Saturday, July 27, 2013

Daylight

Finalis #1DFanfiContest13

oleh Anindra Widya Acintya , 16

ZLS


Sinar mentari mulai memasuki dari celah-celah tirai yang masih menutupi jendela di sebelah tempat tidur seorang laki-laki. Karena sudah tahu matahari mulai naik, perempuan itu mengoyak-ngoyak tubuh kekasihnya yang masih tidur terlelap dan mungkin masih berfantasi dengan mimpinya.

“hey, Babe. Ayo bangun, ini sudah pagi.” Kata perempuan itu. Kekasihnya pun sedikit mendesah karena gangguan yang ditimbulkan oleh perempuan tadi.

“ah… lima menit lagi.” Jawab lelaki itu. Tangannya kembali memeluk guling yang disampingnya. Karena sedikit kesal, si perempuan tadi menarik selimut yang membungkus tubuh kekasihnya. “aaaaaa, dingin!” protesnya.

“ayolah, bangun! Ini waktunya kau sarapan! Kemarin-“

“iyaaaaaaaaa, aku bangun!” si lelaki itu memotong omelan si perempuan tadi. Ia mulai mengucek-ucek mata dan mengumpulkan nyawanya. Lalu melihat sekelilingnya, ia masih disitu, di ruangan serba putih yang biasa ia tempati. “Rose?” ia memanggil kekasihnya. Si lelaki tadi memposisikan tubuhnya duduk untuk agar nyawanya terkumpul dengan sempurna.

“iya?” jawab Rose. Yang tadinya ia membuka tirai, ia sekarang menatap kekasihnya, Zayn.

“aku rindu The Lads bisakah kita pulang?” Rose terpatung disitu. Yah, yang dimaksud The Lads olehnya adalah teman-teman satu band nya, Harry, Liam, Niall, dan Louis. Yang sekarang mereka sedang sibuk melaksanakan tournya di luar negri, tentunya tanpa Zayn. Masalah itu sebenarnya sempat ramai di media, tapi apa daya, karena kesehatannya yang tak memungkinkan, akhirnya Zayn diliburkan sampai ia benar-benar sembuh.

“Zayn, kau tahu kan mereka sedang sibuk tour? Mereka berjanji jika tour telah selesai, mereka akan mengunjungimu.” Zayn terdiam sebentar. Wajahnya sedikit layu, Rose pun tersenyum lembut mlihat tingkah laku kekasihnya yang seperti anak kecil itu. Ia mendekati Zayn, lalu berkata, “ayolah, dimana senyum itu?”. Itu membuat bola mata Zayn berputar ke arahnya dan sedikit tersenyum. “That’s my boy!” Rose menghadiahi sebuah kecupan di pipi Zayn karena ia telah mau tersenyum untuknya.

“Kita bisa jalan-jalan kan hari ini?” Tanya Zayn seraya menyandarkan punggungnya ke bantal empuk yang biasa ia pakai untuk tidur.

“entahlah, kita lihat apa kata dokter.” Zayn mengangkat kedua alisnya, dan sedikit tersenyum. Ia sudah lama ingin sekali keluar dari sini karena kebosanan akut yang dideritanya sejak ia masuk sini.

“berarti jika keadaanku baik, kita bisa keluar? Jalan-jalan? Kencan?” Rose tertawa kecil dan mengangguk karena melihat tingkah Zayn yang seperti anak kecil. Tiba-tiba seorang lelaki gagah memasuki ruangan Zayn, dengan jas putih khas nya dan sebuah stetoskop menggantung di lehernya. Seorang perempuan membuntunti nya dari belakang dengan membawa papan data.

“selamat pagi, tuan Malik. Bagaimana kabarmu hari ini?” sapa sang dokter. Sedangkan si suster mengecek infuse dan informasi lainnya untuk keperluan informasi kesehatan Zayn.

“hm… seperti hari biasanya, bored.” Sekarang si suster mulai mengambil sampel darah Zayn dengan menyuntikan suntik dan menyedot darah dari nadi milik Zayn. Pemandangan itu hampir setiap hari dijumpai oleh Rose, ia biasa menemaninya di setiap waktu, selama keluarga Zayn tak bisa berkunjung. Sang dokter sedikit tertawa dengan jawaban Zayn, karena hanya itu jawaban Zayn setiap kali sang dokter menanyakan kabarnya.

“baiklah, sekarang kita harus general check up seperti biasanya.” Kata suster yang telah menyiapkan kursi roda. Zayn menghembuskan nafas panjang, tapi akhirnya ia pun membuka selimutnya dan duduk di kursi itu untuk di bawa ke lab pemeriksaan.

“sampai nanti, Rose.” Kata Zayn. Rose hanya tersenyum sambil mengangguk. Akhirnya, hanya dia sendiri yang ada di ruangan itu. Matanya menatap jendela yang memperlihatkan langit dengan hiasan gumpalan-gumpalan yang tertata indah.

***

“Bagaimana keadaanku, dok?” Tanya Zayn saat dokter sedang sibuk melihat hasil visum dirinya. Ia penasaran dengan hasil visum itu. Bagaimana tidak, dia berharap sekali keadaannya membaik karena janji Rose.

“um… Zayn…” Sepertinya sang dokter sedikit ragu-ragu dengan hasil yang akan ia sampaikan.

“ada apa? Katakan jika keadaanku baik, jadi aku bisa berkencan dengan kekasihku hari ini.” Senyumnya tak bisa berhenti mengembang karena kata-kata kekasihnya tadi yang berjanji untuk mengajaknya kencan jika keadaannya membaik. Dokter pun menghembuskan nafas panjang, ia sedikit berpikir.

“kau… akan berkencan dengannya hari ini?” Tanya sang dokter.

“ya, dia telah bejanji padaku, jika keadaanku membaik.”

“tapi Zayn… visum ini mengatakan sel kanker itu sudah mulai merambah ke organ-organ penting tubuhmu. Jika ini tidak ditindak lanjuti, atau kau tidak melakukan kemoterapi-“

Zayn memotong pembicaraan dokternya itu dengan satu hembusan nafas yang kasar, lalu ia berkata, “Kau ingin aku kehilangan rambutku? Yang benar saja!” nadanya sedikit meninggi, ia tak suka dengan kabar itu. Ia tak suka dengan keadaan yang menyatakan bahwa ia harus melakukan kemoterapi. Ia tak suka rambut yang paling ia sayangi itu harus hilang dari tubuhnya. Dan yang paling membuatnya kecewa, Rose tidak akan mau mengajaknya kencan jika keadaannya sudah seperti ini.

“Aku minta maaf, Zayn. Tapi ini hasil visum yang baru kau lakukan. Kau harus melakukan kemoterapi, jika tidak, kau akan tahu apa yang akan terjadi padamu. Aku tahu kau telah menolak untuk melakukan kemoterapi dari dulu, tapi keadaanmu semakin kritis, kau tahu itu, kan?” Zayn hanya bisa menunduk, memandangi jemari kakinya dengan sandal dari rumah sakit yang diberikan kepadanya. Otaknya mencoba mencerna baik-baik perkataan dokter yang barusan, yang mengatakan bahwa ia harus melakukan kemoterapi. Giginya menggigit lembut bibir bawahnya, berpikir keputusan apa yang harus ia buat.

“biarkan aku berkencan dengan kekasihku, hari ini. Jangan katakan padanya hasil visum hari ini dan … aku tetap dengan keputusanku.” Dokter pun menggeleng pelan tak percaya dengan apa yang dikatakan Zayn.

“tak salah jika Rose mengatakan bahwa kau adalah seorang yang keras kepala.”

***

            Rose terlihat memegang handphone ditangannya, ia sedang telepon dengan seseorang yang jauh disana. Sesekali senyumnya mengembang karena kata-kata yang di ucapkan orang diseberang sana. Ia terlihat asyik dengan percakapan yang dimilikinya.

“Hari ini adalah konser terakhir kita di Jepang! Wohoo, akhirnya kita bisa menjenguk Zayn besok!” Suara itu sangat familiar di telinga Rose, itu milik Niall.

“ya, aku juga tak sabar untuk bertemu dengannya. Kuharap sel kanker bajingan itu telah keluar dari tubuhnya ketika kami kesana.” Rose hanya tertawa dengan komentar yang diberikan Harry.

“keadaanmu bagaimana, Rose?” Tanya Liam. Rose yakin, saat ini Louis me-Loud speaker handphonenya agar yang lainnya bisa ikut berbicara dengannya.

“aku? Aku baik-baik saja, disini.”

“Yeah, Rossie, kau memang perempuan yang tegar. Tak salah jika Zayn memilihmu.” Kata Louis, Rose hanya tersipu dengan pujian tersebut.

“ah iya, kami akan kesana besok.” Kata Liam.

“aku tahu, Niall telah mengatakannya tadi. Yeah, tadi pagi Zayn berkata bahwa ia ingin sekali bertemu dengan kalian. Aku benar-benar tak mengerti dengannya, kenapa ia harus merindukan orang-orang yang rata-rata menyebalkan.” Canda Rose.

“hei! Jangan berkata seperti itu, semua orang tahu bahwa kita itu missable.” Lagi-lagi ke narsisan Harry muncul membuat yang lainnya tertawa, Rose pun juga ikut tertawa.

“oh, benarkah? Aku yakin hanya directioners yang mengatakan itu.” Goda perempuan berambut brunette itu. Ia paling geli jika Harry atau Zayn mengerluarkan ke narsisan mereka di depannya.

“ah, Zayn belum tahu, kan bahwa kita akan datang besok?” Tanya Louis. Rose menggeleng, lalu menepuk jidatnya. Mungkin ia menyadari bahwa the boys tak bisa melihatnya dari sana.

“tidak.” Jawab Rose.

“Kita harus membuat surprise untukknya! Jangan katakan pada Zayn bahwa kita akan datang! Kita besok akan mengagetkannya! Haha.” Sahut Liam.

“Aku tahu pasti itu akan menyenangkan!” Niall menimpali. Tiba-tiba Rose mendengar suara kursi roda mendekati ruangan itu. Akhirnya, mau tak mau ia harus memutuskan telepon itu.

“lads, Zayn datang. Sampai ketemu besok!” klik. Rose langsung menutup teleponnya. Benar saja, Zayn dan suster yang tadi pagi ke ruangan itu masuk.

“bagaimana hasilnya?” Tanya Rose penasaran. Pandangannya bingung harus tertuju pada siapa, berharap ia mendapatkan jawaban yang ia harapkan. Akhirnya Zayn membuka mulutnya.

“keadaanku membaik!” katanya senang. Senyumnya mengembang, tapi Rose merasakan ada yang aneh dengan senyuman itu. Tapi akhirnya ia ikut tersenyum juga.

“baiklah, kita akan jalan-jalan hari ini.”

“kencan!” protes Zayn. Rose tertawa karena reaksi Zayn yang seperti anak kecil.

“iya, iya kita kencan. Starbucks? McDonalds?” tawar Rose. Tapi Zayn malah mengerang, dan itu membuat kedua alis Rose mengangkat.

“kita akan kencan, bisakah kau menawari tempat yang sedikit romantis? Eye of London misalnya? Kita dekat, kan dari sini?” Protes Zayn. “ah, satu lagi. Aku mau ganti baju, sebaiknya jangan balikkan badanmu.” Ia mulai melepas bajunya satu persatu dan memakaikan baju yang baru dia ambil dari lemari ke tubuhnya.

“baik, kita ke Eye of London hari ini. Ah, jangan lupa pakai coat mu!”

***

            Mereka memanggil taksi yang telah Zayn sewa untuk kencannya kali ini. Menuju Eye of London yang terkenal dengan kekasih memang salah satu hal impian yang telah lama di ingin kan oleh Rose. Layaknya pasangan, Zayn menggandeng tangan Rose dan menggenggamnya erat. Saat berjalan menuju Eye of London, beberapa fans mendekati Zayn hanya sekedar minta foto atau pun tanda tangannya. Ada beberapa juga yang menanyakan keadaannya karena media yang telah menyebarkannya dengan cepat. Tentang Zayn sakit, tapi mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang sebenarnya dihadapi Zayn. Sebuah penyakit yang belum ada obatnya, yang telah menggerogoti tubuhnya menyebabkan ia harus rawat inap dan meninggalkan tournya. Hari ini, Zayn ingin menghabiskan harinya dengan kekasihnya. Ia tak mau membuat Rose khawatir dengan keadaannya, ia mencoba mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ya, semua akan baik-baik saja.

            Bianglala atau yang biasa disebut Eye of London itu mulai berputar membawa dua sejoli ini untuk melihat seluruh kota London. Big Ben dan tower bridge bisa terlihat jelas dari atas sana.

“kau lihat big ben? Itu terlihat indah sekali dari sini.” Kata Rose. Matanya berbinar-binar melihat pemandangan menakjubkan yang tak bisa diliihatnya setiap hari. Zayn hanya tersenyum mendengarnya.

“hey, Rose.” Zayn mengalihkan pandangannya yang semula melihat pemandangan dari atas Eye of London ke perempuan bermata hijau di depannya. Rose hanya berdeham mendengar Zayn memanggilnya, ia masih terlalu sibuk memanjakan matanya melihat pemandangan dari situ. “Apa yang akan kau lakukan jika aku sudah tiada nanti? Apakah kau akan mencari penggantiku?” Sekarang kesibukan Rose buyar karena pertanyaan yang keluar dari mulut Zayn. Ia menatap kekasihnya dengan tatapan kaget dan tak percaya.

“apa yang kau bicarakan? Kau tak akan kemana-mana, lagi pula kesahatanmu juga mulai membaik. Aku dengar dari dokter bahwa sel kanker nya berkurang, bukan begitu?” Zayn sedikit menunduk, mengingat dialah yang menjadi biang dari kebohongan itu. Dialah yang meminta sang dokter mengatakan pada Rose bahwa kesehatannya membaik, dan sel kankernya berkurang. Zayn menggigit bibir bawahnya lembut, ada sedikit rasa bersalah menyeruak di dalam dadanya karena keegoisannya.

“hm… ya. Aku tahu, tapi… berjanji lah padaku satu hal.” Zayn mengangkat wajahnya mencoba untuk menatap mata hijau Rose dengan dalam.

“apa?” Perasaan sedikit takut menyelimuti Rose. Pikirannya mulai menjalar liar memikirkan sesuatu negatif. Tapi ia berusaha mengontrol pikiran itu. Sesekali ia menarik nafas dalam-dalam, bersiap menerima janji apa yang akan dikatakan oleh kekasihnya yang berada di depannya.

“Berjanjilah untuk tidak menangis lagi.” Akhirnya Zayn mengatakannya, dengan nada sedikit tegas dan berharap Rose mau menepatinya. Sejenak keheningan menyergap mereka yang sedang tenggelam dalam pikiran masing-masing. “aku tak pernah ingin melihatmu menangis lagi, karena aku tahu aku tak akan bisa menyekanya lagi untukmu.” Bola mata coklat terang menatap lekat kepada perempuan yang menatap keluar jendela, seolah dia memperhatikan London Bridge, tapi tatapannya tak benar-benar kesana. Tiba-tiba Rose tersenyum pahit, ia mencoba mengembalikan air mata yang hampir memenuhi pelupuk matanya. Ia tahu, sangat tahu bahwa cepat atau lambat Zayn akan meninggalkannya. Tapi ia tak tahu kapan, dan ia benar-benar tak ingin tahu. Itu menyakitkan, menyesakkan dadanya setiap ia mulai memikirkan itu kembali mengingat umur perjalanan cintanya dengan Zayn baru seumur jagung.

            Berhentinya bianglala itu mengagetkan mereka, tapi kesunyian masih setia menemani pasangan ini. Mereka masih tenggelam dalam pikiran masing-masing, mencoba mencari topic untuk di bahas. Tapi akhirnya Rose memecahkan keheningan yang telah meyergap mereka.

“um… bagaimana jika kita ke Starbucks? Aku haus, dan aku tadi melihat kedai nya disana.” Kata Rose tiba-tiba, Zayn hanya mengangguk. Senyuman tipis sedikit pahit diterima oleh Rose. Ia tak kuasa untuk tersenyum mengingat cepat atau lambat ia akan meninggalkan kekasihnya di dunia ini, meninggalkan kekasihnya melawan dunia yang kejam. Rose yang tahu bahwa suasana hati Zayn sedang tidak cerah lagi, akhirnya ia menyatukan kelima jemarinya ke tangan Zayn. “Aku tak akan pernah membiarkan siapapun merebutmu dariku, dan aku juga takkan membiarkan kau meninggalkanku, aku takkan membiarkannya. Takkan membiarkan siapapun merenggut sumber kebahagiaanku.” Kata Rose lirih. Semilir angin menerbangkan helaian-helaian rambut brunette yang dibiarkan menjuntai bebas olehnya. Dan ia bisa merasakan dinginnya tangan Zayn saat ia menggenggamnya, sedingin turunnya suhu di bulan Desember. Zayn yang mulai merasa hatinya sedikit teduh karena perkataan Rose, akhirnya ia bisa tersenyum lembut, meskipun itu hanya senyum tipis yang terlukis disana. “aku mau Frappucino, kau pesan apa?” Tanya Rose sembari melihat Zayn yang tepat berada disampingnya. Kepalanya sedikit mendangak mengingat jauhnya perbedaan tinggi badan yang mereka miliki.

“tidak.” Hanya itu yang keluar dari mulut Zayn. “Kau, pesanlah, aku menunggumu di tempat duduk itu.” Rose mengikuti arah pandangan Zayn yang tertuju pada kursi di dekat kedai dengan pohon rindang disampingnya. Rose pun mengangguk, akhirnya Zayn melepaskan gandengan tangan kekasihnya yang hendak memesan minuman.

            Zayn berjalan sedikit terhuyung karena beratnya kepalanya. Sampai di tempat duduk yang dikehendakinya, dia mulai menyandarkan kepalanya dan menyembuskan nafas panjang. Angin sepoi-sepoi menemaninya disana. Sejenak ia menutup matanya merasakan kehadiran angin yang rasanya ingin membawanya ke suatu tempat yang lebih nyaman. Perasaan aneh mulai menyergapnya di dalam sana, perasaan keharusannya untuk pergi dari sana. Tapi tiba-tiba hentakan suara sepatu membuat ia membuka matanya kembali, dan melihat sesosok perempuan manis telah berada di sebelahnya memegang dua gelas Frappucino yang telah ia beli.

“kau memberiku uang kebanyakan, akhirnya aku membelikannya untukmu juga. Tak apa kan?” Zayn tersenyum, lalu ia menerima Frappucino yang telah dibeli Rose dari uang lebih tadi untuknya.

“kau mau ke kebun binatang setelah ini?” tawar Zayn.

“kebun binatang? Pukul berapa ini?” Rose mencoba mengambil handphone nya yang berada di dalam tas, hendak melihat jam yang tertera disana. Tapi akhirnya ia kalah cepat yang ternyata ia telah melingkarkan jam tangan di tangan kirinya.

“3 pm. Ayolah, aku ingin hari ini kita bersenang-senang untuk sehari penuh. Dan, maafkan kelakuan anehku barusan. Aku hanya merasa… aneh.” Kata-kata itu sukses membuat kedua alis Rose beradu. Ia tak mengerti dengan apa yang barusan dikatakan oleh Zayn. Aneh?

“aneh bagaimana? Kau tak apa?” Tanya Rose yang mulai sedikit khawatir dengan keadaan Zayn. Zayn yang tak peduli dengan pertanyaan itu langsung saja menarik tangan Rose dan langsung menuju taksi tadi yang parkir tidak jauh dari tempat Rose dan Zayn berada. Genggaman itu tegas, kuat, seolah Zayn tak ingin melepaskan Rose. Begitu juga sebaliknya, Rose juga menggenggam tangan Zayn, seolah tak membiarkan Zayn pergi dari sisinya. Tapi tiba-tiba Zayn melepaskan gandengan itu, ia memijit pelan keningnya. Rose yang melihat kelakuan Zayn itu langsung khawatir dengan keadaannya.

“Zayn? Kau yakin kau tak apa? Kita bisa kembali jika kau mau.” Katanya sambil mengelus lembut punggung Zayn. Zayn merasa kepalanya mulai lebih berat dari semula, keringat dingin membasahi keningnya, pengelihatannya mulai kabur dan berkunang-kunang. Ia bertumpuan pada pohon disebelahnya untuk menahan berat badannya.

“entahlah, kepala ku terasa berat.” Jawab lelaki berdarah Pakistan itu. Karena Rose tak ingin ada kejadian yang tak di inginkan terjadi, Rose langsung melingkarkan tangan Zayn ke tengkuknya dan membantu kekasihnya berjalan menuju dimana taksi tadi itu parkir. Tapi apa daya, tubuh Rose yang kecil lama kelamaan tak kuat menjadi tumpuan tubuh Zayn yang semakin terhuyung kepadanya. “Rose, aku tak kuat. Kepala ku sakit sekali.” Kaos Zayn mulai basah karena peluh yang telah membasahi badannya. Ia sendiri akhirnya tak kuat menahan beban tubuhnya, dan berakhirlah ia terjatuh di tanah yang dingin dan kotor meninggalkan Rose yang panic sendirian disitu.

Here I am waiting, I’ll have to leave soon why am I holding on?
We knew this day would come, we knew it all along
How did it come so fast?

***

            Rose tak bisa menenangkan kakinya yang mondar-mandir di depan ICU sambil menggigiti kukunya yang hampir habis. Itu adalah salah satu kebiasaan buruk Rose, menggigiti kuku jika ia sedang ketakutan dan disaat-saat genting seperti ini. Ia baru saja menelpon keluarga Malik yang posisinya sekarang berada di Bradford, tapi mungkin sekarang mereka sedang dalam perjalanan ke rumah sakit dimana Zayn dirawat. Rose tak bisa menenangkan kegelisahannya, rasa ketakutan itu mulai memenuhi hatinya. Ketakutan akan kehilangan, kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Ia tahu betul bahwa setiap orang pasti akan mati, tapi ia tak pernah mengira bahwa Tuhan akan mengambil Zayn secepat ini. Sesekali Rose menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia mencoba menepis rasa takut itu, dan mencoba meyakinkan dirinya sendiri semua akan baik-baik saja, ya, semua akan baik-baik saja.

            Tiba-tiba suara derap kaki terdengar di koridor. Itu membuat Rose menolehkan kepalanya ke sumber suara. Terlihat Mum Trisha yang diikuti oleh Dad Yaser, Doniyha, Waliyha dan juga Safaa melangkah cepat menuju ke arahnya. Rose yang mengetahui itu langsung berdiri menyambut pelukan Mum Trisha.

“dimana dia? Bagaimana keadaannya?” Mereka semua terlihat gelisah, se gelisah Rose yang menunggu kabar dari dokter. Kedua mata mereka juga terlihat basah karena lelehan air mata yang mungkin mereka jatuhkan saat mendengar berita menyakitkan tadi. Kecuali Dad Yaser, ia tetap terlihat gagah seolah tak mau memperlihatkan perasaan nya yang sebenarnya dia lah orang yang paling khawatir dari semuanya. Tak heran, karena Zayn sendiri paling dekat dengan ayahnya.

“aku sendiri belum tahu, dokter belum keluar.” Jawab Rose pelan. Ia mencoba mengontrol suaranya yang sedikit gemetar.

“apa yang terjadi dengannya?” Tanya Doniyha, kakak perempuan Zayn.

“dia pingsan, saat…” Rose terdiam sebentar, ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang harus dikatakannya? Mengatakan semua dengan jujur? Mengatakan bahwa Zayn pingsan saat ia ber kencan dengan dirinya? Itu sungguh tidak lucu. Bisa saja dalam sekejap keluarga Malik ini membencinya. Bisa-bisa mereka menyalahkan Rose karena pingsannya putra laki-laki Dad Yaser ini. Tapi akhirnya Rose diselamatkan oleh dokter yang keluar dari ICU. Wajahnya tampak lelah, tapi kewibaan masih melekat pada dirinya. Dr. Wales sangat dekat dengan keluarga Malik, itulah mengapa Zayn dirawat di rumah sakit itu.

            Dr. Wales mulai di serbu pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan Zayn. Wajahnya terlihat sangat layu karena itu. Mungkinkah ada sesuatu? Rose tetap berdiri di tempat semula, dia tak berani mendekat kepada sang dokter, dia tak berani mendengar apa yang akan dikatakan dokter pada orang-orang terdekat Zayn ini. Ia takut, takut untuk menerima kenyataannya.

“Keadaannya kritis, tapi dia sudah siuman. Kankernya telah merambah ke hati dan ginjalnya, itu pun sudah parah. Ia tak mau menjalani kemoterapi sebelumnya, tapi meskipun ia mau melakukannya itu sudah terlambat. Saya sudah tak bisa menanganinya lagi.”

            Pernyataan itu membuat keluarga Malik menangis lagi, Dad Yaser yang tadinya terlihat kuat, akhirnya ia luluh juga. Putra satu-satu nya keluarga Malik, putra yang paling ia sayangi, putra yang paling ia banggakan, harus meninggalkannya. Safaa yang tak mengerti tentang apa-apa itu menarik baju ibunya dengan jemari kecilnya.

“maa, Zayn kenapa? Kenapa semuanya menangis? Kenapa maa menangis?” Tanyanya polos. Safaa memang belum tahu tentang kanker, ia hanya bocah polos yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Bocah perempuan yang paling disayang oleh Zayn. Bahkan Zayn selalu mengalah padanya saat ia ingin menonton pertandingan sepak bola, tapi Safaa ingin menonton Hannah Montana. Mum Trisha memegang kedua sisi pipi Safaa dengan kedua tangannya, ia masih terisak karena kabar itu.

“Safaa, Zayn sakit, sakitnya parah, dokter sudah tak bisa menolongnya.” Safaa yang mendengarkan penjelasan itu, matanya mulai berkaca-kaca.

“maa, mintalah dokter untuk membantunya! Maa, Safaa sayang Zayn, Safaa nggak mau kehilangan Zayn.” Tangis Safaa mulai keras. Mum Trisha memeluknya erat, membiarkan putri kecilnya membasahi bahunya. “Zayn belum membawa Safaa ke Disneyland, maa. Zayn sudah janji pada Safaa. Zaaaayyyn!” Dad Yaser yang melihat pemandangan yang menyayat hatinya itu akhirnya mendekati Safaa, dan mencoba untuk menenangkannya.

“shh, Safaa cantik, Zayn tak akan pergi kemana-mana. Makanya, Safaa harus banyak-banyak berdo’a sama Allah, minta kesembuhan untuk Zayn.” Dad Yaser pun menggendong putrid kecilnya itu, membiarkan ia tenang di pelukannya. Satu persatu, Mum Trisha, Dad Yaser, Doniyha, Waliyha, dan Safaa mulai masuk ke ruang ICU, meninggalkan rose dan Dr. Wales berdua di koridor.

            Rose sedari tadi masih berdiri di tempat semula, seolah kakinya ini melemas, berubah menjadi Jelly setelah mendengar berita tadi. Rasanya seperti ia telah menerima tamparan yang keras. Tamparan yang menghancurkan kebahagiaannya, tamparan yang luar biasa kerasnya hingga ia merasa kehidupannya sudah tak berguna lagi. Ia mendudukkan dirinya di kursi, mencerna kata demi kata yang telah diucapkan Dr. Wales tadi. Kanker itu, telah menyebar ke bagian hati dan ginjalnya, dan ia sudah angkat tangan untuk itu. Berita itu yang dari tadi ia takutkan, seolah rasa ketakutan yang tadi menyelimutinya itu tertawa lepas karena menebak dengan tepat apa yang akan terjadi pada Zayn.

“Rose?” Dr Wales memanggilnya yang membuat Rose menoleh kepadanya. “Maafkan aku.” Kata dokter Wales. Ia mendudukkan pantatnya disebelah Rose.

“minta maaf untuk apa?” Suaranya masih gemetar seperti tadi. Ia mulai menggigiti kukunya lagi. Dr. Wales yang melihat itu hanya bisa menghela nafas panjang. Ia menutup matanya, mengingat Zayn yang tadi pagi memintanya untuk berbohong untuknya hanya agar dia bisa berkencan dengan kekasihnya. Perasaan bersalah menyeruak di dalam hatinya, membuat kenyamanan hatinya berkurang jika ia tak mengatakan yang sebenarnya pada Rose. Lagipula, dia tahu, dia tahu semuanya. Bahwa umur Zayn tak lama lagi.

“sebenarnya, hasil visum tadi pagi… Menunjukan bahwa sel nya mengganas. Aku sudah bisa melihat mereka menggerogoti hati dan-“

“APA?” Rose melihat Dr. Wales tak percaya. Ia tak percaya seorang dokter bisa membohonginya, membohongi tentang keadaan kekasihnya hanya untuk sebuah kencan. “bagaimana bisa? Kau… kau!! Aku membencimu!” Air mata mulai mengalir deras di pelupuk mata Rose. Ia ingat benar tadi pagi bagaimana Zayn tersenyum bahagia karena keadaannya yang membaik.

“Rose! Dengarkan aku dulu!!” Dr. Wales mencengkeram lengan Rose erat, tak membiarkan ia pergi dari tampatnya.

“Apa? Kau akan memberitahuku bahwa setelah ini dia akan sembuh?!” Rose merasa dunianya runtuh sudah. Rasa bersalah menyelimutinya, seharusnya ia tak menjanjikan kencan pada Zayn, seharusnya ia tak mengajaknya jalan-jalan, seharusnya…

“Zayn yang memintaku melakukan ini!! Zayn ingin mengahabis kan hari ini untuk bersamamu! Hanya bersamamu! Menikmati kencan yang telah lama tak ia rasakan! Aku benar-benar kasihan padanya, Rose. Dan kita semua juga tahu bahwa umur Zayn itu tak lama lagi, itulah kenapa.” Dr. Wales sukses membuat perasaan Rose campur aduk. Ia merasa otaknya tak mampu menerima informasi yang membuat sesak dadanya. “Dia sangat mencintaimu, kau tahu itu kan? Hari ini, ya, hari ini. Dia bertekad untuk membuatmu tersenyum, mengembalikan hubungan kalian yang telah kering karena tak adanya sebuah kencan.” Air mata Rose mulai menjadi. Ia tak percaya Zayn benar-benar melakukan hal itu. Membohonginya hanya demi sebuah kencan, mengorbankan kesehatannya hanya demi sebuah kencan. Itu sangat konyol!

“Zayn bodoh!! ZAYN KAU BODOH!!!” Rose berteriak di koridor. Ia yakin orang-orang bisa mendengarnya dari sana. Dr. Wales tak kuat melihat Rose yang bertingkah seperti itu. Ia memeluknya, berharap ia bisa tenang dari gejolak hidup yang telah di berikan kepadanya. “Aku telah merasa bahagia jika aku berada disampingnya, aku tak butuh sebuah kencan jika setiap hari aku bisa menemaninya. Aku … aku… Zayn itu bodoh. Dia tak mengerti. Dia bodoh sekali. Mengorbankan kesehatannya hanya untuk sebuah kencan. Dia itu idiot, tolol, bodoh!!.” Dr. Wales tak kuat melihat kelakuan Rose ini, ia ikut menangis mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut Rose. Ia mengelus punggung Rose lembut, mencoba menenangkannya. Ia percaya sebuah pelukan itu bisa menenangkan seseorang dari gejolak emosinya.

“kau sudah baikan? Kau bisa masuk jika kau mau, bersama keluarga Malik lainnya.” Tawar Dr. Wales sembari mengusap air mata yang telah mengalir dari pelupuk matanya. Rose mengangguk lemah, lalu berjalan menuju ruang ICU dengan tatapan kosong. Mengingat kejadian hari ini yang mampu merubah perasaannya menjadi amburadul.

“keadaanku membaik!”

“Apa yang akan kau lakukan jika aku sudah tiada nanti? Apakah kau akan mencari penggantiku?”

“Berjanjilah untuk tidak menangis lagi.”

“aku tak pernah ingin melihatmu menangis lagi, karena aku tahu aku tak akan bisa menyekanya lagi untukmu.”

“ aku ingin hari ini kita bersenang-senang untuk sehari penuh.”

Semua kata-kata Zayn terngiang dalam benaknya. Bak film yang berputar di benaknya, terlihat senyum Zayn saat ia berkata, “keadaanku membaik!”. Terlihat mata bermanik coklat terang menatap matanya lekat dan bertanya, “Apa yang akan kau lakukan jika aku sudah tiada nanti? Apakah kau akan mencari penggantiku?” Terlihat wajah Zayn yang serius dengan bola mata yang meneduhkan itu masih terkunci dengan kepunyaannya dengan berkata, “Berjanjilah untuk tidak menangis lagi.” “aku tak pernah ingin melihatmu menangis lagi, karena aku tahu aku tak akan bisa menyekanya lagi untukmu.” Dan terlihat wajah Zayn yang sukses membuat alisnya beradu, dengan berkata, “ aku ingin hari ini kita bersenang-senang untuk sehari penuh.”

Anakan sungai air matanya mengalir lagi. Seharusnya ia tahu, apa yang Zayn coba sampaikan padanya. Sebuah perpisahan yang tak diinginkan, sebuah perpisahan pahit, sebuah perpisahan untuk selamanya. Sekarang, mereka berdua tahu, dan telah bisa merasakan perpisahan yang kian dekat itu. Terlihat Zayn sedang berbaring di tempat tidurnya dengan infuse yang menempel di pergelangan tangannya, dan alat-alat Bantu medis yang membantu mengetahui keadaan organ dalam Zayn.

“Rose?” Zayn melihat Rose dengan mata sayu penuh cinta. Mungkin wajahnya pucat, tapi binaran matanya yang memperlihatkan ia senang itu tak bisa disembunyikan. Raut wajahnya barubah saat ia mengetahui pipi kekasihnya basah, dengan mata yang merah, dan ekspresi kesal. Rose mulai mendekat dan duduk di seelahnya. “kau.. kau kenapa? Bukankah sudah kubilang-“

“ZAYN KAU BODOH!!” teriak Rose tepat di depan wajah Zayn yang sukses membuat Zayn meringis. “AKU TAK BUTUH KENCAN ITU, KAU TAHU? KAU TAK PERLU MENGORBANKAN KESAHATANMU HANYA UNTUK KENCAN BODOH ITU. DAN LEBIH BODOHNYA KAU ITU TERLALU BODOH, UNTUK MENGERTI, BODOH!” Rose meluapkan rasa kesalnya kepada Zayn. Ia kesal karena Zayn membohonginya tentang hasil visum tadi pagi. Jika ia mengatakan sejujurnya, kejadian ini tak perlu terjadi, Zayn tak perlu pindah ke ICU, keluarga Malik tak perlu kesini. Zayn hanya tersenyum iba melihat kekasihnya yang menangis karena kebodohannya yang telah ia buat.

“Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak menangis lagi, Rose? Aku tak ingin melihat air mata itu hanya karena aku.” Zayn mengusap air mata yang mengalir di pipi Rose. Tapi aliran itu semakin deras.

“kau itu bodoh! Tapi aku mencintaimu.” Kali ini Rose menjadi melankolis karena Zayn. Padahal melankolis bukan tipe Rose sekali. Rose adalah tipe orang yang ceria, dia suka tertawa. Tapi kali ini beda, ini tentang love and destiny. Zayn mencoba mengangkat tubuhnya dan memeluk Rose erat, se erat yang dia bisa seolah tak ingin melepaskannya.

“kau bisa tidur disini jika kau mau.” Tawar Zayn. Rose melihat kasur itu sedikit ragu, tapi disambut dengan senyuman khas Zayn Malik. “ayolah, kasur ini cukup untuk kita berdua, lagi pula kau itu kecil.” Rose sedikit tertawa mendengar ejekan Zayn. Zayn ikut tersenyum melihat Rose tertawa. Ia suka sekali dengan senyum yang dimiliki oleh Rose, senyum itulah yang pertama kali membuat Zayn jatuh cinta kepadanya. Senyum yang meneduhkan, penuh rasa sayang, dan manis. Zayn menggeser badannya saat Rose mulai menempatkan badannya di sebelah Zayn. Lengan berotot milik Zayn pun memeluk Rose yang membuatnya tenggelam di kolam kenyamanan disana.

“aku tak ingin moment ini berakhir.” Celetuk Rose. Zayn mengelus rambut halus berbau shampoo yang biasa dipakai oleh kekasihnya. Setelah senyuman Rose, rambutnya lah yang membuat Zayn jatuh cinta padanya.

“hei, kau masih ingat bagaimana pertama kali kita bertemu?” Tanya Zayn. Tangannya masih mengelus rambut brunette milik kekasihnya itu.

“ya, kau menumpahkan kopi ke bajuku. Aku cukup kepanasan saat itu.” Tawa Rose muncul, membuat Zayn tersenyum.

“andai aku Niall tak menyuruhku untuk ke cafĂ© itu, mungkin aku tak akan menumpahkan kopi itu. Dan mungkin aku tak akan bertemu denganmu.” Keduanya sama-sama tersenyum bernostalgia mengingat moment teindah dalam hidupnya. “Tapi aku bersyukur Niall menyuruhku untuk membeli kopi, bukan Liam, atau Harry, atau Louis. Aku sangat beruntung bertemu denganmu.” Zayn mempererat pelukannya. Bagi Rose, ini moment yang menyakitkan, dimana kau harus mengingat memori indah saat kekasihmu sedang kritis. Ini bukan untuk perpisahan kan? Semuanya akan baik-baik saja kan? Zayn akan sembuh kan? “Rose, aku sangat mencintaimu.” Rose menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata di pelupuk matanya. Ia tak ingin Zayn melihatnya menangis lagi.

“aku juga mencintaimu, Zayn Malik.” Akhirnya ia bisa bicara, menjawab perkataan yang sangat bermakna dalam hidupnya.

“sekarang kau harus tidur. Mau ku nyanyikan sesuatu?” Perempuan berambut brunette itu mengangguk pelan di dalam pelukan kekasihnya.

Here I am staring at your perfection in my arms, so beautiful
The sky is getting bright, the stars are burning out
Somebody slow it down

This is way too hard, cause I know
When the sun comes up, I will leave
This is my last glance that will soon be memory

And when the daylight comes I'll have to go
But tonight I'm gonna hold you so close
Cause in the daylight we'll be on our own
But tonight I need to hold you so close

            Mentari hampir menduduki singgasananya, langit keunguan masih menghiasi angkasa diatas sana. Akhirnya suara itu tidak terdengar lagi. Suara merdu yang terdengar di telinganya kini berganti suara mesin pendeteksi detak jantung yang bersuara nyaring menunjukkan detak jantung yang hilang. Grusak grusuk pegawai rumah sakit mulai terdengar, membuat bingung sang putri yang tadinya tidur terlelap di pelukan kekasihnya. Sekarang suara pendekteksi detak jantung itu kalah dengan suara tangisan dari keluarga dan orang dikasihinya. Tanpa pamit, dia pergi untuk selama-lamanya. Menghancurkan rencana teman-temannya untuk membuat surprise, mengingkari janji pada adik terkecilnya untuk ke Disneyland, dan yang terpahit adalah meninggalkan kekasihnya dengan perasaan hancur sendirian.


***

Apa artinya kita dilahirkan jika akhirnya kita mati?

Apa arti kebahagiaan jika akhirnya Ia merenggutnya kembali?

Apa arti Ia memberi jika akhirnya semua itu akan hilang?

            Zayn membenci kehidupan yang telah memberinya penyakit ganas, ia membenci bagaimana penyakit itu perlahan membunuhnya dari dalam sana, menjalar-jalar, menggerogoti setiap sel-selnya, ia membenci bagaimana mereka dengan cepat merusak organ-organ penting tubuhnya.

            Zayn membenci kehidupan yang memberinya waktu sedikit untuk menikmati hidup di dunia, ia membenci bagaimana detik jam berjalan dengan cepat saat ia baru saja di puncak karir nya, ia membenci bagaimana menit jam berjalan dengan cepat saat ia baru saja menjalin kasih dengan seorang perempuan yang telah benar-benar mengambil hatinya.

            Zayn membenci Tuhan melahirkannya sebagai seorang Zayn Malik, ia membencinya karena ia harus menderita kanker, ia harus membuat orang-orang yang disayanginya menangis, ia harus meninggalkan teman-teman dekatnya yang selalu bisa membuatnya tersenyum, dan ia benar-benar benci harus meninggalkan kekasihnya saat ia merasa ia telah menemukan sebelah tulang rusuknya yang telah lama hilang.

            Tapi ia tahu, ia tahu betul dibalik itu semua Tuhan memiliki rencana yang lebih besar. Ia selalu percaya bahwa dibalik semua cobaan pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Dan untuk saat ini, ia tak tahu benar apa yang Dia rencanakan. Menggantikan tepatnya dengan orang lain? Entahlah, dan tidak ada yang tahu.

            Tapi ia belajar dari semuanya, ia banyak belajar dari kehidupan yang telah ia terima di dunia. Belajar untuk saling mengasihi, menjalin tali persaudaraan, membangun kepercayaan diri, mencintai, dan banyak lagi. Ia belajar bagaimana menumbuhkan rasa percaya dirinya sebagai seorang muslim, ia menjalin tali persahabatan dengan rekan-rekan satu band nya, dan ia belajar mencintai seorang wanita dengan tulus, seutuh hatinya.

            Dan Zayn bersyukur Tuhan memberinya kesempatan untuk menikmati kehidupan di dunia. Ia bersyukur dilahirkan sebagai Zayn Malik, seorang anak lelaki dari keluarga Malik. Ia bersyukur bagaimana Tuhan menggariskan takdirnya sebagai finalis di ajang pencarian bakat, X-Factor dengan Niall, Harry, Louis, dan Liam. Ia bersyukur bagaimana Tuhan memberinya peringkat ketiga dan menggerakkan hati Simon Cowell untuk mengontraknya. Ia bersyukur sempat menjadi 1/5 dari One Direction. Ia bersyukur bagaimana Tuhan mntakdirkan Niall untuk menyuruhnya membeli segelas kopi di cafĂ©. Ia bersyukur telah menumpahkan segelas kopi itu ke baju seorang perempuan. Dan yang paling ia syukuri, Tuhan memberinya kesempatan untuk menjalin kasih dengan seorang perempuan yang dirasanya adalah tulang rusuknya itu.

***

“Katakan pada pemirsa dirumah, apa hal yang paling buruk dari kehilangan Zayn?” Tanya seorang interviewer. Mereka semua menunduk, tapi Louis akhirnya mau mengatakan sesuatu. Setelah pemakaman Zayn di adakan, sebuah station TV mengundang One Dir- ah, bukan, lebih tepatnya Liam, Harry, Niall dan Louis untuk datang ke acaranya. Tak ketinggalan Rose, kekasih Zayn Malik dan Simon Cowell, produser dari One Direction.

“tak ada lagi yang akan menyapa kita dengan ‘hey, Vas Happenin’, aku tahu itu konyol, tapi itu kenyataannya. Dan tak akan ada lagi seseorang yang akan ku panggil ‘Bradford Badboi’ atau ‘DJ Malik’. Dan tak akan ada lagi yang memanggilku ‘swaggah mastah from doncastah’. Tak ada lagi jambul tertinggi, tak ada lagi seorang yang akan membawa kaca kemana-mana. Tak akan ada lagi orang segila Zayn setelah ia meminum Energy Juice.” Seolah flashback tentang bagaimana mereka menjalani harinya di karantina X-Factor terputar bak film di kepalanya. Ia masih ingat betul seberapa bahagianya ia hingga One Direction itu terbentuk, bertemu dengan teman baru, yang ternyata akhirnya menganggap mereka seperti saudara sendiri.

“tak akan ada lagi yang pintar menggambar, yang akan memakai varsity, mencuri makananku,” yang lain sedikit tertawa karena perkataan Niall. Karena mereka tahu, Niall adalah orang yang paling suka makan. “what? Aku hanya menyampaikan opiniku.” Niall menimpali. Mungkin ia mencoba mencairkan suasana karena kesedihan yang masih merasuki mereka masing-masing.

“baiklah, lalu bagaimana perasaanmu sekarang, Liam?”

““a… aku entahlah, aku masih tak percaya ia telah tiada. Bahkan kami belum sempat mengucapkan salam perpisahan padanya. Rasanya sangat menyakitkan, terlebih lagi hari ini sebenarnya kami ingin memberikan surprise padanya, tetapi ternyata dia telah menutup matanya untuk selamanya. Itu menyakitkan.” Di depan publik, di depan directioners, Louis, Liam, Harry dan Niall tak malu mengeluarkan air matanya. Meskipun mereka tahu, Zayn akan membenci hal itu.

“Harry?”

“yeah… jadi… ah… maaf, aku tak bisa.” Harry masih terisak sedari tadi. Itu membuatnya tak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan perempuan itu.

“jadi… Rose? Kau disini sendiri yang tidak menangis, ada apa denganmu?” Rose hanya tersenyum kecil. Padahal, di dalam hatinya, ia yang merasakan paling sakit diantara semuanya.

“yah, Zayn berkata padaku bahwa ia tak ingin melihat orang yang disayanginya menangis. Dia membenci hal itu. Dan dia … “ Rose terdiam sebentar mengingat kata-kata Zayn yang diucapkan diatas Eye of London. “aku tak pernah ingin melihatmu menangis lagi, karena aku tahu aku tak akan bisa menyekanya lagi untukmu.” Matanya menutup sebentar, mengumpulkan flashback memori yang memperlihatkan muka Zayn saat tersenyum. Gigi rapinya terlihat saat ia mengembangkan senyuman yang disukai oleh Rose. Matanya berbinar terang, terlihat indah dengan warna coklat terang yang menghiasinya. Ingin sekali ia kembali melihat senyum itu, tapi itu mustahil.

“Rose?”

“hm.. ya, aku mencoba sebaikku untuk tidak menangis untuknya, karena… aku tahu dia tak akan bisa menyeka air mataku lagi.” Rose menghirup nafas dalam-dalam, lalu melepaskannya. “fiuh, dan itu sangat susah. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi dia telah meninggalkanku begitu cepat… haha.” Rose tertawa hambar, ia mencoba mencairkan suasana, tapi gagal. “Aku tak pernah menyesal Tuhan mempertemukanku dengan pria sebaik Zayn. Dia adalah seseorang yang sangat perhatian dan memperlakukanku seperti putri. Aku selalu merasa special saat dengannya. Dan… kehilangannya adalah hal menyakitkan. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk Harry, Niall, Louis, Liam, orang-orang terdekat Zayn, especially Directioners.” Penonton di studio mulai riuh karena Rose mengatakan hal itu. Ya, meninggalnya Zayn tak hanya berpengaruh kepada orang-orang dekatnya, tapi juga dunia, directioners. Sekejap, setelah berita tentang Zayn itu meluas, kematian Zayn telah menjadi trending topic di twitter yang bertahan hingga hari ini. Seperti #goodbyezayn, #weloveyouzayn, #vashappening, Zayn Malik Died, dan lainnya. Itu sangat menyesakkan bagi setiap directioners yang melihatnya.

“Jadi, Simon… katakan bagaimana kelanjutan One Direction?”

“aku benci mengatakan ini, tapi anak-anak ku yang memutuskan semuanya. Seperti yang kita tahu, tanpa Zayn, One Direction bukanlah One Direction, mereka akan hanya menjadi Liam, Niall, Harry dan Louis. Dan keputusan ini harus aku katakan kepada publik, bahwa One Direction akan bubar. Tak akan ada lagi tour, album baru, video clip baru, atau film documenter tentang mereka. Dan ini… adalah interview terakhir mereka.”

“baiklah, Jadi kita bisa tarik kesimpulan disini, bahwa One Direction telah bubar.”

“ya, bubar, dan kami masih tak tahu harus mengadakan reuni atau tidak, rasanya berat sekali tanpa Zayn.” Sahut Liam. Penonton di studio semakin riuh, seolah tak rela melepaskan bubarnya One Direction. Tapi tiba-tiba ada satu penonton yang menangis paling keras setelah ia mendengar bahwa One Direction akan bubar.

“Please!! Please boys! Aku tak ingin kalian bubar!” Sejenak teriakan dari seorang –yang mungkin- fans membuat hening penonton lainnya. “One Direction memang tak akan bisa tanpa Zayn, tapi bukankah semuanya sudah di gariskan? Lalu apakah menurutmu Zayn akan senang jika One Direction bubar? Ayolah, boys. Aku, mewakili directioners dari seluruh dunia. Kami mencintaimu, dengan, atau tanpa Zayn. Semua orang akan move on dari rasa kehilangannya, dan kami semua telah merasakan kehilangan.” Perempuan itu mendapat perhatian penuh dari penonton di studio, interviewer, Rose, the boys, bahkan Simon Cowell sendiri. “Kita memang masih berduka atas kematian Zayn, tapi itu tak seharusnya membuat kalian menyerah untuk tetap menjadi One Direction kan? Kami mencintaimu, boys. Sangat mencintaimu, dan kami harap kalian mau mempertimbangkannya lagi. Memikirkannya dua kali, demi kalian, dan demi Zayn sendiri.” Kata-kata itu membuat Liam, Harry, Louis dan Niall tercengang, seolah mereka menyadari sesuatu. Rose hanya berdiam diri disitu, ia tak tahu harus berbuat apa. One Direction bukanlah urusan yang harus dicampuri, mengingat kekasihnya buka anggota One Direction lagi. Simon dan anak-anaknya terlihat saling memandang penuh makna, hendak memikirkan kata-kata yang tadi diucapkan oleh seorang fan.

“i..itu sangat susah.” Celetuk Harry yang membuat semua mata tertuju padanya. “kata-katamu sangat membuka pikiranku, dan aku yakin tak hanya pikiranku, tapi Simon, Louis, Niall dan Liam juga. Hanya saja… mungkin saat ini kami tak bisa memberikan keputusan apa-apa. Kami masih bersedih atas meninggalnya Zayn.” Rose tersenyum lembut diam-diam. Dia sendiri, sebenarnya tak mau melihat One Direction bubar karena Zayn, ia sangat setuju dengan fan itu. Mengingat dirinya sendiri duluunya adalah seorang fans dari One Direction.

“aku yakin kalian bisa tanpa Zayn.” Rose meyakinkan keempat temannya itu, memasang senyum yang menyejukkan, berharap senyumannya bisa merubah pikiran mereka. Tapi tak ada satu pun yang mau berbicara lagi. Dan Rose berharap, One Direction tidak akan bubar. Mungkin Seseorang boleh saja meninggal, dan kita bersedih, tapi jangan sampai hal itu mematahkan semangat hidup kita.

Goodbye, Zayn. We love you so much.

No comments:

Post a Comment