Saturday, July 20, 2013

My Angel

Juara 2 #1DFanficContest13

by Jasminesia Sekarsari Bayu , 15

NLS


Langit terlihat sangat gelap dari balik jendela. Tidak ada bintang yang berani menampakkan dirinya ketika Dewa Langit masih terus menangis. Kilatan-kilatan cahaya sesekali menerangi daratan dengan cahaya menakutkannya.
“Niall, aku takut…” Aku berkata pada sahabat baikku, Niall Horan, yang terus menemaniku di balik pintu rumah sakit.
“Ssstt, semua baik-baik saja, Alice. Aku di sini.” Niall memelukku erat, membuatku kembali tersenyum dalam dekapannya. Ini sudah dua hari semenjak hari itu. Hari di mana ada sebuah truk menyerempet sebuah taksi yang kami naiki dari rumah Niall menuju studio. Sang sopir taksi itu meninggal dunia ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit. Untung saja itu tidak menimpa kami. Pendarahan di tangan kiriku tidak membuatku mendekati kematian. Sedangkan Niall hanya mendapatkan goresan kecil di dahinya.
“Nah, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Kau harus tidur. Kau butuh istirahat lebih.”  Ucapnya membaringkanku di atas tempat tidur.
“Kau juga harus tidur, Ni.” Lanjutku sebelum dia beranjak dari kursinya yang berada tepat di sebelah ranjang tidur ini.
Dia berdiri dari kursinya dan menutup mataku dengan tangan besarnya. “Tentu saja aku akan tidur. Selamat malam, little princess.” Niall tersenyum padaku dan berbalik menuju sebuah sofa berwarna hijau pudar beberapa meter dari tempatku. Dia masih terus memanggilku seperti itu.
Aku dan Niall adalah sahabat dekat dari kami masih kanak-kanak. Kami adalah tetangga yang hanya berbeda beberapa blok saja. Kami bermain, tertawa, berkelahi dan berangkat sekolah bersama. Selalu bersama. Niall adalah orang yang baik. Ketika aku sedang sedih, dia selalu menyemangatiku dengan bernyanyi dan memainkan gitar kesayangannya. Dia juga orang yang sangat humoris. Selalu menyelipkan humor-humor khasnya disetiap waktu. Aku ingat ketika kami pertama kali bertemu.

Sepuluh tahun yang lalu ketika usiaku masih tujuh tahun, aku dan keluargaku –Ayah dan Ibuku– pindah ke sebuah kota yang berjarak lumayan jauh dari tempat asalku. Kedua orang tuaku selalu berkelahi dengan saling mengadukan kedua teriakan mereka dan membanting segala benda di sekitar mereka. Aku hanya bisa menangis dan berlari kesebuah gua kecil yang terletak tidak terlalu jauh dari rumahku. Kupeluk kedua kakiku dan terus menangis tanpa tahu kapan aku akan kembali ke rumah.
“Hei, apa yang kau lakukan di sini? Kau menangis?” Tanya sebuah suara dari mulut gua kecil ini. Aku mengangkat kepalaku dan kudapati seorang anak laki-laki dengan mata birunya terlihat bingung melihatku.
“Kau tidak boleh menangis. Biarkan aku menghiburku.” Lanjutnya lalu duduk di sebelahku. “Somewhere over the rainbow, blue bird fly..” Dia mulai bernyanyi. Perlahan air mataku tidak lagi turun dan sebuah lengkung manis menampakkan wujudnya di wajahku ketika suara merdu itu mengalun indah masuk ke dalam telingaku.
“… If happy little blue bird fly beyond the rainbow, why oh why, can’t I…” Dia mengakhiri lagunya. “Merasa lebih baik?” Tanyanya. Aku mengangguk dengan sebuah senyuman lebar di wajahku.
“Niall Horan. Panggil saja aku Niall.” Ucapnya memberikan tangannya padaku. Awalnya aku sempat bingung ketika tiba-tiba dia menyebutkan namanya.
“Alice, Alicia Alana.” Kujabat tangannya dan mulai berdiri dari dudukku.
“Alana? Arti namamu keren.” Serunya. Nama artiku, ya, entahlah mengapa menurutnya keren. ‘Alana’ hanya berarti ‘sebuah kedamaian’ dalam bahasa Irlandia.
“Ayo kita bermain, Alice!” Dia menarikku keluar dari gua dan mulai bermain di luar gua. Berayun disebuah ayunan berwarna merah , berseluncur di seluncuran, berlarian ke sana kemari saling mengejar satu sama lain layaknya anak kecil sepeti biasa. Semenjak saat itu kami menjadi sahabat yang sangat dekat.

Waktu telah lama berlalu, kami berdua semakin beranjak dewasa. Kini usiaku lima belas tahun dan Niall berusia tujuh belas tahun. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Menghiburku ketika aku sedih, mendukungku disetiap hal buruk, dan tentu saja membantuku mengerjakan tugas-tugas yang membuatku merasa gila.
“Hei, Alice! Ada apa?” Niall bertanya padaku.
“Tidak ada apa-apa. Hanya tugas-tugas memuakkan bertumpuk di meja belajarku. Argh! Ingin mati saja aku rasanya!”  Seruku dan membanting tubuhku ke atas ranjang di kamar tidurku.
“Oh tidak! Kalau kau mati siapa yang akan aku panggil adik tersayangku?!” Serunya dengan nada dan suara yang terdengar sedikit bodoh.
Aku tersenyum sambil bangun dari tempat tidurku lalu menerkamnya dan menjatuhkannya di atas tempat tidurku. “Kalau begitu, aku akan membawamu mati bersamaku!”
Kami tertawa sangat keras sampai aku mendengar teriakan Ibuku dari lantai bawah. Aku berlari membuka pintu kamarku dan mendapati Ibuku telah terkapar dengan lumuran darah di bawah sana. Dia telah tertembak oleh sebuah peluru pistol yang dipegang oleh… Ayahku. Aku tahu hubungan mereka akhir-akhir ini semakin memburuk. Tapi aku tidak pernah membayangkang jika hal seperti ini.. Aku kaget. Tubuhku sangat lemas dan membuatku terduduk tak berdaya di atas lantai dengan air mata yang terus mengalir. Mulutku terbuka lebar tanpa kata dan tubuhku masih tak bisa digerakkan. Dia menatapku dengan mata yang gelap. Dia mabuk. Ayahku mulau mengangkat pistolnya, seperti hendak menembakku seperti Ibuku. Tapi tiba-tiba dia mengarahkan ujung senapan tersebut lalu menarik pelatuk itu dan sebuah peluru perak menembus kepalanya.

BANG

Hanya itu yang dapat aku dengar. Sebuah tangan besar menutup kedua mataku berusaha agar aku tidak melihat apa yang terjadi.
“Jangan menangis…. Sekarang,” Niall berkata pelan di telingaku. Dia mendekapku di dadanya dan mulai bernyanyi. Air mataku semakin deras mengalir dan teriakanku terdengar bergema di rumah besar ini. Semakin besar rintihan tangisku, semakin erat pula dia memelukku. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya terus bernyanyi ketika aku terus menangis.
Keesokan paginya, aku mendapati diriku terbaring di atas sebuah tempat tidur. Bukan tempat tidurku. Aku berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Apa itu nyata? Atau hanya sebuah mimpi bahwa ayahku menembak ibuku lalu menembak dirinya sendiri? Aku melihat sekelilingku dan aku menyadari bahwa aku berada di kamar Niall.
Seseorang membuka pintu dan berlari ke arahku. “Oh, kau sudah bangun, Alice!” Seru Niall kemudian memelukku erat.
“Niall…” Jawabku. “Semuanya hanya mimpi, kan?” Niall tidak bicara sepatah kata pun. Hanya terdiam.
“Niall, jawab aku..” Pintaku mulai kembali bergetar.
“Ma-maafkan aku, Alice..” Ucapnya terbata-bata.
“Jadi, itu semua nyata, kan?” Aku tersenyum tetapi air mata terus mengalir deras dari pelupuk mataku.
“Ssstt, jangan menangis. Aku di sini, selalu di sini.” Aku berusaha menghentikan air mataku tetapi ini tidak mau berhenti! Niall kembali memelukku erat sampai aku mulai tenang.
“Kau baik-baik saja?” Tanyanya melepas pelukannya. Aku hanya mengangguk dan mulai menghapus air mataku sendiri. “Ayo kita ke bawah. Sarapan telah menunggu. Lalu... Aku akan mengantarmu kembali ke rumah.” Dia tersenyum padaku dan menarikku menuju lantai bawah.
Esok harinya adalah hari pemakaman kedua orang tuaku. Aku kembali menangis melihat kedua orang tuaku pergi. Pergi. Ya. Selamanya. Kedua orang tua Niall juga datang kemari. Niall selalu berada di sampingku. Memberikan bahunya untuk menopang kepalaku setiap kali aku menangis. Acara pemakaman telah selesai. Semua orang telah pergi tetapi tidak dengan Niall. Dia masih duduk di sebelahku.
“Alice…”
“Ya, Niall?”
“Em, kedua orang tuaku, dan juga aku, menginginkan kau untuk tinggal bersama kami. Semenjak kedua orang tuamu pergi, kedua orang tuaku akan menjagamu.” Ucap Niall. Aku hanya lima belas tahun. Aku tidak mungkin bisa mengurus diriku sendiri. Aku masih di bawah umur untuk melakukan sebuah pekerjaan sampingan dan aku tidak bisa hidup hanya dengan uang yang orang tuaku berikan padaku.
“Jika ini baik untukmu, ini akan baik untukku.” Jawabku.
Niall tersenyum dan mulai berdiri. “Baiklah adik kecilku, kau mau tetap di sini seperti pengemis yang menunggu seseorang memberikan uangnya padamu atau pergi mencari makanan?”
Kupukul pinggangnya secara tiba-tiba. “Jangan panggil aku seperti itu!”
“Ouch!” Serunya menahan rasa sakit.
“Ayo, kakakku! Aku sudah lapar! Ayo kita ke Nando’s!” Lanjutku menarik tangannya.
“Yey!” Teriaknya lalu menggenggam tanganku sambil berteriak layaknya seorang anak kecil yang tidak diberi makan selama seminggu.
Aku pindah ke rumah Niall dan menjual rumah kedua orang tuaku. Uang hasil penjualan rumah tersebut kugunakan untuk kebutuhanku setiap hari seperti pembayaran iuran sekolah. Walaupun kedua orang tua Niall selalu membayarkan segala yang aku butuhkan. Aku merasa sangat senang bisa berada di rumah keluarga Horan. Aku bisa merasakan kehangatan yang luar biasa hebat di sini. Dan di sini pun ada Niall, ya, aku selalu menganggapnya kakak laki-lakiku sungguhan walaupun pada nyatanya bukan. Aku selalu tidur sendiri semenjak usiaku enam tahun karena orang tuaku selalu bertengkar. Tidak pernah mereka membacakanku sebuah cerita dan menyanyikanku lagu-lagu pengantar tidur. Tidak dengan di sini. Niall benar-benar bertingkah bahwa aku adalah adiknya sungguhan. Dia selalu membacakanku cerita dan menyanyikanku sebuah lagu sebelum aku terlelap di dalam mimpi indahku. Seperti saat aku meminta untuk diperbolehkan untuk tidur di kamarnya. Pertama aku merasa dia akan menolakku, tapi apa? Dia menerimaku dengan penuh senyum layaknya kami adalah saudara sungguhan.
“Alice, jika ada sesuatu yang menakutimu dalam mimpimu, kemarilah dan tidurlah bersamaku. Aku kakakmu dan kau akan selalu menjadi my little princess!” Dia selalu berkata seperti itu jika aku datang ke kamarnya. Ibu Niall tahu bahwa kami sering sekali tidur bersama –dalam satu ranjang– dan dia tidak mempedulikannya sebagai sebuah masalah. Dia selalu menganggapku sebagai adik Niall dan anak perempuannya sendiri. Ketika aku tidur di sebelah Niall,  secara reflex dia mengambil gitarnya dan mulai bernyanyi lagu-lagu pengantar tidur. Aku sangat menyukai bagaimana dia memetik keenam senar di gitarnya dan menyanyi dengan sepenuh hatinya. Aku tertidur dan lagu-lagu itu selalu mengarungi malamku.

“Niall, ayo kita ke taman!” Seruku di suatu sore yang cerah.
“Maaf, Alice. Aku ada kencan dengan pacarku. Kurasa lain waktu kita bisa ke taman.” Balasnya sembari merapikan rambutnya di depan kaca.
“Jangan bersedih, Alice. Aku janji lain kali kita akan ke taman berdua. Bye, aku pergi dulu, ya.” Niall berjalan meninggalkanku sendiri di kamarnya setelah mencium keningku. Aku sudah enam belas tahun. Mengapa aku masih bertingkah seperti anak kecil?! Oke, aku tahu sekarang dia adalah bagian dari One Direction dan sekarang dia memiliki…. Pacar… Ya, pacar. Mengapa itu membuatku sakit setiap aku memikirkan bahwa dia memiliki pacar? Aku adalah adik kecil kesayangannya dan dia selalu ada di sini untukku. Lalu mengapa AKU MERASA SAKIT ketika tahu dia memiliki pacar? Apa aku cemburu? Hah, bodoh. Aku harus mendinginkan kepalaku dan bersikap tenang.
Akhirnya aku berjalan ke taman sendiri. Duduk di ayunan dan mengayunkannya pelan. Hatiku kembali sakit ketika aku melihat Niall dan seorang perempuan berbincang dengan sangat akrab di seberang sana. Dia memberikan tawanya padanya seperti dia memberikan tawanya padaku. Dia memberikan senyumnya padanya seperti dia memberikan senyumnya padaku. Dia memberikan pandangannya padanya sama seperti dia memberikan pandangannya padaku.
Aku terus memperhatikan anak-anak bermain riang bersama dengan ayah dan ibunya… Aku tidak pernah merasakan kehangatan seperti itu sejak aku bertemu dengan Niall. Niall…. Dia seperti kakak bagiku. Tapi mengapa? Mengapa aku merasakan sakit yang sangat ketika aku melihat Niall bersama gadis itu? Aku merasa seperti jutaan ton batu bata berjatuhan di hatiku. Ada apa denganku? Apa yang salah? Apa yang salah denganku, Tuhan? Tiba-tiba aku merasakan rasa sakit yang tidak tertahankan menyerang kepalaku. Aku berteriak sekencang mungkin menunjukkan betapa sakitnya kepalaku sehingga semua orang di taman dapat mendengar suaraku. Aku merasa tubuhku jatuh dari ayunan berwarna merah itu dan aku rasakan semua inderaku mati.
Kubuka mataku dan kudapati semuanya berwarna putih. Aku merasa bahwa aku berada di rumah sakit ketika bau obat-obatan perlahan masuk ke hidungku. Kudapati Niall tengah tertidur di sebuah kursi tepat di sebelah ranjangku. Aku menatapnya dan menyadari sesuatu. Sesuatu yang selalu membuatku sakit ketika aku melihatnya bersama gadis itu… Aku menyukainya. Bukan sebagai seorang kakak. Melainkan sebagai seseorang yang aku inginkan terus menemaniku di sisa hidupku.
Aku merasa telingaku mendengar sebuah langkah cepat menuju kamar ini. Benar saja, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan suara bantingan yang menggelegar. Aku menutup mataku berusaha agar dia tidak menyadari bahwa aku telah bangun.
“Jadi ini maksudmu?!” Teriak gadis itu yang kemudian membangunkan Niall.
Niall tidak merespon dan hanya terus mengucek-ucek matanya. “Maksudku apa? Kau tidak jelas.”
“Kau ingin kita putus?!”
“Ssstt, kau bisa membangunkannya!” Niall berdiri dari kursinya dan mulai berjalan mendekati gadis itu yang masih terus berdiri kokoh di dekat pintu.
“Kau lebih mempedulikannya dari pada mempedulikanku?!”
“Faktanya memang iya! Dia adikku dan kau bukan lebih dari sekedar pacarku! Sudah pasti aku lebih mempedulikannya dari pada mempedulikanmu!” Niall berjalan ke arahku dan kurasakan dia berdiri di sebelahku. Aku mengintip dengan membuka mataku sedikit dan kulihat gadis itu berlari keluar dari kamar sambil membanting pintu itu seperti apa yang dia lakukan ketika datang kemari.
“Kau bisa membuka matamu sekarang, Alice.” Ucapnya memintaku untuku membuka mataku. Aku masih diam untuk memastikannya bahwa aku masih benar-benar tertidur. “Aku tahu kau telah bangun, little princess.
Aku membuka mataku dan melihatnya duduk kembali di kursi di sebelahku. “Maaf, kau melihatku bertengkar dengannya di depanmu…”
“Apa kalian putus gara-gara aku?” Tanyaku padanya.
“Bukan, Alice. Bukan karena kau. Karena aku menyukai orang lain.” Balasnya sambil memasang senyum lebarnya di wajahnya.
“Huh? Siapa dia?” Tanyaku kembali dengan penuh rasa penasaran.
“Suatu hari kau akan tahu.” Dia kembali mengacak-acak rambutku.
“Hei!” Aku berusaha menangkapnya dan tiba-tiba aku merasa kembali pusing dan hampir terjatuh. Niall menangkapku dan membantuku kembali tidur di atas tempat tidur.
“Jangan bergerak. Kau butuh istirahat.”
“Niall, kau tahu bahwa aku berumur enam belas tahun, kan?” Aku bertanya padanya dengan nada serius.
“Yeah, jadi?” Tanya balik padaku.
“Dan kau delapan belas tahun.”
“Kau betul sekali, Alice!” Serunya sambil terus tertawa.
Aku diam sebentar ketika Niall terus tertawa. “Dan kau bukan kakak sungguhanku.” Dia berhenti tertawa dan melihatku dengan serius.
“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?” Kini nada suaranya bukan nada suara untuk candaan. Pandangan matanya serius melihatku. Aku berusaha ingin mengucapkan apa yang telah aku sadari. Tetapi aku merasa ini akan menjadi sebuah permulaan yang buruk bagi kami.
“Jangan dipikirkan, kakakku tercinta!” Aku tersenyum dan bertingkah gembira kembali. Dia hanya tersenyum ketika melihatku. Bukan sebuah senyuman bahagia. Senyuman itu terlihat sebagai sebuah senyuman yang menyedihkan bagiku.
Beberapa hari kemudian, aku akhirnya berhasil keluar dari rumah sakit. Aku bosan seharian penuh tertidur di atas ranjang rumah sakit dan terus memakan makanan yang telah disediakan rumah sakit. Semuanya terasa membosankan. Ibu Niall selalu menjengukku, tetapi dia sangat sibuk. Tidak dengan Niall. Dia selalu berada di sampingku dan hanya pergi ketika ada hal ‘darurat’ dengan One Direction. Teman-teman Niall selalu menjengukku. Aku berteman baik dengan mereka semua.
Aku duduk di sebuah kursi di koridor rumah sakit ketika Niall masih terus berbicara dengan seorang suster. Sesekali dia melihat ke arahku dengan pandangan yang sangat takut.  Tak berapa lama, dia berjalan ke arahku.
“Ayo, Alice!” Niall berjalan ke arahku sambil menyembunyikan sesuatu.
“Apa yang dikatakan suster itu?” Tanyaku penasaran.
Niall terdiam sesaat sambil melihat ke arahku. “Bukan apa-apa. Ayo, Alice!” Aku menghiraukannya tanpa menggerakkan tubuhku se-inch pun.
“Apa? Ayo!” Niall berjalan menjauhiku. “Alice!!” Teriaknya ketika menyadari bahwa aku masih tidak bergeming untuk mengikutinya. Seketika semua mata tertuju pada kami berdua.
“Ouch!” Kali ini Niall menarik tanganku dengan sangat keras. Bukannya aku ber-akting. Tapi kali ini tarikan tangannya sunggu terasa sakit di pergelangan tanganku. Niall bertingkah tidak peduli dengan apa yang terjadi dan terus menggenggam tanganku. Kami berjalan cepat tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari kedua mulut kami. Kami sampai kembali di rumah Niall. Di rumah tidak ada siapa-siapa. Niall masih menggenggam tanganku dan membawaku ke kamarnya lalu menutup pintu kamarnya.
“Niall…” Aku memanggil namanya pelan.
“Maaf aku…” Dia tidak mengakhiri kalimatnya dan melepas tanganku lalu duduk di atas tempat tidurnya.
Aku berjalan ke arahnya dan duduk di sebelahnya. “Ada apa, kakak?” Dia tetap terdiam. Wajahnya terlihat sangat sedih. Kemudian dia memelukku erat. Rasa bingung di kepalaku kembali dipenuhi oleh banyak pertanyaan.
“ Maafkan aku, Alice. Aku..” Aku merasa pundakku basah. Niall, dia menangis…
“U-untuk apa?” Tanyaku bingung.
“Untuk semuanya…”
“Niall, apa sesuatu terjadi padaku?” Lanjutku.
“Suster… Suster itu berkata…. Bahwa… O-otakmu.. Terluka...” Niall kembali menangis. Belum pernah aku melihat Niall seperti ini. Aku kaget. Otakku terluka. Parah.
“Itu bukan salahmu, Ni,”
“Suster itu berkata bahwa otakmu terkena sebuah virus. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain menghilangkan rasa pusingmu. Dan dia berkata…. Hidupmu… Tidak akan lama..” Lanjut Niall kembali menangis. Pelukannya bertambah erat setiap kali tangisannya bertambah keras. Hidupku. Tidak akan bertahan lama. Hidupku. Hidup dimana aku dapat merasakan kehangatan yang luar biasa hebat. Hidup di mana aku bisa hidup bersama orang-orang yang aku cintai. Akan segera berakhir. Aku tidak bisa menahan ini semua. Tidak bisa. Aku mulai menangis di bahu Niall dan pelukannya dapat kurasakan semakin erat. Niall masih terus menangis tetapi dia terus berusaha membuatku lebih tenang. Tanpa kusadari aku mulai tertidur di pelukannya.

“Alice!” Niall memanggil namaku.
“Hei, Niall!” Aku menjawab dan berbalik melihatnya. Aku tidak tahu ini di mana. Ruangan serba putih mengelilingiku dan Niall. Hanya aku dan Niall. Kulihat Niall dengan jas putih, celana panjang putih, sepatu putih dan dasi putih di balik jasnya. Sangat tampan. Aku melihat diriku sendiri. Gaun putih seperti susu dengan high heel berwarna putih juga membalut tubuhku.
Niall berjalan ke arahku dan memberikan satu tangannya. “Mau berdansa denganku?” Tanyanya dengan penuh senyum. Aku mengangguk dan meraih tangannya. Kedua tangannya berada di pingganggu dan kami mulai berdansa mengikuti alunan melodi indah yang entah dari mana. Aku tidak pernah ingat bahwa aku bisa berdansa selancar ini.
Kulihat kedua mata birunya sedalam mungkin. Melihat kesedihan di dalam kedua bola matanya. Kami berhenti berdansa ketika lagu tak berlirik itu berhenti berputar. Niall mendekatkan tubuhnya padaku dan bibir kami sangat dekat.
“Niall, jangan pernah tinggalkan aku. Kumohon.” Pintaku. Bibir kami hanya berjarak beberapa inch saja.
“Tidak akan. Tidak akan pernah, my little princess.” Balasnya ketika dia akan menciumku. Tetapi ketika bibir kami belum sempat bersentuhan, lantai di bawah kami retak dan memisahkan kami berdua.
“Niall!” Aku berteriak. Dia melihatku khawatir dan berusaha meraih tanganku. Lantai di bawah kami semakin tidak berbentuk. Aku terus berteriak memanggil namanya. Dia berusaha meraih tanganku. Mulutnya seperti meneriakkan sesuatu tetapi aku tidak bisa mendengar apa yang diucapkannya.
“NIALL!” Teriakkanku semakin histeris ketika perlahan tubuh Niall mulai menghilang tenggelam dari hadapanku. Teriakkan histerisku perlahan memudar ketika aku merasa tubuhku terjatuh dan kegelapan kembali menyerang mataku. Tiba-tiba sebuah gelombang sontak membuatku terbangun. Aku melihat sekelilingku dan kudapati diriku berada di dalam kamar. Mimpi buruk. Mimpi yang sangat buruk!
“Hush, Alice. Aku di sini,” Niall ada di sebelahku. Aku melihat jam di dinding seberangku dan kudapati jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari.
“Mengapa kau tidak tidur?” Aku bertanya padanya.
“Aku mendengar kau berteriak-teriak memanggil namaku.”
“Oh, maaf. Aku membangunkanmu.” Aku berusaha mengingat apa yang terjadi dalam mimpi burukku itu. Aku bermaksud untuk kembali menidurkan tubuhku tetapi tiba-tiba Niall memeluk tubuhku erat.
“Alice, kenapa kau takut? Aku di sini. Aku akan selalu ada di sisimu. Alice, aku menyayangimu…. Seperti adikku sendiri.” Hatiku mulai kembali sakit ketika mendengar sepotong kalimat terakhir yang Niall ucapkan untukku.
“Aku menyayangimu juga, Niall. Seperti kakakku sendiri.” Balasku. Aku berusaha menahan agar air mataku tidak terjatuh. Niall, aku menyayangimu lebih dari sekedar kakak! Aku berteriak dalam hatiku. Ini sudah terlambat. Aku tahu sekarang, Niall hanya menyayangiku sebatas adik. Niall, kumohon dengarkan aku… Kumohon.. Aku mencintaimu.
Setelah itu aku mulai hidup normal. Kedua orang tua Niall selalu berusaha mencari obat-obatan yang mungkin bisa mengobatiku. Tetapi semuanya kembali pada angka nol. Semuanya sia-sia. Aku tidak peduli berapa tahun, berapa bulan, berapa minggu, berapa hari, berapa jam, berapa menit dan berapa detik lagi aku akan hidup. Ya, aku tidak takut ini. Aku tetap berjalan dan tertawa bersama Niall. Tetap saja, perasaanku padanya tidak akan pernah berubah. Aku akan selalu menyukainya lebih dari seorang kakak.

Aku memutar kembali kenangan yang sudah lama berlalu itu. Kegelapan masih terus membayangiku. Aku masih belum bisa tertidur walau pun ratusan kali aku mencoba menutup kedua mataku dengan tanganku. Sesekali aku melirik ke sebelah kiriku dan kudapati Niall yang belum juga tertidur. Dia hanya terus melihat ke arah langit-langit tanpa tahu apa yang sedang ia pikirkan.
Tiba-tiba aku merasa kepalaku sangat sakit. Lebih sakit dari sebelum-sebelumnya. Kemudian aku memegang kepalaku dan mulai berteriak.
“Alice!” Niall berteriak lalu berlari ke arahku. Dia memelukku erat sembari menekan tombol pemanggil darurat yang berada tak jauh dari tempat tidurku. Niall memelukku erat dan kepalaku terbenam di dadanya. Aku mulai menangis keras menunjukku betapa sakitnya kepala ini. Tiba-tiba aku merasa rasa sakit di kepalaku hilang. Aku merasa hidupku akan segera berakhir.
“Kakak, Niall… Aku…” Aku menutup mataku dan merasakan tangannya mengoyak-oyak tubuhku.
“Tidak! Alice! Bangun! Jangan tutup matamu! ALICE!!!” Itu adalah hal terakhir yang dapat aku dengar sebelum nyawaku benar-benar pergi dari tubuhku.

Niall’s POV

 “Kakak, Niall… Aku…” Aku mendengar kalimat terakhir yang dia ucapkan. Aku merasa nafasnya behenti.
“Tidak! Alice! Bangun! Jangan tutup matamu! ALICE!!! Air mataku mulai deras mengalir. Aku memeluk dirinya erat. Seerat mungkin berusaha membangunkannya walaupun aku tahu itu adalah hal yang mustahil. Tubuhku tiba-tiba terasa lemas. Keadaan sekelilingku menjadi gelap. Hal terakhir yang dapat kulihat adalah ketika aku terbaring di atas lantai dengan keadaan setengah sadar dan orang-orang berbaju putih berteriak dan berlari masuk ke dalam kamar ini.
Aku membuka mataku. Tembok putih, tempat tidur putih, pintu putih. Rumah sakit.
“Niall! Kau bangun! Terima kasih Tuhan!” Zayn berteriak lalu berjalan ke arah tempat tidurku diikuti yang lainnya dan kedua orang tuaku.
 “Di mana aku?” Tanyaku pada semua yang ada di kamar ini. Aku berusaha duduk di tempat tidurku dan berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Liam terlihat akan menjawab pertanyaanku tetapi aku kembali bertanya.
“Alice! Di mana Alice?!” Aku panik. Aku ingat ketika dia menghembuskan nafas terakhirnya, tapi tidak! Dia tidak mati!
“Niall… Kami minta maaf… dia…” Louis mencoba menjelaskan semuanya dengan wajah yang menghadap lantai.
“Di mana dia?!” Aku terus berteriak ketika tidak ada satu pun dari mereka yang ingin melanjutkan ucapan Louis. Mereka semua kembali melihat lantai dengan wajah sedih.
“Dia… Pergi.” Ucap Harry mengakhiri kalimat Louis.
“Maaf, Niall.” Lanjut Zayn mencoba membuatku tidak menggila.
“Tidak! Dia tidak mati! TIDAK!” Teriakku panik. Dia tidak mati! Dia tidak boleh mati.
Tidak. Tidak. Niall. Itu hanya mimpi buruk…. Mimpi terburuk…. Aku tetap menolak fakta bahwa dia telah pergi. Aku masih merasakan nafas terakhirnya.
“Niall, kau harus istirahat. Kau terlalu lelah,” Harry berkata padaku dan menidurkanku di atas tempat tidur.
“TIDAK, HARRY! DIA TIDAK MATI!” Aku kembali berteriak. Lebih, lebih dan lebih kencang dari sebelumnya.
“NIALL, KAU BUTUH ISTIRAHAT!!” Harry berteriak lebih kencang dari yang aku lakukan. Aku takut padanya. Terlihat seperti gadis kecil yang ketakukan, shock dan berusaha menahan air matanya. Tapi siapa yang peduli! Yang aku pikirkan sekarang hanya Alice!
“Maaf, Niall… Kumohon istirahatlah.. ” Ucap Harry ketika dia melihatku ketakutan atas teriakannya. Dia terlihat menyesal telah meriakiku sekencang ini.
“Maafkan aku juga, Harry…” Aku balas ucapannya ketika dia membuka pintu kamar dan mulai berjalan keluar. Pintu kamar tertutup perlahan.
“Sekarang, istirahatlah. Kau harus tidur.” Lanjut Louis menepuk-nepuk kepalaku. Aku membaringkan tubuhkan dan berusaha menutup mataku.

Aku berjalan disebuah ruangan dengan warna putih menutupinya. Kulihat Alice berdiri di seberangku dengan gaun berwarna putih yang sangat cantik. Rambutnya tergerai menjuntai mengikuti gravitasi bumi. Dia terlihat seperti seorang malaikat.
“Alice, aku….” Tiba-tiba tubuhnya menghilang perlahan seperti pasir yang ditiup angin sebelum aku sempat mengakhiri kalimatku. Tubuhnya menghilang ketika dia memberikan senyumnya padaku. Senyum yang sangat indah miliknya. Seketika cahaya memenuhi kedua bola mataku dan semuanya kembali menjadi gelap.
Hari-hari telah berlalu dan aku sudah bisa menerima apa yang sebenarnya telah terjadi. Semua yang telah terjadi. Dan Alice… Dia pergi. Dia benar-benar pergi. Dokter berkata bahwa tubuhnya tidak kuat menahan pendarahan di tangan kirinya dan dia tidak dapat menahan rasa sakit di otaknya.
Hari ini adalah pemakamannya. Aku berada di dalam gereja dengan pakaian serba hitam. Kedua orang tuaku, Harry, Zayn, Louis dan Liam pun berada di bawah atap yang sama denganku. Kedua orang tuaku terus menangis karena mereka sudah menganggap bahwa Alice adalah anak perempuan mereka. Aku ingin menangis sekencang mungkin. Tetapi aku berusaha menahannya. Aku berdiri di sebelah peti di mana Alice ditidurkan. Aku melihat tubuhnya terbaring dengan pucat di dalam peti mati ini. Tubuhnya dibalut gaun putih yang sama persis dengan apa yang aku lihat dalam mimpiku. Kelopak-kelopak mawar merah menghiasi sekeliling tubuhnya. Kulihat wajahnya. Dapat kulihat dia tersenyum bahagia. Aku ingat senyuman itu yang dia buat ketika dia sedang senang, ketika dia tertawa, ketika dia tertidur di tempat tidurku setelah aku menyanyikannya lagu tidur. Aku tidak bisa menahannya lagi. Air mata turun di kedua pipiku. Kucoba untuk menghapusnya tetapi tetaplah sia-sia. Air mataku tetap turun deras walaupun aku terus mencoba menahannya.
“Niall, kami minta maaf…” Liam menepuk pundakku berusaha menenangkanku. Aku hanya mengagguk dan terus menangis. “Ayo, pemakaman akan segera dimulai. Kursimu ada di sebelah sana.”
Kami duduk di kursi yang telah disiapkan. Pendeta mulai membuka upacara pemakan ini dengan menceritakan apa itu arti hidup – suatu saat semua orang akan pergi dan kematian bukanlah hal yang perlu ditakutkan. Karena kita akan bertemu Tuhan dan akan berada di tempat yang lebih baik dari dunia ini. Aku hanya bisa mendengar setiap kata yang diucapkan pendeta itu. Dan itu semua membuatku kembali menitikan air mataku. Tak lama, pendeta telah selesai memberikan sambutannya. Dan kini gilaranku naik ke mimbar.
“Selamat sore semuanya. Kita berkumpul di sini saat ini untuk mengantar seseorang yang sangat kita cintai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku akan memberitahu semua yang aku aku tahu tentang dia. Dia seperti malaikat, senyumnya memberikan kebahagiaan. Ketika air mata jatuh ke pipinya, kita dapat melihat kesedihan yang dia rasakan. Ketika dia tertawa, dia memberikan kita suatu hal yang menyamankan hati. Dan dia sudah seperti adikku sendiri…” Aku menangis karena aku berbohong. Aku menyayanginya bukan sebagai adikku. Sesuatu yang lebih! Aku mencintainya! Aku berharap aku bisa mengatakan hal ini padanya suatu saat. Tapi semua telah terlambat. Dia sudah pergi. Meninggalkan dunia ini. Jarak antara kami tidak akan bisa terhitung. Aku melanjutkan sambutanku dengan isak tangis. Ketika aku menyelesaikannya, aku kembali duduk di kursiku, menangis.
Peti telah di bawa keluar dari gereja untuk dikuburkan di dalam tanah. Aku melihat peti mulai ditutup, berusaha menahan air mataku dan berkata, “Selamat tinggal.. Alice..” Dan untuk terakhir kalinya aku melihat wajahnya ketika peti sudah benar-benar tertutup. Aku diam di sini dan menyaksikan tanah mulai mengubur peti kayu itu. Kupandangi tanah di bawahku dan semua ingatan mulai memenuhi kepalaku. Ketika aku bertemu dengannya, ketika aku melihatnya menangis, ketika aku menyanyikan sebuah lagu untuknya, ketika kedua orang tuanya meninggal, ketika dia bertingkah seperi anak kecil, ketika aku selalu berdoa pada Tuhan agar memberinya satu hari lagi. Hari-hari telah berlalu dan aku kehilangan kesempatan untuk mengucapkan sepotong kalimat penting padanya. Aku menyayanginya lebih dari seorang adik. Aku mencintainya!
“Ayo, Niall.” Harry menepuk pundakku dan mulai berjalan meninggalkan pemakaman. Aku masih terdiam memandangi batu nisan di depanku dengan kekosongan di mataku.
“Nialler, ayo. Dia berada di tempat yang lebih baik sekarang…” Lanjut Zayn mendekatiku diikuti yang lainnya.
“Iya, Niall. Dia berada di tempat yang lebih baik. Kau pasti akan bertemu dengannya suatu saat nanti.” Liam mencoba menyentuh pudakku tetapi aku menahannya.
“Kalian tidak akan bisa mengerti! Kalian tidak akan pernah bisa mengerti perasaanku padanya!” Aku berlari tanpa tujuan menjauhi pemakaman. Perasaanku kali ini benar-benar kacau. Aku berlari menyebrangi sebuah jalan besar. Entah mengapa tiba-tiba pikiranku kosong dan sebuah kendaraan menghantamku keras. Aku merasa tubuhku terhuyung lalu tidak ada lagi yang bisa aku ingat.

“Niall!” Sebuah suara yang familiar di telingaku memanggilku. Aku membuka mataku dan mendapati diriku tengah berdiri di ruangan serba putih seperti pada mimpiku sebelumnya. Aku melihat Alice tepat berada di depan mataku.
“Alice! Aku rindu padamu! Ke mana saja kau?” Aku memeluknya erat. Kuangkat dia lalu kuayunkan dia seperti seorang putri. Kami berlari saling mengejar dan tertawa seperti dulu lagi.
“Kakak, aku merasa ada sesuatu yang ingin kau katakan?” Tanyanya padaku. Matanya bertemu mataku secara langsung. Aku rindu bola mata hijaunya itu.
“Alice… Aku… Aku cinta padamu.” Akhirnya kata-kata yang paling ingin aku ucapkan padanya berhasil aku lontarkan lewat mulutku. Dia tersenyum manis padaku.
“Aku juga begitu, Ni.” Awalnya kau kaget mendengar apa yang dia katakan. Tetapi aku sangat senang ketika aku melihat senyum manisnya. Kucium bibirnya. Tidak lama tapi sangat berarti.
Dia mendorongku balik dan berkata, “Niall, aku harus pergi sekarang. Kita akan bertemu suatu hari nanti. Teruslah hidup.”
“Tunggu Alice! Aku akan ikut denganmu!” Aku berteriak ketika perlahan dia terbang menjauh.
“Kumohon, Niall. Tetaplah hidup… Untukku?”
“Baiklah, Alice. Kita akan bertemu lagi suatu hari nanti.” Balasku lalu tersenyum padanya. Kali ini sosoknya semakin menjauh. Aku berusaha memfokuskan mataku padanya.
“Terima kasih, kakak!” Teriaknya riang membalas senyumanku. Dia benar-benar menghilang dengan senyum lebar di wajahnya.
Aku mendengar tangisan bergema di sekelilingku. Dan aku merasa banyak tangan yang menyentuh tubuhku. Aku mencoba membuka mataku. “NIALL!” Louis berteriak padaku kemudian memelukku erat. Yang lainnya mulai berlarian ke arahku. Kulihat Zayn menangis histeris, Liam berusaha menyembunyikan air matanya, sedangkan Harry terus menggigiti kuku-kukunya dengan wajah yang tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Mereka semua menyadari kesadaranku telah pulih dan memelukku erat dan hangat dengan penuh perasaaan.

.

.

Beberapa bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Kehidupan baruku mulai tersusun kembali dengan teratur. Kami telah selesai dengan album kedua kami dan dengan segala tur serta promosi-promosi lainnya. Zayn masih tetap setia dengan Perrie, Harry menikmati masa single-nya dengan bahagia, Louis semakin mesra dengan Eleanor, dan Liam bermaksud untuk melamar Danielle. Sedangkan aku? Terus tersenyum di depan publik, tertawa seperti diriku yang humoris. Tapi di dalam hatiku, aku masih sangat sakit. Aku ingin menangis. Aku selalu merindukannya, malaikat kecilku, Alice.
Aku dan yang lainnya berencana untuk pergi ke pemakanan setelah pekerjaan kami selesai. Tentu saja untuk mengunjungi makam Alice. Kami meletakkan beberapa ikat bunga di dekat nisan bertuliskan namanya. Sebuah patung malaikat dengan sayap di atas nisan itu kembali mengingatkanku padanya.
“Hei Alice, kami sangat merindukanmu. Semoga kau baik-baik saja di sana. Kami merasa sepi tanpa kehadiranmu. Terutama tawamu itu. Kau harus melihat kami. Kami telah berhasil menyelesaikan album kedua kami dan tentu saja tur-tur mengelilingi duniamu dulu.  Kami yakin, suatu saat kami akan bertemu dengamu lagi.” Ucap Harry setelah meletakkan tangkai bunga terakhir di sebelah nisan ini. Aku melihat ke arah bunga-bunga itu dan tiba-tiba angin menerbangkan sebuah kelopak bunga mawar merah. Seketika itu semua ingatanku tentangnya kembali muncul ke otakku.
“Niall, kita akan pergi sekarang. Kau mau ikut?” Tanya Louis mengajakku pergi.
Aku menarik nafasku panjang. “Aku rasa aku akan di sini untuk beberapa saat. Kalian duluan saja.”
“Baiklah. Tetaplah kuat, Niall!” Mereka pergi meninggalkanku sendiri di pemakaman. Aku duduk sendirian di sebelah batu nisan milik Alice.
“Hei, Alice…. Aku merindukanmu.” Aku berusaha bicara padanya. Kuharap dia melihat apa yang telah aku lakukan selama dia pergi dan mendengar apa yang aku ucapkan. Tiba-tiba angin besar seperti mendorongku keluar dari pemakaman. Mataku tertuju pada sebuah ayunan bercat merah pudar bergerak dengan sendiri dengan dikelilingi rerumputan yang tidak terawat. Lagi-lagi ingatan itu mulai kembali. Aku ingat. Itu adalah ayunan tempat pertama kali aku berbicara dengannya. Dapat kulihat sama-samar bayangan dua orang anak kecil bermain dan tertawa di sana. Bayanganku dan bayangan Alice kecil berlari ke sana kemari tanpa memikirkan waktu. Tiba-tiba angin besar itu lagi-lagi datang dan mendorongku beberapa yard ke belakang. Aku menoleh dan kulihat sebuah gua kecil berlumut terlihat lembab di belakangku.
“Sudah sepuluh tahun, ya…” Ucapku tersenyum menahan air mataku ketika aku mengingat ketika pertama kali aku menemukannya menangis sendirian di dalam gua kecil itu. Aku berjalan menuju mulut gua itu dan duduk di dalamnya dengan melipat kedua kakiku di dadaku.
“Alice… Aku benar-benar merindukanmu.” Kurasakan air mataku tidak bisa terbendung lagi. Tetesan-tetesan air mulai jatuh dari mataku mengalir melewati pipiku.Aku merasa sebuah sesuatu yang dingin menyentuh pipi kiriku. Kuangkat kepalaku dan kudapati seorang wanita berdiri di depanku tersenyum hangat padaku.
Senyum itu, “Alice?” Tanyaku tak percaya. Imaginasiku mulai semakin jelas, itu dia. Aku melihat Alice berdiri di depanku dengan gaun putih dan… Tunggu. Apa? Apa itu? Ada kedua sayap di belakang punggungnya. Bulu sayap itu terbang dan kugapai satu bulu putih dan kumasukkan ke dalam saku jaketku. Kugapai dirinya dan kupeluk sekuat tenagaku.
“Alice! Aku rindu padamu!” Teriakku padanya. Kupeluk dirinya tanpa sesekali melonggarkan pelukanku.
“Aku tahu, Niall. Aku selalu memperhatikan kalian semua dari sana.” Ucapnya memelukku balik.
“Bolehkah aku menciumu?” Tanyaku. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun dan hanya tersenyum. Tiba-tiba bibir dinginnya menyentuh bibirku. Setelah itu kami hanya terus berpelukan sambil memejamkan kedua mata kami. Menikmati sebuah reuni penuh emosi yang sama sekali tidak bisa aku bendung.
Aku membuka mataku. Aku masih berada di dalam gua kecil ini. Mimpi. Hanya sebuah mimpi. Kulangkahkan kakiku dan kudapati hari sudah gelap dan angin berhembus sangat dingin. Kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaketku dan kurasakan sesuatu yang halus di dalam sana. Bulu. Jadi itu semua bukan mimpi, aku bertemu Alice sebagai malaikat.
Aku melihat ke arah pemakaman dengan senyum di wajahku. “Terima kasih, Alice.”
Kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi kananku dan sebuah suara lembut berbisik, “sama-sama kakakku yang paling kucintai. Tolong sampaikan salamku pada semuanya. Katakan pada ayah dan ibu bahwa aku mencintai mereka seperti orang tuaku sungguhan. Dan untuk yang terakhir, I love you..
I love you too, Alice. Always and forever..” Sebuah angin besar kembali bertiup dan dapat kurasakan dia pergi dari sisiku. Aku melihat ke atas langit malam dan kulihat ratusan bintang bertaburan di langit hitam. Aku tidak lelah untuk tersenyum. Aku tahu dirinya tidak ada lagi di dunia ini. Tapi aku yakin di dunia sana dia akan selalu memperhatikanku, memperhatikan semua orang yang berarti baginya. Semuanya.

Orang berkata bahwa masa lalu itu lebih baik dilupakan karena kenangan buruk adalah masa lalu. Tapi berbeda dengan teoriku. Aku tidak akan pernah melupakan masa laluku sampai kapanpun. Walau pun masa laluku dipenuhi hal-hal buruk yang membuatku selalu menangis, aku tidak akan pernah melupakannya. Tidak akan pernah. Aku akan melangkah ke hari yang baru dengan terus membawa masa laluku. Karena aku percaya. Aku percaya bahwa adikku tercinta selalu berada di sisiku. 

1 comment: