Monday, August 12, 2013

Goodbye My First Love


Finalis #1DFanficContest13

by Felicia Rena , 18

LOLS

Kelima anggota One Direction turun dari atas panggung setelah melakukan gladi bersih untuk konser mereka nanti malam. Mereka langsung disambut oleh salah satu event organizer konser dari Perancis. Saat ini mereka memang tengah mengadakan konser di ibukota negara yang terkenal dengan Menara Eiffel-nya itu.
“Penampilan yang bagus sekali. Aku yakin konser nanti pasti akan sukses,” kata event organizer itu sambil menyalami personil One Direction satu-persatu.
“Terima kasih,” balas kelima personil One Direction.
“Sekarang kalian bisa beristirahat dulu. Masih ada waktu dua jam sebelum konser dimulai. Kalau kalian memerlukan sesuatu, katakan saja padaku, oke?” lanjut si event organizer dengan bahasa Inggris yang lancar walaupun masih kental dengan aksen Perancis.
Setelah itu Louis, Zayn, Liam, Harry dan Niall kembali ke ruang ganti mereka untuk beristirahat sebelum memulai konser. Sesampainya di ruang ganti mereka, Zayn langsung merebahkan dirinya di atas sofa dan menutup matanya sementara Harry, Liam dan Niall pergi lagi ke luar untuk mencari makanan. Louis duduk di salah satu kursi rias dan menyalakan televisi, mengganti-ganti saluran untuk mencari acara yang menarik untuknya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, pintu ruangannya diketuk. Berhubung hanya ada dirinya dan Zayn yang sudah terlelap di ruangan itu, maka Louis bangkit berdiri dan berjalan ke arah pintu. Louis membuka pintunya dan menemukan seorang gadis berkacamata dan rambut diikat berdiri di balik pintunya sambil menatap ke arah noteboard-nya.
Can I help you?” tanya Louis.
“Saya diminta untuk menyampaikan pada Anda semua bahwa Anda diharapkan sudah bersiap di belakang panggung setengah jam sebelum konser dimulai. Lima belas menit lagi tim make-up akan segera merias kalian. Tim wardrobe juga akan segera sampai dan membawa kostum kalian, jadi tolong kalian jangan pergi terlalu jauh. Kalau kalian memerlukan sesuatu, katakan saja pada kami,” ucap gadis itu panjang lebar tanpa melepas pandangan dari noteboard-nya.
Louis nampaknya tidak menyadari bahwa dia sedang menatap gadis itu dengan mulut sedikit terbuka. Cara bicara dan gerak-gerik gadis itu nampak tidak asing baginya, namun dia tidak bisa mengingat lebih jauh. Satu hal yang menarik perhatian Louis adalah gadis itu bicara dengan logat British, tanpa sedikitpun aksen Perancis di dalamnya.
Sebenarnya Louis merasa penarasaran dengan gadis di depannya ini. Belum pernah ada orang yang berbicara dengan salah satu personil One Direction tanpa menatap langsung, seolah noteboard yang berada di genggaman gadis itu jauh lebih menarik daripada dirinya.
“Baiklah, aku mengerti,” kata Louis akhirnya. “Harry, Liam dan Niall sedang keluar sekarang, tetapi aku akan segera menelepon mereka. Aku akan memastikan mereka sudah berada disini saat tim wardrobe dan tim make-up datang. Terima kasih.”
Louis sudah menggerakkan tangannya untuk menutup pintu ketika tiba-tiba gadis itu mengangkat kepalanya. Di balik kacamata tipisnya, mata biru gadis itu menatap langsung ke arah Louis.
“Lama tidak bertemu,” ujar gadis itu sambil tersenyum kemudian melepas kacamatanya sehingga menampilkan mata birunya yang terang. “Louis Tomlinson.”
Louis menatap gadis itu dengan kedua mata terbelalak. Tangan kanannya masih memegang pintu yang sudah seperempat tertutup. Mulutnya kembali terbuka ketika otaknya mulai mengenali gadis yang saat ini tersenyum padanya.
“Katie? Cathrine Carter,” ucap Louis lirih.
“Kau masih mengenaliku?” tanya Katie tanpa sedikitpun melepas senyumnya.
Bagaimana mungkin Louis bisa melupakan gadis itu serta senyumannya? Sementara senyuman yang sama sudah pernah menawan hatinya beberapa tahun yang lalu. Senyuman itu jugalah yang seketika berhasil membangkitkan kenangan yang sudah lama dikuburnya dalam-dalam.
“Apa yang kau lakukan disini?” Louis balik bertanya.
Hanya berselang dua detik setelah menyanyakan hal itu, Louis ingin memukul kepalanya sendiri karena merasa sangat bodoh. Bukankah hal tersebut tidak perlu ditanyakan lagi? Tentu saja gadis itu sedang bekerja.
“Bekerja, tentu saja,” jawab Katie sesuai dugaan Louis. “Aku bekerja sebagai event organizer sekarang dan kebetulan sekali hari ini aku dan tim-ku yang bertugas untuk mengurus konsermu.”
“Kau—tinggal di Paris sekarang?” tanya Louis.
“Ya. Aku pindah ke Paris tiga tahun yang lalu. Sebelumnya aku bekerja pada sebuah majalah di New York,” jelas Katie.
“Begitukah?” Pandangan Louis tampak sedikit menerawang. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu.”
Katie kembali tersenyum menanggapi. Hanya saja kali ini terpancar aura sedih dari senyumannya. “Ya. Sudah enam tahun lamanya,” kata Katie.
Sesaat tidak ada lagi yang berbicara di antara keduanya. Mereka hanya saling menatap dalam diam, seolah berusaha untuk menyelami pikiran masing-masing.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” Harry, Liam dan Niall tiba-tiba muncul dengan tangan yang sibuk memeluk bungkusan makanan. Ketiganya menatap bingung ke arah Louis dan Katie yang segera memakai kembali kacamatanya.
“Aku akan pergi sekarang kalau begitu. Tolong sampaikan apa yang sudah ku katakan tadi pada yang lain. Permisi,” kata Katie sebelum beranjak pergi meninggalkan Louis yang masih dalam posisi mematung dan ketiga personil lain yang masih menatap heran pada mereka berdua.
“Siapa dia?” Liam bertanya pada Louis.
Event organizer,” jawab Louis singkat.
“Lalu untuk apa dia datang kemari? Apa dia salah satu penggemarmu dan meminta tanda tanganmu?” Kali ini Niall yang bertanya.
“Dia cantik juga. Tapi dia tidak terlihat seperti orang Perancis,” tambah Harry sambil menoleh ke arah punggung Katie yang semakin menjauh sampai gadis itu menghilang berbelok di lorong.
“Dia orang Inggirs,” sahut Louis tanpa sadar.
“Darimana kau mengetahuinya?” tanya Harry sambil mengernyitkan dahinya.
“Dia berbicara dengan aksen British,” jawab Louis membuat ketiga rekannya mengangguk-anggukkan kepala. “Tidakkah kalian mendengarnya ketika dia bicara tadi?”
Louis kemudian berbalik dan kembali masuk ke dalam ruang ganti. Harry, Liam dan Niall mengikuti dibelakang Louis.
“Apa yang dia katakan?” tanya Niall lagi.
“Dia hanya menyampaikan bahwa sebentar lagi tim make-up dan tim wardrobe akan tiba, jadi kita tidak boleh pergi kemana-mana. Kita juga diminta untuk sudah siap di belakang panggung setengah jam sebelum konser dimulai,” jawab Louis sambil membuka salah satu bungkusan makanan yang dibawa oleh Niall.
“Oohh,” Niall, Louis dan Harry sama-sama membentuk ‘O’ dengan mulut mereka.
“Bangunkan Zayn sekarang!” perintah Louis sambil menggigit burger.
Tidak lama kemudian datanglah tim make-up dan tim wardrobe dengan membawa kostum yang akan dipakai oleh One Direction di konser malam ini. Liam dan Niall adalah orang pertama yang di make-up. Sementara itu Louis dan Harry mencoba kembali kostum mereka. Zayn yang baru bangun sekarang sedang duduk di sofa sambil memakan burgernya.
Tiga puluh menit menjelang konser dimulai, kelima personil One Direction sudah berkumpul di belakang panggung untuk melakukan pengecekan terakhir. Sementara rekannya yang lain mempersiapkan mik dan peralatan lain yang akan mereka gunakan, Louis justru berdiri dan memandang berkeliling seperti mencari seseorang.
“Mencari siapa?”
Louis memutar tubuhnya dan menemukan Katie sedang tersenyum padanya. “Kau ini mencari siapa?” tanya Katie lagi.
“Tidak. Aku sedang tidak mencari siapa-siapa,” jawab Louis.
“Kalau begitu kenapa kau justru memandang berkeliling seperti tadi? Bukankah rekan-rekanmu sekarang sedang mempersiapkan mik dan lain-lain?” ujar Katie.
“Aku juga akan mengecek mik-ku sekarang,” sahut Louis sambil beranjak pergi untuk kembali bergabung dengan grup-nya.
Good luck!” ucap Katie ketika Louis melewatinya. Laki-laki itu berhenti melangkah dan menoleh ke arah Katie yang hanya tersenyum kecil padanya. Louis kemudian mengangkat ibu jari tangan kanannya sambil tersenyum dan kembali melangkah.
.
Louis duduk termenung sendirian di sebuah cafe di kawasan Paris. Tangannya mengaduk-aduk coffee latte-nya sampai tercampur. Rangkaian kegiatannya di Paris sudah selesai hari ini dan besok pagi dia beserta kawan-kawannya akan kembali ke Inggris.
Pikiran Louis melayang pada seorang gadis yang belum lama ini ditemuinya lagi. Cathrine Carter. Louis tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum hanya dengan mendengar namanya. Gadis itu benar-benar membangkitkan kenangan-kenangan yang Louis kira sudah dia lupakan.
Louis dan Katie adalah teman maca kecil. Mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama, bahkan bersekolah di tempat yang sama sampai mereka menginjak bangku SMP. Sayangnya, ketika akan melanjutkan ke SMA, Katie dan keluarganya pindah ke New York. Sejak saat itu Louis kehilangan komunikasi dengan Katie.
Louis harus mengakui bahwa dulu dia sangat menyukai Katie. Dia menyukai segala yang ada dalam diri Katie. Kulitnya yang putih, rambut cokelatnya yang bergelombang, mata birunya, bahkan sampai cara Katie memanggil namanya. Namun sayangnya, Katie sudah terlebih dulu pergi sebelum Louis bisa mengungkapkan perasaannya. Dengan kepergian Katie ke seberang benua, maka kisah cinta pertama Louis berakhir begitu saja.
“Sendirian saja?”
Louis menoleh cepat mendengar suara Katie memasuki indra pendengarannya. Laki-laki itu kemudian menemukan Katie berdiri di samping tempat duduknya sambil tersenyum padanya. Gadis itu memegang ice americano di tangannya.
“Ya,” jawab Louis. “Kenapa kau ada disini?”
“Aku? Ah, cafe ini adalah cafe langgananku. Aku memang sering sekali kesini,” balas Katie. “Bolehkah aku bergabung denganmu?”
“Tentu saja,” kata Louis sambil balas tersenyum. “Aku justru senang kalau kau mau menemaniku.”
“Apa kabarnya kedua orangtuamu?” tanya Katie.
“Mereka baik-baik saja,” jawab Louis. “Bagaimana dengan orangtuamu?”
“Mereka juga sehat-sehat saja,” ucap Katie. “Bagaimana kabarnya Inggris?”
Louis tidak langsung menjawab pertanyaan Katie melainkan memilih untuk menyeruput coffee latte-nya terlebih dulu.
 “Kenapa kau tidak datang berkunjung dan melihatnya sendiri?” balas Louis sambil mengangkat sebelah alisnya.
Katie tersenyum. “Aku ingin sekali,” katanya.
“Kau benar-benar tidak pernah lagi mengunjungi Inggris setelah pindah ke New York?” tanya Louis yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Katie.
“Apakah kau merindukan Inggris?” tanya Louis lagi.
“Ya. Tentu saja aku sangat merindukan Inggris. Separuh dari umur hidupku aku habiskan di tempat itu, jadi bagaimana mungkin aku tidak merindukannya?” ujar Katie sambil tersenyum kecil.
“Bagaimana denganku?” Pertanyaan Louis membuat Katie menatapnya dengan bingung. “Apakah kau tidak merindukanku?”
Louis tidak tahu apa yang membuatnya bertanya seperti itu. Kata-kata itu seolah meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa bisa dia cegah.
Katie tertegun menatap Louis sesaat. Dia tidak menyangka Louis akan bertanya seperti itu. Tetapi kemudian senyum kembali terukir di wajah cantiknya.
“Tentu saja aku merindukanmu, Lulu,” balas Katie sambil memanggil Louis dengan nama panggilan yang biasa digunakannya ketika mereka masih kecil.
“Kita tumbuh bersama kan? Bagaimana mungkin aku tidak merindukanmu?” lanjut Katie sambil meminum ice americano-nya.
“Aku juga merindukanmu,” kata Louis yang sukses membuat Katie terkejut dan nyaris tersedak ice americano-nya.
Katie tiba-tiba merasa tenggorokannya kering sehingga dia sulit untuk menelan ludah. Hatinya terasa bergejolak setelah mendengar kata-kata Louis tadi. Louis menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Katie sendiri tiba-tiba seolah kehabisan kata-kata. Dia tidak tahu lagi harus menanggapi Louis seperti apa.
“Bolehkah aku jujur tentang suatu hal padamu?” tanya Katie dengan suara pelan namun masih bisa didengar oleh Louis.
“Apa?” tanya Louis.
Katie tersenyum sebelum melanjutkan. “Ketika kita sama-sama duduk di bangku SMP, aku pernah menyukaimu,” ucap Katie.
Louis sedikit membelalakkan kedua matanya mendengar pernyataan Katie.
“Sebenarnya aku ingin mengatakan hal ini padamu sebelum aku pergi ke Amerika. Tetapi setelah kupikir lagi, kalau aku mengatakannya saat itu, mungkin aku malah tidak akan sanggup untuk meninggalkan Inggris dan meninggalkanmu,” tambah Katie sambil tertawa renyah.
“Tapi tenang saja,” lanjut Katie ketika Louis belum merespon pengakuannya. “Aku tahu kalau kau sudah punya pacar. Aku juga tidak punya maksud apa-apa. Aku tidak ingin dianggap mendekatimu hanya karena sekarang kau terkenal. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang ingin sekali kukatakan tetapi belum sempat kukatakan padamu. Jadi, kau tidak perlu khawatir—”
“Aku juga dulu menyukaimu,” potong Louis. Kini giliran Katie yang membelalakkan kedua matanya tidak percaya.
“Kau benar. Kalau dulu kau mengatakannya, kau pasti tidak akan sanggup pergi ke Amerika karena aku pasti akan menahanmu sebisa mungkin. Aku juga tidak akan bisa membiarkanmu pergi begitu saja,” ucap Louis.
“Benarkah?” tanya Katie sambil tersenyum kecil.
Sesaat suasana hening menyelimuti Louis dan Katie. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka setelah masing-masing mengakui perasaan mereka yang belum sempat tersampaikan dulu.
“Besok aku akan kembali ke Inggris.”
Ucapan Louis berikutnya membuyarkan lamunan Katie. Gadis itu kembali tertegun. Louis akan segera kembali ke Inggris dan dia—Katie—mungkin tidak akan bisa bertemu lagi dengannya.
“Begitukah?” ucap Katie pelan.
“Ya,” jawab Louis.
“Apakah kita bisa bertemu lagi?” tanya Katie.
“Tentu saja,” jawab Louis sambil menyunggingkan senyum.
“Datanglah ke Inggris kapan-kapan. Kita bisa bertemu lagi disana. Kau juga bisa mengunjungi kedua orangtuaku. Mereka pasti senang melihatmu lagi,” lanjut Louis yang membuat Katie tertawa.
“Jam berapa—“
“Aku akan berangkat dengan penerbangan pagi,” sahut Louis sebelum Katie menyelesaikan pertanyaannya.
Louis menyesap coffee latte-nya kemudian mengecek jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. “Maaf, tapi aku harus pergi. Teman-temanku akan mencariku kalau aku tidak kembali sekarang.”
Setelah berkata seperti itu, Louis bangkit berdiri dan tersenyum ke arah Katie. “Terima kasih sudah menemaniku, Katie. Aku senang bisa bertemu lagi denganmu,” kata Louis. Katie hanya mengangguk sambil memaksakan sebuah senyum.
Goodbye,” ucap Louis sambil melangkah pergi.
“Louis!”
Louis berhenti melangkah dan menoleh ketika mendengar Katie memanggil namanya. Gadis itu masih duduk di tempatnya.
“Sampaikan salamku untuk Eleanor,” ucap Katie sambil tersenyum. “Katakan padanya teman lamamu menitipkan salam. Aku akan senang sekali jika bisa bertemu dan berteman dengannya.”
Louis hanya berdiri diam sambil menatap Katie selama beberapa detik sebelum kembali menyunggingkan senyum. “Akan kusampaikan,” ucapnya. Setelah itu Louis kembali melangkah pergi keluar cafe meninggalkan Katie.
Katie masih duduk di tempatnya selama beberapa saat. Kedua matanya menerawang memandang keluar jendela. Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman sedih.
Sebenarnya tadi Katie berbohong ketika mengatakan bahwa cafe ini adalah langganannya. Sebenarnya dia bahkan baru pertama kali menginjakkan kakinya di cafe ini. Tetapi ketika melihat Louis duduk sendirian melalui jendela, Katie langsung memutuskan untuk menghampiri laki-laki itu.
Gadis itu tidak bisa memungkiri bahwa di dalam hatinya, nama Louis masih terukir begitu kuat. Namun Katie juga tidak ingin menjadi perusak hubungan orang. Dari yang diketahuinya, Eleanor adalah wanita yang baik dan sangat cocok untuk Louis.
Katie bangkit berdiri tanpa menghabiskan ice americano-nya sambil menghela napas. Sudah saatnya, batinnya. Sudah saatnya dia mengubur dalam-dalam kisah cinta pertamanya.
.
Louis mengedarkan pandangannya ke sekeliling bandara kota Paris. Dalam waktu beberapa menit dia akan memasuki pesawat dan terbang kembali ke Inggris. Walaupun begitu, entah kenapa sejak tadi Louis tidak bisa menahan dirinya untuk menyapukan pandangannya ke setiap sudut bandara seolah mencari seseorang. Atau dalam hatinya sebenarnya dia memang mengharapkan kedatangan seseorang.
“Sebenarnya kau ini sedang mencari siapa?” Zayn akhirnya bertanya karena bingung dengan sikap salah satu temannya ini. Niall, Liam dan Harry juga menatap Louis dengan pandangan bingung.
“Tidak,” jawab Louis cepat. “Aku tidak sedang mencari siapa-siapa.”
“Lalu kenapa kau menoleh ke kanan-kiri terus seperti mencari seseorang kalau begitu?” tanya Liam.
“Tidak apa-apa. Aku hanya—eh—arsitektur bandara ini bagus,” kata Louis yang jelas tampak berusaha untuk mengalihkan perhatian keempat rekannya yang kini menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala mereka.
“Sejak kapan kau tertarik pada arsitektur?” tanya Niall.
“Apakah kau sedang menunggu seorang gadis?” tanya Harry dengan polos.
Pertanyaan Harry sukses menohok Louis. Apakah dia sedang menunggu seorang gadis? Jawaban sejujurnya adalah iya. Dia sedang menunggu gadis yang menjadi cinta pertamanya saat ini.
Louis sudah memberitahukan pada gadis itu jam berapa dia akan pergi dan bertanya-tanya sendiri apakah gadis itu datang untuk mengucapkan selamat tinggal? Ah, kemungkinannya sangat kecil sekali gadis itu akan datang. Mungkin Louis memang harus lebih tegas melihat realita yang ada.
“Aku benar!” seru Harry tiba-tiba. “Kalian lihat kan? Aku menangkap basah dia! Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku dan tiba-tiba melamun seperti itu.”
Louis baru menyadari kalau ternyata dia sedang melamun tadi. Dengan segera dia mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menghindari tatapan penuh tanya dari personil One Direction lainnya.
“Benarkah? Kau sedang menunggu seorang gadis, Louis? Siapa yang kau tunggu? Setahuku Eleanor tidak sedang berada di Paris sekarang,” kata Niall
“Woa, kau benar-benar menunggu seorang gadis? Nakal sekali kau ini, Lulu. Kau kan sudah punya Eleanor. Siapa lagi yang kau temui?” goda Zayn.
“Cinta pertamaku,” jawab Louis.
Zayn, Niall, Liam dan Harry sukses membeku mendengar jawaban tidak terduga yang keluar dari mulut Louis. Keempat laki-laki itu saling bertukar pandang satu sama lain.
“Kau bertemu dengan cinta pertamamu disini? Di Paris?” tanya Liam yang ingin memastikan kalau telinganya tidak salah dengar.
“Ya. Aku bertemu dengannya di hari konser kita kemarin,” kata Louis.
“Benarkah?” tanya Zayn, Niall, Liam dan Harry serempak.
“Dia datang ke konser kita?” tanya Harry.
Louis mengangguk. “Lebih tepatnya, dia adalah salah satu event organizer untuk konser kita kemarin.”
“Ah, apakah dia adalah orang yang kita lihat bersamamu kemarin di depan ruang ganti?” Niall menepukkan tangannya ketika mengingat hal itu.
Louis kembali mengangguk sambil tersenyum membenarkan.
“Kau masih menyukainya?”
Louis mengangkat bahunya sebagai jawaban. “Well, semua orang pasti setuju kalau cinta pertama memang sulit untuk dilupakan bukan? Sama juga denganku.”
“Tetapi untuk saat ini, bagiku Eleanor tetap segalanya,” lanjut Louis yang membuat keempat temannya tersenyum.
“Ayo kita berangkat!” ajak Zayn ketika panggilan untuk memasuki pintu check-in mulai terdengar.
Kelima personil One Direction ini kemudian membawa tas mereka masing-masing dan berjalan menuju pintu check-in. Sebelum memasuki pintu check-in, Louis kembali memandang ke sekelilingnya untuk terakhir kali.
“Sampai jumpa lagi, Katie. Selamat tinggal my first love,” batin Louis sambil tersenyum.
.
Katie sedang menyetir mobilnya melewati jalanan dimana bandara tempat Louis akan lepas landas berada. Katie melewati tempat itu bukan karena dia akan mengantarkan Louis. Sama sekali bukan. Kantor tempat dia bekerja memang berada di jalan yang sama dengan bandara itu.
Ketika terbangun pagi tadi, Katie sempat ragu apakah dia akan mengantarkan Louis atau tidak. Pada akhirnya, gadis itu memutuskan untuk tidak pergi ke bandara. Dia takut kalau dia justru akan semakin susah melepaskan laki-laki itu jika dia pergi untuk melihatnya.
Katie baru saja sampai di depan gedung kantornya ketika dia mendengar suara pesawat yang lewat di atasnya. Katie mendongakkan kepalanya menatap pesawat yang baru saja lepas landas itu sambil tersenyum. Dia tahu benar bahwa itu pasti pesawat yang ditumpangi oleh One Direction untuk kembali ke London.
Goodbye, my first love,” bisik Katie pelan.

No comments:

Post a Comment