjainya. Aku tidak habis pikir bagaimana orang-orang di sana tidak memberitahuku. Sekarang aku tahu kenapa mereka semua kelihatan aneh ketika aku datang.
“Kau benar-benar jahat Harry Edward Styles. Dia bersusah payah mengikuti kompetisi ini untuk memenangkan hari dimana ia bisa menghabiskan waktu denganmu, tapi kau malah membuatnya seperti ini. You really don’t deserve the best fans in the world.”
Kuangkat tanganku dan kuusapkan pada pipi kanannya. Kupejamkan mataku dan kurasakan bagaimana tamparan itu menghantamnya, tangan-tangan mencengkram erat kerah bajunya, dan umpatan-umpatan kasar tertuju padanya…

@Harry_Styles: Shame on you, fake fans! Go away! #BeOKK


Kiara’s POV

Aku terbangun karena sinar matahari yang amat menyilaukan menyerang mataku. Tidak ada orang di kamar. Aku memakai piama yang aku sendiri tidak ingat kapan memakainnya. Aku bahkan tidak ingat apa pun kecuali udara dingin yang amat menggigit dan suara Harry yang tidak jelas beberapa langkah di depanku.
“Kiaraaaaaaaaaaaaaaa!!!!!”
“Finaly you’re awake!” Hanna langsung melompat ke atas kasurku. Briza menyusul di belakangnya.
“Feeling better?” tanyanya lembut sambil menyentuh keningku.
“Ah, sayang sekali kau tidak ikut kami tadi!” otomatis Briza menyikut lengan Hanna.
“What?! It’s true!” kata Hanna protes. “Padahal hari ini hari yang paling istimewa dari Bring Me To 1Date! Semua pemenang menghabiskan waktu dengan semua personil One Direction! Percuma saja kau menang!” Hanna melipat tangannya kesal.
“I’m okay. I’ve got lot of things.” Aku tersenyum sambil menggigit bibir.
“Aaaaaaaaah!” Briza menggodaku. “Harry’s such a sweet guy right?”
“Eh?”
“Jangan pura-pura deeeh!”
“Apa sih?!”
“I think he likes you!”
“What?! NO!” seruku. “Of course not!”
“Hmm maybe not.” Kata Hanna lagi. “But he definately care about you!”
“Kalian ngomong apa sih?!” Hanna dan Briza saling berpandangan. Aku menatap mereka berdua, meminta penjelasan.
“Dia pasti belum buka Twitter deh.” Kata Briza pelan, yang langsung disambut anggukan setuju oleh Hanna.
“GUYS!” jeritku tak tahan lagi. “What happened?!”
“Okay okay…” Briza tak bisa menahan tawanya. “You tell her!”
Hanna mengambil handphone-nya dan menunjukkan sesuatu padaku beberapa saat kemudian.
“Coba lihat TTWW nomor satu!”
“Be Okay? With double K? I don’t get it.” aku memutar kedua bola mataku. Hanna dan Briza menepuk jidat.
“It’s you, Kiara!!!!! Look!”
Hanna mengklik hastag #BeOKK dan memperlihatkan deretan akun yang mengomentari dan meng-RT tweet dari sebuah akun verified, @Harry_Styles.
“’Shame on you fake fans, go away!’?”
“He tweeted about you!”
“Kami semua tahu apa yang terjadi padamu di Nandos, Kiara. Begitu juga Harry.”
“And it’s not only ‘Be Okay’ with double K. The second K is you. Be okay, Kiara… Be okay, K… BeOKK.”
Aku membeku mendengar penjelasan Hanna. Harry really tweeted that for me?!
“Kiara are you alive?” Briza melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Of course she’s not.” Hanna tertawa. “Oh my God, Kiara you’re so lucky! After carried you with bridal style, look after you whole night long, and now tweeted for you. I should be compete for Harry’s girl next time!”
“HE DID WHAT?!” lagi-lagi aku dibuat membeku. Lalu Hanna menceritakan bagaimana kejadian semalam. Bagaimana paniknya Harry ketika aku pingsan karena beku kedinginan dan dia menjagaku semalaman sampai-samapai Hanna dan Briza harus pindah ke kamar Erica dan Therine. Oh Tuhan, kalau memang semua ini hanya mimpi, kumohon jangan bangunkan aku sekarang.
“Oke, kurasa sudah cukup fangirlingnya, sekarang kita harus bersiap-siap untuk dinner nanti malam! Oh my God, I’m so excited! I’m going to dinner with Niall aaaaahhhhhhh! I’m going to wear something sexy!” ujar Hanna semangat.
“I don’t think so. Niall seems doesn’t like sexy girl. Wear something cute. And for you, Harry’s girl… wear something sexy!” Briza mengedipkan sebelah matanya padaku.
***

Kami berlima dibawa ke salah satu hall di hotel tempat kami menginap. Aku tidak bisa berhenti meremas tangan Hanna saking gugupnya. Malam ini adalah malam sekaligus hari terakhir dari rangkaian acara Bring Me To 1Date yang telah kami menangkan. Dari mulai konser dan backstage, dating dengan personil 1D favorit, dating dengan semua personil yang baru saja aku lewatkan tadi siang, dan kali ini dinner.
Kami semua mengenakan pakaian terbaik kami. Aku sudah menyiapkan gaun dari rumah. Tidak terlalu mewah tapi menurutku cukup manis. Tapi Hanna dan Briza memaksaku untuk tidak menggunakannya. Mereka malah menyuruhku membuang gaun itu. Norak katanya. Sebagai gantinya aku memakai gaun Hanna yang menurutnya ‘manis’ dan ‘seksi’, tapi menurutku itu lebih seperti ‘berlebihan’ dan ‘kurang sopan’. Tapi mini dress  warna pink pucat bunga-bunga dengan bahu yang terbuka ini lumayan juga. Not bad. Akhirnya aku memakainya juga. Satu-satunya hal yang membuatku kurang nyaman adalah kini semua orang bisa melihat tato Harry-ku. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa malu atau bangga. Yang kupedulikan saat ini hanyalah apa yang menanti kami di balik pintu ini.
Begitu pintu hall dibuka, yang pertama kali kulihat adalah lima malaikat berjas yang berdiri di antara meja-meja yang berhias lilin-lilin kecil yang indah. Harry berdiri di ujung kanan di samping Niall. Jas itu sangat pas di tubuhnya yang tinggi melebihi yang lainnya meskipun ia adalah yang termuda. Mata hijaunya memandangku teduh. Aku balas menatapnya seolah-olah hanya ada kami berdua di tempat ini. Oh my God, I love this guy so much!
Satu per satu the boys menghampiri kami. Mulai dari Erica, Therine, Briza, Hanna, sampai akhirnya aku. Kami berlima tidak bisa tidak menjerit kegirangan. Kami menangis melihat segala keindahan ini. Kami bersyukur bisa mengalami saat-saat ini.
Kami bersepuluh duduk bersama dalam satu meja bulat yang besar di samping pasangan kami masing-masing. Kami semua menikmati hidangan dan menikmati candaan dari semua orang. Aku tidak merasa seperti fans yang beruntung bisa bertemu idolanya malam ini. Aku merasa sedang berkumpul bersama sahabat-sahabatku. Aku tidak menyangka kelima cowok One Direction ini begitu luar biasa. Mereka bisa membuat kami merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka tanpa harus merasa seperti seorang fans yang memuja idolanya. Mereka menghargai kami sebagai manusia. That’s why I love them.
Dan Harry… aku tidak bisa berhenti memandangnya dari sudut mataku. Ia bagaikan malaikat yang turun dari langit hanya untukku. Aku bisa mencium aroma parfum Blue Channel-nya bercampur dengan aroma tubuhnya yang menakjubkan itu. Rasanya aku ingin melompat memeluk Harry dan duduk di pangkuannya. I’m so addicted to him!
“Ehm.. Ehm…” suara Louis terpaksa menarikku ke dunia nyata. Syukurlah ia melakukannya. Jika tidak, imajinasiku tentang Harry pasti akan semakin menggila.
Sambil menatap kami satu per satu, Louis mulai bicara. “Aku, Louis Tomlinson, dan keempat sahabatku… My man, my brothers… Zayn, Harry, Liam, dan juga Niall ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kalian semua yang telah berjuang dengan keras untuk kami, dari saat yang paling awal hingga hari ini. Kalian yang rela mengorbankan banyak hal, waktu, tenaga, materi, bahkan juga perasaan. Terima kasih karena kalian selalu setia mendukung kami walau apa pun yang terjadi. Kami sangat senang dan bangga bisa mencapai puncak kesuksesan bersama kalian para Directioners sejati.”
“Kalian tidak pernah berhenti membuat kami kagum, tersenyum, tertawa, bahkan menangis terharu dengan semua ulah kalian. Kami minta maaf apabila kami tidak bisa lagi sering menyapa kalian seperti dulu. Apa yang kami lakukan sekarang adalah untuk kalian semua. Kami ingin berkarya sebaik-baiknya untuk kalian. Dan kami selalu berusaha untuk membuat kalian semua tersenyum melalui musik kami. Hanya itu yang bisa kami lakukan untuk kalian semua. Aku, Liam Payne, merasa amat sangat beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga ini, bersama keempat saudaraku dan jutaan fans kami yang tercinta…”
“Zayn Malik juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kalian semua, Therine, Erica, Briza, Kiara, dan Hanna, dan juga Directioners yang lain yang tidak bisa berada di sini bersama kita semua sekarang. Aku amat sangat menyesal tidak bisa bertemu dengan kalian semua satu per satu, tapi percayalah bahwa salah satu impian terbesar kami berlima adalah bertemu dengan kalian semua dan membuat kalian tersenyum. Sekali lagi terima kasih. Kami akan terus melakukan yang terbaik untuk kalian semua. We love you, Directioners!”
“Dan aku, Niall Horan juga ingin berterima kasih kepada Hanna khususnya, my new bestfriend, my girl. Terima kasih karena telah berjuang dengan keras hanya untuk bertemu denganku, dengan kami. Aku senang bisa mengenalmu. Dan kepada kalian semua, tiga hari ini adalah hari yang luar biasa bagiku dan bagi keempat sahabatku. Terima kasihku tak kan pernah cukup untuk membalas semua yang telah kalian lakukan untuk kami.”
“So do I, Harry Styles. Aku berterima kasih sekaligus meminta maaf kepada kalian semua karena kalian harus melalui segala perjuangan ini hanya untuk bertemu kami, melihat wajah kami, menjabat tangan kami, memeluk kami. Kami merasa tidak pantas mendapatkan itu semua. Kalianlah yang membawa kami ke titik ini. Kalianlah yang membuat musik kami dikenal dunia. Kalianlah yang seharusnya menerima penghargaan, dan bukan kami. Kami sangat berterima kasih atas apa yang telah kalian lakukan dan kalian terima selama menjadi Directioners. Percayalah, aku dan the boys juga merasa sakit hati dan amat terpukul setiap kami melihat fans yang menerima perlakukan tidak menyenangkan karena mencintai kami. Kami selalu berpikir, apa yang salah dengan mencintai? Kalian semua, baik yang sedang berada di sini bersama kami, atau di luar sana yang sedang bersedih karena ingin bertemu kami, kami amat sangat menyayangi kalian dengan segenap hati kami. Kami berharap bisa memeluk kalian semua satu per satu dan berterima kasih atas segalanya… You best fans in the world.”

Aku, Hanna, Briza, Erica, Therine, kami semua membeku. Kami larut dalam kata-kata mereka. Kami tenggelam dalam air mata haru kami sendiri. Tubuh kami gemetar mendengar setiap kata yang keluar dari mulut mereka yang membuat kami merasa amat sangat berarti. Aku tidak bisa mendengar apa pun lagi selain suara sesengukan kami sendiri. Kami merasa sangat bangga menjadi bagian dari hidup mereka.
“Ooh girls please don’t cry!”
Niall memeluk Hanna, lalu Liam memeluk Briza, Zayn memeluk Therine, Louis memeluk Erica, dan setelah sebelumnya kami saling memandang dengan canggung, Harry memelukku.
“Thank you….”
“Let’s do the group hug again!!!!!” Seruan Liam otomatis membuat kami semua berdiri dan berpelukan bersama dalam satu lingkaran besar. I wont forget this moment. NEVER!
“All right guys, sekarang sudah saatnya kita menghibur gadis-gadis cantik ini!” seru Harry bersemangat.
“Let’s go boys!” sahut Louis.
“Woooo! Let’s do this!!!!” tambah Niall sambil mengepalkan tangannya.
Sementara mereka berlima berjalan menuju panggung kecil di sana, aku dan para pemenang bersorak sekencang-kencangnya. Kami hanya berlima, tapi aku merasa sedang berada di tempat konser dengan ribuan orang penonton.
“For five beautiful girls here….”
“And million beautiful people out there…”
“LET’S STAY UP ALL NIGHTTTTTTT AND LIVE WHILE WE’RE YOUNG!!!!”
           
Malam itu, kami semua bernyanyi, menari, melompat, berdansa, dan bersenang-senang bersama. One Direction menghibur kami dari atas panggung kecil itu. Mereka menyanyikan lagu-lagu favorit kami. Setelah lelah berjingkrakan bersama alunan lagu Live While We’re Young, C’Mon C’Mon, Kiss You, dan Up All Night, musik pun melembut. Little Things terdengar lewat speaker. Satu per satu personil One Direction turun dari panggung dan menghampiri kami para pemenang.
“Wanna dance with me?” sebuah tangan besar terarah padaku setelah 1D selesai bernyanyi dan digantikan oleh alunan musik yang lembut. Aku mendongak dan mendapati seorang lelaki dengan rambut keriting dan mata hijau yang menawan. Sepasang dimples menghiasi senyum lebarnya.
“I-I… But I can’t —”
“Just take my hand…” Harry meraih tanganku dan meletakkannya di atas bahunya. Aku bisa merasakan tangan Harry melingkar di pinggangku, menarikku mendekat.
“Last time I saw your face it was so pale.” Aku tidak bisa tidak tertawa mendengar pengakuannya. Pipiku pasti semerah tomat sekarang.
“Do I make you blush?”
“Harry stop it!” Aku akhirnya tertawa. Malu lebih tepatnya.
“What?”
“Stop being so cute! I can’t handle it!” Aku meleleh mendengar suara tawanya yang berat dan dalam itu. Kakiku lemas seketika.
“Aku hanya ingin memberikan kesan baik padamu sebelum kau pulang besok.”
“You already give me the best, Harry. This is the best thing in my life.”
“Maybe.” Aku melihat senyum di wajah Harry memudar. “Tapi tidak untuk yang satu ini.” ia menyentuh lembut pipi kananku dengan ujung jarinya, yang langsung ia tarik karena ia mendengarku mengerang kesakitan.
“That’s what I’m talking about. I’m sorry, Kiara.”
“Well, it’s not your fault, Harry.” Sanggahku. “Jangankan luka sekecil ini, aku rela babak belur untuk sekedar bisa melihatmu!”
Harry tercengang mendengar jawabanku. Begitu pula aku.
“Really?”
“Well… All Directioners would do that.” Aku menelan ludah. “We love One Direction so much!”
“Right. One Direction.” Harry tersenyum getir. “Thank you.”
“Ada apa?”
“Nothing. I just… I just… I just love your dress! You look so pretty in that dress.”
“Ohhh…” aku mendengus sambil melihat gaun Hanna yang ia pinjamkan kepadaku karena menurutnya gaunku jelek.
“It’s Hanna’s actually. She borrowed me this because it looks se—” Uh oh.
“What? Sexy?” Harry berkedip padaku.
“No it’s not! Menurutnya gaunku norak, jadi dia meminjamiku ini. Begitu.”
“Oh, begitu…”
“Iya begitu.”
“Begitu.” Senyuman Harry membuatku salah tingkah.

Tengggg!!!!!!
Denting yang nyaring membuat kami semua menghentikan aktifitas kami. Kulihat jam menunjukkan pukul 00.00 tepat. Pintu hall terbuka dan itu tandanya acara malam ini telah selesai. Bring Me To 1Date telah usai.
“Ohhhh come on! We’re not Cinderella!!!!”
“Yeah! We’re One Direction Bitches!”
Aku menepuk jidat melihat tingkah konyol Erica dan Therine akibat terlalu banyak minum. Tapi semua orang tertawa melihatnya.
“Well then, bye Kiara!” Harry melepaskan tanganku dan pergi bersama yang lainnya. Sekali lagi aku melihat punggung dan rambutnya bergerak menjauh. Meninggalkanku.
“Terima kasih banyak, Harry…”
***
“Oh my God, you’re so heavy! What did you eat?!” kata Hanna kesal sambil merangkul Erica dan Therine kembali ke kamar mereka.
“Thank you girls!” kata Therine setengah menjerit. Bau alkohol yang menyengat langsung menusuk hidungku.
“Kalian baik-baik saja kan?” tanya Briza memastikan mereka tidak akan terjatuh dan kemudian tertidur di koridor sampai pagi.
“Yeah we’re okay. Rite, Erica Tomlinson?” Erica menangguk lemas. Sesaat sebelum aku, Hanna, dan Briza masuk ke kamar, kami mendengar Erica berteriak, “Hey! I can’t believe you look so stunning tonight, Indonesian!”
“What did you said to her?!” tanya Therine setengah berteriak.
“You hear me, B*tch!”
“Hahahahaha yeah, how silly of me! YOU LOOK HOT, KIARA!”
“Oh come on, Therine Malik! You saw the way Harry overwhelmed tonight, right?”
“No! I saw the way Harry want to make out with her! Hahahaha.”
Suara tawa Erica dan Therine yang mulai menghilang kini berganti dengan suasana awkward yang tidak menyenangkan. Briza dan Hanna menatapku tajam. Mereka menyeringai. Tak perlu kuberitahu apa persisnya warna pipiku sekarang.
“Just come in!” Aku mendorong mereka berdua sambil menahan malu.
***
“Kiara, are you awake?”
“Uh hmm.”
“Hanna?”
“Yeps.”
“Me too.” Briza bangkit dari tempat tidur, membuatku dan Hanna terpaksa mengikutinya.
“Apakah kalian berpikir betapa beruntungnya kita semua? Bukan hanya karena kita bertemu dengan mereka tapi karena semua ini?” Briza menggerakkan tangannya dengan antusias.
“Yeah, I can’t stop thinking about that. Aku selalu berpikir ini semua hanya mimpi dan aku akan terbangun sebentar lagi.” jawabku.
“Aku benar-benar tidak percaya semua ini bisa terjadi. Tapi ini memang terjadi.” Tambah Hanna. Ia meraih tanganku dan Briza dan menggenggamnya.
“I’m feeling so lucky!”
“Tapi kukira ini semua bukan sebuah keberuntungan, tapi ganjaran atas keyakinan dan usaha kita selama ini.”
“Briza’s right. Dulu orang-orang selalu berkata padaku bahwa bertemu dengan One Direction bagaikan mimpi di siang bolong. Mereka terus menyuruhku untuk bangun dari mimpi. Tapi aku menolaknya. Aku terus berharap dan berusaha dan yakin ini semua akan menjadi kenyataan. And now, here I am!”
“Saat semua temanku bermimpi menjadi dokter, artis, pengusaha, dan lain sebagainya, aku hanya bisa berkata bahwa saat ini mimpiku yang paling jelas dan nyata adalah bertemu dengan One Direction. They laughed of course. But I think they wont laugh anymore right now.”
Kata-kata Harry waktu itu tiba-tiba terlintas di pikiranku. Dia benar. Aku harus punya mimpi yang lain. Mimpi untuk diriku sendiri. Lagi pula mimpiku yang satu ini sudah terwujud kan?
“Kita benar-benar beruntung!”
“No, we’re blessed!” Aku tersenyum sambil membalas genggaman tangan mereka.
“Aaahhhh I love you so much guys!” Tangan kami bertiga otomatis terangkat dan kami berpelukan erat. Ya, kami bersahabat sekarang.
“Please don’t forget me, guys.”
“No, we wont. Aku akan mengunjungi restoranmu kalau aku ke China nanti.”
“Really?!”
“No. Hahahaha.” Goda Briza, “But I wont forget you all! Promise we’ll never lose contact?”
“Yeah! Let’s tweeting and fangirling together!” Hanna mengambil handphonenya dan mulai mengetik sesuatu dan beberapa saat kemudian handphone-ku dan Briza berbunyi. Dan di antara hate tweets yang masih saja membanjiri mention-ku, aku tersenyum melihat tweet manis Hanna yang amat menyentuh hati.

@Hanna_Changx: The best part of this #BM21Date is not meeting them but make new friends. I love youuu @Kiaraa1D @HolaBriza @Ericaaxx @The_Mademoiselle_Malik xx

***

Tiga hari istimewaku telah berakhir. Salah satu mimpi besarku telah terwujud. Aku sudah bertemu mereka semua dan mereka tahu aku ada. Sekarang tiba saatnya bagiku dan keempat gadis beruntung yang kini telah menjadi sahabat baruku untuk pulang. Kembali ke kehidupan nyata.
Sama seperti ketika kami pertama kali bertemu, di tempat yang sama, di lobby hotel, kami menangis dan berpelukan. Saling mengucapkan salam perpisahan dan berjanji tidak akan saling melupakan. Kami juga saling bertukar benda-benda pribadi yang kami punya sebagai kenang-kenangan.
“I’m gonna miss you guys so much!” kata Therine sambil terisak. Seketika Briza merangkulnya dan ia kembali menangis. “And you, Hanna! Don’t tweet like that again please? Or I’m gonna drown in my own tears!”
Kami semua tertawa lalu berpelukan sekali lagi. Hanna benar. Yang terbaik dari semua ini memang bukan saat-saat kami bertemu dengan One Direction, tapi persahabatan ini. Inilah tujuan utama kompetisi ini, mempertemukan Directioners dari seluruh penujuru dunia.
“Kiaraaaaa! Ini untukmu.” Kata Hanna sambil memberiku tas yang berisi gaun miliknya yang kupakai tadi malam. “Aku tidak tau harus memberimu apa. Aku pikir gaun ini lebih cocok untukmu, jadi—”
“It’s perfect!” selaku. “Gaun ini akan membuatku selalu mengingat saat-saat ini. Mengingatkanku padamu. Terima kasih banyak, Hanna!” aku memeluknya erat.
            “Hey,” aku menoleh, Erica berdiri di belakangku. Dengan senyum di wajahnya, aku baru sadar kalau dia benar-benar mirip Eleanor.
“Maaf ya kalau selama ini aku kadang bersikap dingin. I like you, actually.” Begitu kata Erica sebelum memelukku hangat. “Dan terima kasih sudah membawaku dan Therine ke kamar saat kami mabuk. Erghhh benar-benar memalukan.” Ia menambahkan sambil berbisik. Aku tertawa pelan.
“It’s okay. Aku juga berterima kasih karena kau dan yang lainnya sudah menolongku waktu itu.”
“Actually, we did nothing. Harry yang menolongmu. You’re so lucky! I’m so jealous with you!” Erica meninju bahuku pelan. Aku menunduk, menyembunyikan wajahku yang memerah.
“Hi girls! Ada yang mau mengucapkan salam perpisahan pada kalian…” kata salah seorang panitia kompetisi.
Mata kami tertuju ke arah pintu di ujung sana. Begitu pintu itu terbuka kami tidak bisa melakukan apa pun selain mengeluarkan air mata lebih banyak lagi. Mereka datang.
“Aaaaaaaahhh please don’t leave us…” kata Louis sambil bergantian memeluk kami.
“Jangan khawatir, tahun depan saat 1D menggelar tour, giliran kami yang akan datang ke negara kalian.” Tambah Zayn.
“Jadi tolong kalian jangan berhenti jadi Directioners dulu.” Tambah Niall.
“NOOOOOOOO!” kami semua menjerit protes. Niall seketika menutup telinga dengan kedua tangannya. Membuat Hanna tidak tahan untuk tidak mencubit kedua pipinya.
“Don’t forget me, Niall!” Kata Hanna sambil memeluk member 1D favoritnya itu.
“Bagaimana aku bisa melupakan gadis seistimewa dirimu?” Niall melingkarkan tangannya di bahu Hanna. Aku dan pemenang lainnya memandang iri. Dari semua pasangan, Niall dan Hanna lah yang paling dekat. Mereka berdua seperti sepasang sahabat, bahkan kakak dan adik. Melihat mereka berdua melakukan toss, berpelukan, dan saling bertukar hadiah, saling mencubit pipi dan hidung, kami jadi berharap akan ada Ninna atau Haiall couple suatu hari nanti.
Aku memeluk semua personil 1D satu per satu. Tapi pelukan Harry lah yang terbaik. Dan ketika pelukan itu berakhir aku merasa ada yang hilang. Apakah aku akan bertemu dengannya lagi? Apakah ia akan mengingatku? Ah, jangan bodoh, Kiara. Harry itu artis dan dia punya banyak teman wanita. Tentu saja dia akan cepat melupakanmu.
“Bye guys!” Dengan enggan aku melangkah pergi bersama keempat pemenang, meninggalkan lima orang lelaki yang telah membuat hidup kami jungkir balik.
“Goodbye.”

***

Harry’s POV

Tidak. Ini tidak benar. That’s it? Semuanya hanya akan berakhir seperti ini, setelah semua yang telah terjadi? Kencan yang melelahkan, phone booth, One Thing, Nandos, tato, kebun binatang, Kiara yang dipukuli, Kiara yang terjatuh di salju, Kiara yang membuatku khawatir, Kiara yang membuatku tidak bisa tidur, Kiara yang terlihat sangat cantik di pesta, Kiara yang membuat perasaanku jungkir balik selama beberapa hari terakhir…
Tidak bisa seperti ini.
“Harry where are you going?!”
Aku terus berlari tanpa mempedulikan panggilan-panggilan di belakangku. “KIARA WAIT!!” panggilku. “Wait! Wait me please! Wait!” Aku menarik tangannya. Ia berbalik dan menampakkan wajah heran. Dia terkejut melihat Harry Styles yang sedang ngos-ngosan berdiri di depannya.
“Ada apa, Harry?”
“Harry?”
“Harry are you okay?”
Aku tidak memberikannya jawaban apapun selain pelukan. Pelukan yang amat sangat erat. Begitu eratnya di kedua tanganku seolah tak mungkin dilepaskan lagi. Kuletakkan kepalanya tepat di dadaku agar ia bisa mendengar detak jantungku yang tidak karuan, sementara kubenamkan wajahku di rambutnya yang amat kusukai.
“Don’t leave me!”
“But, Harry… I have to go.”
“Yeah, I know. I just wanna say that words.” Bisikku tepat di telinganya. Tanganku masih melingkar, bahkan lebih erat lagi. Kurasakan tangannya ragu-ragu melingkar di pinggangku.
“Maaf kalau semua ini tidak berjalan seperti apa yang kau harapkan. Kau sudah berjuang begitu keras dan hanya ini yang kau dapat. Seharusnya aku bisa memberimu yang lebih baik. I’m really sorry.”
“No, it’s not.” Protesnya. “Serius deh, tiga hari ini adalah —”
“Best days in your life?” tanyaku sambil melepaskan pelukanku. Aku menatap sepasang mata cokelat yang indah itu, yang bahkan lebih indah dari milik Zayn. I’m captivated by her.
Tiba-tiba terlintas di kepalaku untuk memberikan sesuatu padanya. Sesuatu yang akan membuatnya terus teringat padaku. Jadi aku melepaskan beanieku, mengacak rambutku sejenak, lalu memakaikannya ke Kiara.
Beanie itu tampak kebesaran di kepalanya yang mungil. Kurapikan rambut di sekitar wajahnya, dan ia tampak sempurna.
“Wow, it suits you.” Aku tersenyum melihat gadis manis di hadapanku yang bingung setengah mati dengan apa yang baru saja kulakukan.
“Ini apa?” tanyanya polos.
“Hanya kenang-kenangan dariku. Well, selain tato itu tentunya.” Kiara tidak bisa menyembunyikan tawanya. Sambil menggigit bibir dia memperbaiki posisi beaninya. Oh my God, she’s so cute!
“Thank you for everything, Harry!”
“No, thank you for everything.” Aku menggeleng sambil tersenyum padanya. “And umm, I’m going to meet you soon, I promise.”
“What?! How—”
Kenapa sih dia harus selalu banyak bertanya? Sebelum Kiara membuatku semakin gemas kuletakkan jariku di dagunya dan membawanya mendekat perlahan. Lalu kudaratkan bibirku ke pipinya yang dekat ke bibir.
Hangat. Itulah yang kurasakan selama beberapa detik yang bagiku bagai selamanya. Kehangatan itu kemudian mengalir dari bibir ke seluruh tubuhku. Membuat hatiku jungkir balik lagi. Maybe she’s not my type but she’s really something.
“Can you just shut up and wait for me?”
“A-Aku tidak keberatan kok, walaupun harus menunggu seumur hidup.”
Tanpa mempedulikan the boys yang melompat-lompat kegirangan, atau gadis-gadis pemenang yang menjerit, aku tersenyum sambil membiarkan jari-jariku menelusuri rambut Kiara yang kusukai.

***

A Year Later

“INDONESIA!!!! Do you have a good time?!”
“You guys are absolutely incredible!!!”
“Best fans in the world, all of you!”
Teriakan histeris para penggemar boyband paling fenomenal abad ini menggema di seluruh arena konser. Kelima pemuda tampan dan bertalenta itu berhasil membuat fansnya di Indonesia mendapatkan malam terbaik mereka. Setelah penantian bertahun-tahun, akhirnya One Direction menginjakkan kaki di tanah air.
“Thank you so much, Indonesia, thank you! This place is really amazing! And Indonesian Directioners are so…. Aaargh!” ketika Harry mengepalkan tangannya kehilangan kata-kata, semua penonton bersorak.
“Awwwh Harry!” Niall menggoda Harry dengan menunjuk-nunjuk dimplesnya.
“Harry is now galau everybody!” histeria semakin tidak terkendali ketika Zayn mengucapkan kata ‘galau’ yang pernah popular di Indonesia itu.
“Thank you, Zayn.” Sahut Harry setengah kesal. “Aku memang punya kenangan pribadi tentang Indonesia. It was a year ago. Aku pernah berjanji pada seseorang aku akan berada di sini suatu hari nanti untuknya.”
Penonton bergemuruh lagi. Mereka tau siapa yang Harry maksud. Semua orang tahu. Mungkin karena itu dia tidak datang malam ini.
“I don’t know where are you now, are you coming or not, but I just wanna say that this song is special for you…”
Suara gitar Dan Richards mulai mengalun. Lampu meredup. Liam, Niall, Louis, Zayn, dan Harry mengambil posisi. Mereka siap bernyanyi lagi.

Cant belive you’re packing your bags
Trying so hard not to cry
Had the best time
And now it’s the worst time
But we have to say goodbye…

Harry merasa ditarik kembali ke masa itu. Masa dimana ia bertemu seorang gadis yang teramat istimewa. Hari-hari terbaik seumur hidupnya. Lagu ini seolah memang dibuat untuknya. Harry pun bernyanyi sepenuh hati.

Don’t promise that you’re gonna write
Don’t promise that you’ll call
Just promise that you
Wont forget we had it all

Harry menutup matanya sejenak. Dan ketika membukanya ia tidak melihat lautan penonton, atau lampu, atau panggung, atau teman-teman dan bandnya. Namun Harry melihat salju. Harry melihat seorang gadis yang terbaring di atas tanah putih yang dingin. Harry memeluk gadis itu. Menjaganya.
“Please be safe…”

Cause you were mine for the winter
Now we know its nearly over
Feels like snow in September
But I always will remember
You were my winter love
You always will be my winter love….

***
           
            Harry sedang bersiap meninggalkan arena konser ketika ia menerima heart attack saat melihat seorang gadis dengan beanie warna biru donker berdiri kebingungan di backstage. Dengan tangannya yang mungil ia memegang sebuah poster besar dengan gambar seorang cowok berambut keriting yang mirip Harry. Dalam hati Harry bertanya tanya, “Is it real? Am I dreaming?”
            “Kiara?” dan gadis itu menoleh.
            Harry kehabisan kata. Bahkan mungkin juga napas. Ia menjatuhkan tas yang dibawanya dengan keras ke sudut ruangan agar dia bisa segera berlari ke dalam pelukan Kiara secepat mungkin.
            “Is that you? Is it really you?! I’m not dreaming right?” Harry melepaskan pelukannya untuk melihat wajah Kiara dengan seksama. Masih bukan tipenya.
“Harry, yang seharusnya fangirling itu aku…” ujar Kiara menahan tawa. Harry tergelak dan kembali memeluknya. Tidak ada kata-kata “I miss you” dari mulut keduanya. Satu pelukan hangat sudah cukup untuk menggambarkan kerinduan yang menggebu di antara mereka berdua.
“Security yang menarikku ke sini. Bodohnya, aku sempat berpikir kau yang…”
“No, I didn’t!” potong Harry tak habis pikir. “Aaaaahhhh! The boys!” Kiara tertawa melihat tingkah Harry yang menginjak-nginjak tanah karena kesal.
Memang mereka yang melakukannya. Ketika mereka tahu akan ada tour ke Indonesia, Harry langsung histeris dan tidak sabar ingin segera pergi. Selama perjalanan ke sini di pesawat Harry tak henti-hentinya membicarakan Kiara. Seperti apa dia sekarang? Apakah dia akan pergi menonton konser? Apakah dia masih menyukai Harry? Atau apakah dia masih menyukai 1D atau bahkan sudah tidak peduli? Sadar sedang diperhatikan, Harry pun salting dan mengalihkan pembicaraan sambil berdeham keras.
“Apa kabar kau, Winner? Long time no see.” Harry nyengir.
“Aku baik.” Jawab Kiara malu-malu sambil menggulung posternya. “Walaupun tidak pernah sebaik tahun lalu di London.”
“Hahah yeah it was a great time.” Harry mengangguk setuju.
“I wanna thanks to you, by the way. Karena omonganmu soal bermimpi untuk diri sendiri waktu itu, aku jadi sadar. Aku sadar aku juga punya kehidupan lain yang juga harus aku pikirkan. Aku harus mengejar apa yang benar-benar jadi keinginanku. Sekarang aku sedang melakukannya, Harry.”
“What? Really?”
“Ya. Sekarang aku sudah kuliah di jurusan design. Beberapa kali aku ikut lomba dan menang. Beberapa karyaku juga sudah dipakai. Kalau bukan karena kau, aku pasti masih jadi orang yang biasa-biasa saja tanpa ada impian yang harus dikejar. Sekarang aku benar-benar ingin menjadi seorang designer professional, Harry!” cerita Kiara semangat.
“That’s good.” Harry tersenyum. “Mungkin nanti kau bisa mendesign kostum spesial untuk kami.”
“Woaahhh! That would be amazing!” seru Kiara kagum membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. BM1Date benar-benar sesuatu bagi Kiara. Tidak hanya bertemu 1D dan empat sahabat baru yang sekarang sangat dia rindukan, Kiara juga menemukan impiannya yang lain. Impian sebenarnya untuk menjadi orang yang juga hebat seperti One Direction dan musiknya. Bukan hanya impian menjadi seorang fan beruntung yang bertemu idolanya. Just like Harry said last year.
“Kiara, what’s going on?” Harry melambai di depan wajah Kiara yang sedang melamun.
“What?! Nothing.” Tanyanya salting. “Ah iya, mungkin sebaiknya aku kembalikan ini padamu.” Kiara melepaskan beanie di kepalanya dan memakaikannya perlahan pada Harry sambil mencuri-curi kesempatan mengusap rambut keritingnya yang fenomenal. Kiara menelan ludah ketika jari-jarinya menyentuh rambut Harry lembut. Napasnya memburu. Entah makhluk apa yang sedang beterbangan di dalam perutnya sekarang. Harry menatap langsung ke dalam matanya.
“But I gave it for you!” Harry mencengkram kedua tangan Kiara.
“But I take too much.” Sambil tersenyum Kiara melepaskan tangan Harry. Jari-jarinya kembali merapikan rambut Harry sekali lagi. Sepasang mata hijau itu menatapnya minta penjelasan.
“Semua orang ingin membunuhku karena beanie itu, Harry.” Meskipun Kiara mengatakannya sambil tertawa, Harry tahu ia tidak sedang bercanda.
“I’m sorry. I put you in danger again.”
“Aaah come on, Harry it’s okay. I’m fine. I just—”
“Do you love me?”
“W-what?” Kiara terkejut mendengar pertanyaan Harry. Ia menggigit bibir saking gugupnya. “Of course! I’m a Directioner, Harry! Directioners always love One Direction. Untill the end. No matter what.”
“I’m not asking about Directioners. You.” Kiara membeku, Harry menggenggam erat pergelangan tangannya yang penuh dengan wristband One Direction kualitas nomor satu.
“I…” Kiara menelan ludah.
“I don’t know…” setelah menarik napas ia memberanikan diri menatap mata Harry. “Tapi kalau memikirkan kita akan bertemu lagi setelah hari itu, membayangkan kau ada di sini setiap mendengar lagu 1D, dan mencium postermu setiap malam berarti aku mencintaimu, maka aku amat sangat mencintaimu.”
Dunia seolah berhenti berputar ketika Harry meraih wajah Kiara dan menariknya mendekat. Harry menunduk dan menciumnya lembut. Satu lagi mimpi bodoh Kiara kini menjadi nyata.
“Kau tidak butuh poster itu lagi sekarang.” Harry menekankan bibirnya sekali lagi di tempat yang sama. Mereka berdua memejamkan mata. Kalau memang semua ini hanya mimpi, setidaknya mereka berdua memimpikan hal yang sama.
“I know it’s crazy. But I think I love you, Kiara.” Bisik Harry sambil menempelkan keningnya pada kening Kiara. Jari-jarinya otomatis menelusuri rambut gadis itu. “Not as my fan. You.”
Satu per satu butiran kristal terjatuh dari sudut mata Kiara. Ia tak bisa berpikir jernih. Semua ini terlalu luar biasa dan tidak masuk akal. Ini tidak mungkin terjadi! Harry itu artis kelas dunia, sementara dirinya?
“Is it real? Am I dreaming? Atau sejak kompetisi tahun lalu aku masih bermimpi dan belum terbangun sampai sekarang?” Kiara membekap mulutnya tidak percaya.
“Should I repeat it again, to convince you?” Harry menaikkan satu alisnya. Kiara tertawa di antara tangisnya. “Do you want to make a story with me? I promise that would be so much better than your dreams and fairytales.”
Heart attack.
“W-what? W-would you say it again, Harry?” pinta Kiara dengan suara gemetar. Air matanya menggenang. Tanpa ragu Harry meraih kedua tangannya, “Would you be my girl, Kiara?”
Senyum itu, dimples itu, mata itu…. Bagaimana bisa Kiara menolak pesonanya?
“You know I’ve waited for this in my whole life!” Kiara menjatuhkan tubuhnya sepenuhnya ke pelukan Harry. Dihirupnya aroma tubuh Harry dalam-dalam seperti waktu itu. Masih Blue de Channel.
“Say it now! Your feeling about me.” He whisper with his raspy voice.
“I love you.”
“Who? Harry from One Direction?”
“No, the boy who warmed me up when I get cold and stand up for me when I get hurt.” Kiara bisa merasakan Harry sedang tertawa lewat dadanya yang bergerak naik turun. Harry balas memeluknya, meletakkan kepalanya sepenuhnya di bahu Kiara. Wajahnya menempel di lehernya hingga Harry bisa merasakan parfum beraroma manis yang dikenakan gadis itu.
“I love you too.” bisik Harry sambil mengusap rambut Kiara sekali lagi. “And thank you… For bringing me to your heart.”
Kiara tersenyum dalam pelukan Harry. Ia sudah bangun dari mimpi. Mimpi yang sekarang bukan lagi hanya sekedar mimpi. Kini saatnya untuk mengejar mimpi yang lain. But one thing for sure… One Direction is real. Harry is real. The love is real.