Monday, August 12, 2013

Regrets


Finalis #1DFanficContest13


HLS

Harry’s POV
“Eh Harry….” Seseorang menepuk bahuku ketika aku sedang asyik menonton televisi sambil duduk bersandar disofa. Ketika aku menoleh, aku mendapayi Niall berdiri tepat dibelakangku, tangan kanannya menenteng kantung kertas berwarna cokelat.
“Ada apa? Apa itu yang ditanganmu?” Tanyaku sekaligus.
“Kemana yang lain? Kenapa hanya ada kau disini?”
Niall duduk disebelahku, lalu karena ia tidak menjawab pertanyaanku yang satu, maka aku merebut kantung kertas ditangannya. Ternyata kantung kertas tersebut berisikan beberapa potong roti manis.
“Tadi ada dua orang directioners yang datang, mereka membawakan kita roti-roti itu. Kalau kau mau, ambil saja..” Katanya sambil merebut remote televisi dari tanganku, kami jadi main saling rebut sekarang.
Niall memindahkan channel Animal Planet ke channel Starworld.
“Mau apa sih nonton binatang-binatang seperti itu…” ujarnya.
Aku mengambil sepotong roti, kemudian mulai memakannya.
“Heh!” Niall menyikut perutku.
Aku menoleh kearahnya. “Ada apa sih?” kataku sambil terus mengunyah roti didalam mulutku.
“Kemana yang lain?” Niall ikut mengambil sepotong roti dalam kantung tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.
Aku menelan potongan terakhir dari rotik, kemudian menjawab. “Zayn datang kekonser pacarnya, Liam ada dibalkon sedang menelepon, Louis bersama Eleanor tidak tahu kemana perginya…”
Niall mengangguk paham. “Kau tahu tidak, nama girlband Perrie itu apa?”
Aku mengedikkan kedua bahuku. “Little Mix kalau aku tidak salah. Aku jarang sekali melihat mereka tampil. Hanya sesekali saja.” Jawabku.
“Hai..” Liam muncul, kemudian menyerobot tempat duduk, ia menempatkan dirinya persis ditengah-tengah aku dan Niall.
“Kau tahu kalau badanmu itu besar, kan?” Aku menggeser sedikit posisi tubuhku, kemudian menepuk pelan bahu Liam.
“Maaf… Hanya ingin bergabung…”
Aku dan Niall tertawa pelan. “Santai sajalah..”
“Jadi… Tadi Zayn meneleponku dan meminta kita untuk segera datang ke arena tempat Little Mix konser malam ini…”
Liam menepuk dua lututnya menggunakan telapak tangannya beberapa kali, menciptakan beberapa nada.
“Malam ini? Jam berapa?” tanya Niall.
“Gate akan ditutup pukul enam lewat sepuluh..” Liam menyandarkan punggungnya disandaran sofa.
“Pukul 6? Memangnya sekarang pukul berapa?”
Kepalaku refleks menoleh kearah jam dinding. Jam digital yang menempel tepat diatas lukisan yang terpasang didinding beberapa meter dibelakang sofa. 05.25 pm.
“Kurasa kita harus bergegas…” aku bangkit dari kursiku, kemudian berlari kecil menuju kamarku untuk berganti pakaian. Apartment ini cukup besar untuk ditinggali kami berlima.


Aku, Liam, dan Niall tiba diarena tepat lima menit sebelum gate ditutup.
“Apa yang akan terjadi kalau kita terlambat datang?”
Niall bertanya sambil duduk dikursinya, tepat diantara aku dan Liam.
Beberapa penggemar kami sempat meminta foto dan tanda tangan dari kami. Tapi kelas VVIP tentu akan membuat kami nyaman. Bukan… Bukan kami tidak nyaman kalau saja ada directioners yang meminta kami untuk berfoto atau sekedar tanda tangan.
Hanya saja, untuk waktu tertentu, kami juga butuh privasi kan?
“Tentu saja kita tidak boleh masuk..” Jawab Liam sambil menyiapkan handycam, Zayn yang menyuruhnya untuk merekam jalannya konser nanti.
“Meskipun….” – “Meskipun kita adalah One Direction!” potongku ketika Niall belum selesai dengan kalimatnya.
Niall tertawa sambil kemudian meneguk coke dingin dari dalam kaleng yang sedar tadi digenggamnya.
“Hey maaf, aku ke backstage barusan…” Zayn muncul dan bergabung dengan kami.
“Tidak apa-apa…” Liam menepuk-nepuk pelan puncak punggung Zayn.
“Jadi…. Kita menonton konser ketika kita sedang libur konser?” gurau Niall.
Aku menatapnya, sambil tersenyum lebar. Kami memang sedang ada dihari kosong, kami diberikan jeda tiga hari dijadwal konser Take Me Home minggu ini. Sampai kemudian kami akan melanjutkan tournya.
“Konser baru akan dimulai empat puluh lima menit lagi…” ujar Zaynn.
Aku, Liam dan Niall serempak menatap Zayn. Zayn kini menatap kami bergantian.
“Mau ke backstage dulu? Mungkin kalian mau menemui Perrie? Dan yang lainnya?” bola mata Zayn menatap satu persatu dari kami penuh harap.
Sementara aku, Niall, dan Liam mengangguk setuju. Zayn bangkit, diikuti kami.
Beberapa waktu kemudian, kami tiba dibackstage.
Aku dapat melihat empat orang perempuan dengan pakaian yang hampir serasi dan beberapa kru yang sedang sibuk mondar-mandir. Keempat perempuan itu sedang asyik mengobrol satu sama lain. Mereka punya warna rambut masing-masing. Abu-abu, hitam, cokelat, brunette.
Salah satu dari mereka, yang berambut brunette menarik perhatianku.
Tapi jujur, aku hanya mengenal Perrie disini. Dan itupun hanya sekedar kenal saja.
“Hallo lagi, girls…” Zayn menyapa keempat perempuan yang sedang asyik mengobrol tersebut sambil senyam-senyum.
Keempatnya menoleh, kemudian ikut tersenyum.
Mereka cantik.
“Hai…” keempatnya serempak membalas.
“Jesy, Leigh, Jade, kenalkan, ini Liam, Niall, dan Harry…” Zayn menunjuk kami satu persatu.
Liam dan Niall selesai berkenalan dan menyalami ketiga perempuan yang baru saja dikenalkan oleh Zayn.
Giliranku.
“Aku Leigh Anne…” perempuan dengan kulit kecokelatan dan rambut hitam menyalami tanganku.
“Harry Styles…” Well, mungkin harusnya mereka sudah mengenalku, kan? Tapi yasudahlah… Anggap saja ini hanya sebagai sebuah formalitas semata.
“Aku Jesy Nelson..” perempuan dengan rambut bergelombang dan berwarna cokelat menyalami tanganku.
“Harry Styles…”
Aku menyodorkan tanganku keperempuan yang satunya, yang berambut brunette, yang menarik perhatianku sedari tadi, ketika tepat ponsel ditangannya berdering. Ia membalikkan tubuhnya, lalu mengangkat telepon.
Aku menurunkan tanganku lagi. Dan menerima senyuman-senyuman konyol dari teman-teman disekitarku.
“Ohh.. Maaf.. Aku Jade.. Jade Thirlwall..” Aku menoleh kearahnya lagi, kemudian mendapati perempuan berambut brunette yang barusan sedang menyodorkan sebelah telapak tangannya kearahku.
Aku menggerakan tanganku. Untuk yang kali ini, jelas terasa berbeda.
“Aku Harry… Umm.. Harry Styles..”
Jade… Thirlwall.. Ia cantik. Cantik sekali. Umm… Yang lain juga cantik. Tapi ia lebih cantik. Dimataku. Menurutku.
“Jadi…”
Aku menoleh kearah Zayn yang sedang melongokkan kepalanya kearloji yang melingkar dipergelangan tangannya.
“Tiga puluh menit lagi. Kalian siap?” Zayn melanjutkan ucapannya. Matanya menatap kearah Perrie. Aku suka melihat mata orang jatuh cinta. Mata keduanya pasti akan bersinar ketika saling menatap satu sama lain.
Kapan aku bisa seperti itu. Aaahhh… Sudahlah…
“Tentu saja kami siap…” Perrie melingkarkan tangannya dileher Zayn, lalu mengecup singkat bibir Zayn.
Damn! Aku iri!
Perrie menatap ketiga temannya yang sedang asyik dengan ponsel mereka masing-masing.
Sedangkan mataku, keduanya tetap terpaku pada Jade.
Jade menyita perhatianku.
Tiba-tiba saja Jade mengalihkan pandangannya kearahku.
“Ada apa?” ia bertanya sambil tersenyum dan sedikit memiringkan kepalanya.
Aku menggaruk tengkukku yang sumpah demi apapun tidak gatal sama sekali sambil tertawa pelan.
“Ehh.. Itu.. Umm.. Anu.. Eh.. Tidak kok, tidak ada apa-apa..” Sial. How stupid I am!
“Waktunya bersiap girls!!” seseorang berteriak dari pintu disudut ruangan.
“Kami pergi dulu…” Perrie kembali mencium Zayn, kali ini agak sedikit lebih lama.
Jade sempat menatapku sejenak sebelum akhirnya ia menghilang dibalik pintu ruangan wardrobe.

Author’s POV

Konser baru saja dimulai. Sekarang Little Mix sedang menyanyikan lagu Change Your Life.
Little Mix berhasil membuat seluruh penonton berteriak dan ikut bernyanyi bersama mereka.
Hanya saja…. Liam, Niall dan Harry. Mereka tidak terlalu mengenal lagu-lagu Little Mix.
Harry. Jade berhasil menyita perhatiannya sejak tadi. Sejak ia sudah kembali duduk dikursi penonton. Sejak Jade naik keatas panggung bersamaan dengan Perrie, Leigh dan Jesy. Jade mengenakan shortpants dan croptee tanpa tanktop kali itu. Seluruh detail dari Jade membuat Harry tergelitik, membuat Harry ingin mengenal Jade lebih jauh.
“Bisa kita ke backstage lagi nanti?”

Harry’s POV

“Mau apa sih ke backstage lagi?” Niall berbisik ditelingaku.
“Biarkan sajalah, Zayn mau menemui Perrie lagi tahu?” Aku berbohong sedikit. Tentu saja aku juga mau menemui Jade lagi.
Kami tiba didepan pintu backstage.
Apa aku sudah terlihat baik? Apa rambutku sudah rapih?

Jade’s POV

Aku sedang melepas anting-antingku ketika Zayn dan ketiga temannya masuk kedalam ruangan make-up Little Mix. Harusnya mereka berlima kan? Perrie bilang, satu lagi bernama Louis Tomlinson, sedang bersama pacarnya dan tak bisa ikut.
Satu diantara mereka tersenyum kearahku ketika keempatnya sudah duduk disofa sebelah pintu masuk. Aku tahu betul siapa dia. Harry Styles. Dulu rambutnya curly. Dulu. Sekarang sudah tidak. Masih sih… Tapi tidak seluruhnya curly seperti dulu…
Ia tampan. Tentu saja. Siapa yang bilang tidak?
Malah menurutku, ia yang paling tampan diantara member One Direction lainnya.
Aku melangkah melewatinya ketika aku akan mengganti pakaianku diruang ganti. Konser sudah selesai, dan sekarang sudah larut malam.
“Hey..” Harry menahan lenganku, membuatku menghentikkan langkahku. Aku tersenyum kearahnya.
“Hey..” balasku.
“Mau minum sebentar?” Harry melepaskan genggamannya dilenganku.
Minum? Apa ia baru saja mengajakku ke bar?
“Maaf.. Tapi aku tidak minum-minum…” Tolakku halus.
Memang benar, alkohol tidak bagus untuk penyanyi bukan?
Harry menggaruk tengkuknya, ia menggigit pelan bibir bawahnya. “Umm… Bagaimana kalau minum kopi?”
Biarkan aku berpikir. Mungkin ia hanya ingin berteman. Apa salahnya jika aku menerima tawarannya. Lagipula, tak akan ada yang marah jika aku pergi minum kopi dengannya. Ia baru saja putus dari Taylor Swift beberapa bulan lalu kan?
“Baiklah…. Kapan?” tanyaku.
Wajah Harry berubah sumringah. Aku suka melihat wajahnya. Jujur saja…
“Kapan kau bisa?” Ia bertanya.
Kapan ya……. Jadwal konserku masih padat. Dan waktu kosongku hanya ada ditenggat waktu sesudah konser hingga esok pagi.
“Bagaimana kalau sekarang?” kataku.
Ekspresi Harry berubah terkejut. “Sekarang? Memangnya kau tidak kelelahan? Um… Sebaiknya tidak usah kalau aku menggangu waktu istirahatmu..” Harry menundukkan kepalanya, kemudian ia memasukkan kedua telapak tangannya kedalam saku celananya.
Aku tersenyum. Ia benar, aku memang lelah. Aku melihat wajahnya lagi. Ada garis kecewa jelas terlihat dimata hijaunya.
“Tidak apa-apa… Aku tidak terlalu lelah kok…” Aku menepuk sebelah bahunya beberapa kali. Ia tersenyum, kedua alis matanya terangkat naik.
Aku segera mengganti pakaianku.

Author’s POV

Harry dan Jade turun dari Range Rover hitam yang dikendarai Harry.
“Kau sering kesini?” Tanya Jade, ia tak bergerak dari tempatnya, disamping pintu mobil. Tempat ini………..

*flashback*

“Memangnya kau pikir aku ini siapa? Pacarmu, huh?” Skandar menyesap kopi dicangkirnya, sebelah sudut bibirnya terangkat, tersenyum mengejek kearah Alona, sahabat lama Jade.
“Kukira… Hubungan kita selama ini…” Alona menitikkan air matanya lagi dan lagi.
Ada ditengah-tengah pasangan yang sedang bertengkar membuat Jade merasa canggung.
“Kurasa aku harus keluar dulu..” Jade bangkit dari kursinya. Baru beberapa langkah Jade meninggalkan meja….
“Selama ini aku tidak menyukaimu. Aku lebih memilih Jade..”
Skandar berbicara. Cukup jelas bagi Jade untuk mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Skandar. Langkah Jade terhenti.
Hatinya berdegup lebih cepat. Kakinya menolak untuk bergerak. Apa yang baru saja Skandar katakan, pasti akan membuat Alona membencinya.
“Kau dengar aku kan Jade? Aku menyukaimu..”
Jade merasakan dua tangan melingkari pinggulnya, lehernya merasakan nafas hangat yang keluar dari lubang hidung Skandar, membuat darahnya terasa berdesir.
Tubuh Jade terasa kaku, ia tak mampu mencerna apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Beberapa detik kemudian, Jade tersadar. Ia segera melompat keluar dari dalam pelukan Skandar.
Jade menolehkan kepalanya kearah Alona. Alona masih menangis disana, menatap apa yang sedang terjadi diantara sahabatnya dan “pacarnya”.
“Alona… Ini tak seperti yang kau pikirkan.. Aku bersumpah…” Jade melangkah cepat kearah Alona, kemudian memeluk Alona.
Sepuluh detik, dan Alona tak membalas pelukannya, sampai akhirnya Alona mendorong Jade keras-keras, Jade mundur beberapa langkah, Alona bangkit dari kursinya, melangkah mendekati Jade, hingga berhenti lima belas senti didepan Jade. Jari telunjuk Alona terangkat, menunjuk tepat kewajah Jade.
“Kau… Kukira kau sahabatku…”
Alona menurunkan telunjuknya, pandangannya beralih kearah Skandar. Sedang tersenyum licik.
“Kau… Kalian berdua sama-sama busuk!!!” Alona mengambil tas tangannya, kemudian berjalan cepat meninggalkan restaurant.
“Alona!!!” Panggil Jade. Namun Alona tetap melanjutkan langkahnya tabpa sedikitpun menoleh lagi.
Jade hendak mengejar Alona ketika tiba-tiba saja Skandar menarik tangan Jade keras-keras, membuat Jade masuk lagi kedalam pelukan Skandar dan membuat bibirnya tertempel dibibir Skandar. Jade terdiam.
Ia pernah menyukai Skandar.

*flashbackend*

“Jade? Jade?” Jade tersadar ketika Harry melambai-lambaikan telapak tangannya didepan wajah Jade.
“Oh.. Maaf..” Jade sedikit memijit keningnya, kemudian tersenyum simpul kearah Harry.
“Kau baik-baik saja?” Harry menyentuh sebelah bahu Jade.
Jade mengangguk.
“Apa sebaiknya kau kuantar keapartment saja, Jade?”
Jade merapatkan mantel cokelatnya. “Tidak apa-apa. Ayo masuk..” Jade melangkah cepat kedalam café, ia tak ingin Harry melihat air matanya yang sudah menggenang dipelupuk matanya. Secepat mungkin, Jade menghapus air mata tersebut.

Harry’s POV

Jade tertawa ketika aku melepaskan sebuah lelucon. Aku suka suara tawanya.
Membuatnya tampak jauh lebih cantik. Apa aku menyukainya?
Pantaskah aku?
“Kau tidak mau memesan makanan?” Tanya Jade. Aku mengedikkan kedua bahuku.
“Kurasa aku tidak lapar, kau mau memesan? Lapar ya?”
Jade tersenyum. “Sedikit. Kurasa aku akan memesan sandwich saja…”
Aku mengangguk, kemudian memanggilkan seorang pelayan.
“Apa café ini menjual sandwich?”
Aku tersenyum ketika melihat Jade bertanya pada pelayan. Rahang dan pipinya yang bulat bergerak naik turun saat ia berbicara. Kulitnya kecokelatan, sangat lucu.
“Ya. Ada sandwich isi daging, ayam dan kalkun…”
Jawab pelayan sambil menunjukkan gambar beberapa sandwich.
“Aku mau yang isi kalkun. Extra cheese…” Ujar Jade.
“Baiklah. Kau mau tambah sesuatu, umm.. Mr. Harry Styles..?”  Tanya sang pelayan kearahku.
Aku menatap cangkir espresso ku yang masih terisi penuh. Aku dan Jade hanya mengobrol sejak tadi, aku sampai lupa kalau aku sudah memesan espresso barusan. Jade menyita perhatianku.
Aku menggeleng. “Tidak, terima kasih…” Kataku.
Pelayan itu pergi meninggalkan aku dan Jade, lalu lima menit kemudian pelayan itu kembali dengan sandwich pesanan Jade.

Jade’s POV

“Pesananmu…” Pelayan berseragam cokelat ala café itu meletakkan piring berisi sandwich kalkun pesananku.
Aku tersenyum berterima kasih.
Harry terus memperhatikanku sejak tadi. Aku tahu itu, matanya tak pernah lepas dari wajahku sejak tadi.
“Kau mau?” Aku mendorong piring sandwich tersebut kearah Harry. Lalu Harry mendorong kembali piring tersebut kearahku.
“Kau saja, aku tidak lapar…” Ia tersenyum. Harry sangat baik. Ia mampu memperlakukan wanita dengan sangat baik, menurutku.
Baru saja aku akan menyuapkan potongan sandwich kedalam mulutku, aku dapat merasakan tepukan dibahu kiriku.
Aku meletakkan kembali garpuku, kemudian menoleh, dan ketika aku menoleh.
Ada dia disana. Dia yang dua tahun lalu memecah persahabatanku dengan Alona. Skandar. Ia tersenyum kearahku, senyum itu bahkan masih sama seperti dulu.
“Hai….” Ia bicara.
Aku tak menjawab. Terlalu enggan. Dulu, ketika Skandar memutuskan hubungannya dengan Alona, ia memintaku untuk menjadi kekasihnya, dan dengan bodohnya, aku justru menerimanya.
Alona tak lagi terlihat sejak itu. Dan hubunganku dengan Skandar, kesalahan terbodohku itu hanya berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Skandar egois dan kasar. Ia tak bisa memperlakukan wanita dengan baik. Ia berbeda dengan Harry. Tentu saja.
“Pergi Skandar, kita tidak punya urusan lagi..”
Aku membalikkan tubuhku lagi, lalu melihat Harry, sednag menatap tajam kearah Skandar. Kemudian pandangannya teralih kearahku, ekspresinya berubah khawatir, kemudian telapak tangannya, bergerak mendekati telapak tanganku, ia menggenggamnya, dan meremasnya dengan lembut. Berusaha berkata ‘tenanglah….’
“Jadi kau mengencani Harry Styles setelah kau terkenal, Jade?”
Ini kali pertama ku lagi bertemu dengan Skandar setelah kurang lebih satu tahun sembilan bulan yang lalu. Semenjak aku mengikuti audisi X-Factor, memenangkan ajang pencarian bakat tersebut bersama ketiga temanku, dan menjadi terkenal seperti sekarang. Little Mix.
“Sudahlah, aku sudah katakan kalau kita tidak punya urusan lagi, kan?” Aku menolehkan kepalaku kearah Skandar.
Skan sedikit berubah, dadanya semakin bidang, mungkin akhir-akhir ini ia rajin berolahraga.
Rambutnya berwarna cokelat kemerahan sekarang, dulu rambutnya hitam.
“Alona sudah kembali ke London..”
Aku hampir tersedak ludahku sendiri kala itu.
Alona? Kembali ke London? Jadi… Kemana saja ia selama ini? Apa ia tetap membenciku?
“Maka dari itu, kurasa kita perlu bicara…”
Aku bangkit dari tempat dudukku, Harry menahan pergelangan tanganku. Ia jadi berbeda ketika Skandar datang.
“Kau… Apa tidak apa-apa?” Harry menatap khawatir.
Aku mengelus tangannya, kemudian melepaskan genggamannya perlahan. “Tenanglah.. Tunggu sebentar ya..”
Aku berjalan menjauh bersama Skan.

Harry’s POV

Seorang pria menghampiri aku dan Jade ketika Jade baru saja akan memakan sandwich pesanannya. Wajah Jade berubah pucat ketika pria itu datang.
Kalau aku tidak salah, Jade menyebutkan Skandar tadi. Itu pasti namanya. Dan Alona, sepertinya itu nama seorang perempuan. Dan aku tahu, diantara Jade, Skandar dan Alona, pasti pernah terjadi suatu hal yang penting. Jade kelihatan tidak menyukai Skandar.
Jade dan Skandar terlihat sedang berdebat. Dua tangan Jade terlipat didepan dadanya, ia terlihat emosi, berkali-kali ia menghembuskan nafas yang kelihatannya terasa sangat berat.
Sedangkan Skandar, Skandar sama emosinya dengan Jade. Dua tangannya bertolak pada pinggangnya. Aku tak bisa ikut campur. Bahkan aku baru saja mengenal Jade beberpa jam yang lalu.
Ponselku bergetar. Itu Zayn. Ia menelepon.
“Hallo?”
“Hallo, kau bawa Jade kemana?” Suara perempuan. Sudah pasti itu bukan Zayn. Sepertinya suara Perrie.
“Kami.. Ada di café dekat arena, ada apa?” balasku.
“Sudah pukul satu sekarang, jangan terlalu larut ya, kasihan Jade, ia pasti kelelahan, dan jangan lupa untuk mengantarkannya pulang Harry!” perintah Perrie. Ia sama cerewetnya dengan Zayn.
“Baiklah.. Baiklah.. Eh, kau tahu menahu soal Skandar dan Alona tidak?” tanyaku.
“Skan…………Skandar?”
Kedengarannya Perrie terkejut.
“Memangnya ada apa bertanya tentang Skandar…? Dan… Alona…” tambah Perrie.
“Skandar ada disini. Kelihatannya sedang berdebat dengan Jade..” Kataku.
“Sebaiknya cepat bawa Jade pulang…”
Sambungan telepon terputus. Eh.. Memangnya ada apa sih?
Jade berjalan cepat kearah meja. Matanya basah, pipinya basah. Ia mencoba menghapus air mata yang membasahi mata dan pipinya dengan tangannya. Aku dapat melihat Skandar berjalan cepat keluar dari café.
Jade berhenti didepan meja. Ia hanya terdiam sambil menatapku dengan matanya yang basah, tidak kembali duduk dikursinya. Membuatku mau tak mau ikut berdiri. Aku mendekatinya.
Jade berusaha tersenyum disela-sela air matanya.  Aku tak suka jika ia seperti ini. Aku tak suka Jade yang seperti ini.
“Are you, Ok?” Tanyaku. Tapi betapa bodohnya aku, melihatnya seperti itu sudah cukup menjelaskan  kalau ia tidak baik-baik saja.
“I’m ok…” Elak Jade. Ia menatapku, berkali-kali tangannya naik untuk menghapus air mata yang hendak mengalir turun kepipinya.
“Sorry, but I know you’re not..” Aku memeluknya, kemudian Jade kembali menangis didalam pelukanku.
Berada seperti ini membuatku merasa harus melindungi Jade. Dan darisitu aku tahu jika aku menaruh hati pada Jade.
Jade mendorong tubuhku, membuat aku melepaskan pelukanku. Jade menghapus air matanya.
“Kurasa aku akan pulan…” Jade menyambar tas tangannya, kemudian berjalan cepat. Aku mengejarnya, kemudian menahan pergelangan tangannya.
“Aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian…”
Jade berbalik, kemudian menarik nafas panjang, lalu mencoba tersenyum.
“Tidak apa-apa.. Apartmentku hanya tiga blok darisini..” katanya.
“Aku tidak peduli. Yang pasti aku tetap harus bertanggung jawab..”
Jade tersenyum, lagi. Kemudian mengangguk.
“Baiklah…”

Jade’s POV

“Terimakasih..” Aku keluar dari dalam mobil Harry. Tanpa bicara apapun lagi dan tanpa menunggu jawaban Harry, aku langsung masuk kedalam apartment.
Hatiku sedang kacau. Dan aku tak ingin laki-laki sebaik Harry ikut-ikutan masuk kedalamnya. Aku tak ingin Harry merasa bersalah karena telah mengajakku ke café yang kami datangi tadi. Tempat aku dan Skandar, akhirnya bertemu lagi setelah beberapa lama. Aku menolehkan kepalaku ketika aku sudah tiba di lobby apartment. Mobil Harry masih ada diluar, tetap Harry tidak mengejarku. Baguslah..
Aku masuk kedalam lift, kemudian naik kelantai empat. Lift kosong, dan entah kenapa, biasanya aku takut naik lift sendirian. Tapi tidak sekarang, justru aku lebih takut kalau sewaktu-waktu Alona datang untuk mencecarku. Atas semua kejahatan dan kesalahan yang telah aku perbuat padanya dulu.
Aku masih merasa bersalah, tapi terlalu takut untuk menghubunginya, untuk hanya sekedar meminta maaf padanya. Lift berdenting, kemudian pintunya terbuka. Aku mempercepat langkahku menuju apartmentku. Setelah sampai didepan pintu apartment, aku mencoba membukanya, sayangnya pintu itu terkunci. Ketika aku hendak memencet bellnya, pintu itu tiba-tiba saja terbuka.
“Jadi? Darimana saja? Apa yang terjadi denganmu?” Itu Zayn. Hendak keluar dari dalam apartment. Tapi tidak jadi. Ia malah menuntunku masuk kedalam apartment.
“Jade?” Leigh baru saja keluar  dari dalam kamarnya.
“Apa yang terjadi?” Jesy yang sedang menonton televisi bangkit dan ikut menuntunku, kemudian mendudukanku di sofa.
“Jade? Mau kubuatkan teh?” Itu suara Perrie. Aku senang ada mereka. Mereka yang selalu menghiburku ketika keadaanku atau suasana hatiku sedang tidak baik. Zayn juga. Ia sering sekali datang ketika tidak ada jadwal perform. Ia adalah pacar dan teman yang sangat baik.
“Sebaiknya buatkan saja, sayang…” Zayn tersenyum kearah Perrie, kemudian menghampirinya.
“Mari kubantu..” Zayn merangkul Perrie. Kemudian melangkah menuju dapur.
“Jadi… Kau bertemu Skandar?” Leigh bertanya.
Ketiga sahabatku, mereka tahu semua tentang masalahku dengan Skandar dan Alona. Aku yang menceritakan semua itu. Tapi bagaimana mereka bisa tahu kalau aku baru saja bertemu Skandar.
“Harry yang memberi tahu kami…”
Jadi Harry.. Harry tidak bicara apa-apa ketika sedang didalam mobil tadi. Beberapa kali aku meliriknya, namun enggan untuk bicara. Aku merasa tidak enak hati karena sudah bersikap tidak sopan. Caraku berterima kasih tadi…
“Iya.. Dia sudah disini.. Dan ia akan baik-baik saja…”
Aku sedikit menolehkan kepalaku, kemudian mendapati Zayn dan Perrie berjalan menghampiri sofa. Ponsel Zayn tertempel ditelinganya. Jelas terlihat kalau ia sedang terhubung dengan seseorang diseberang sambungan telepon.
“BaiklaH. Yap. Ya.. Baik, akan kusampaikan padanya nanti.. Oke.. Aku akan pulan sebentar lagi. Baiklah, bye..” Zayn menyudahi teleponnya, ia memasukkan ponselnya kedalam saku cream chinnosnya.
“Harry mengkhawatirkanmu, Jade..” Perrie meletakkan cangkir berisi teh.
Aku menarik nafas panjang. Jadi Harry yang menelepon. Tapi.. Harry mengkhawatirkanku?
Aaahh.. Itu hanya satu hal yang wajar, kan?
“Terima kasih tehnya Perrie, tapi sebaiknya aku tidur saja…” Aku bangkit dan berjalan cepat menuju kamarku.

Harry’s POV

Sudah pukul tiga pagi sekarang, tapi mataku tetap tak mau terpejam. Aku masih mengkhawatirkan Jade. Sedang apa ya dia sekarang…
Aku sedang berbaring di sofa , menatap langit-langit apartment, ada wajah Jade disana.
Pintu apartment terbuka, aku selalu lupa untuk  menguncinya, yang lain juga seperti itu.
Zayn muncul saat pintu terbuka, kemudian ia menutup lagi pintunya perlahan, lalu menguncinya.
“Oh.. Hai..” Kataku saat Zayn menutup pintu.
Zayn kelihatan sedikit terkejut, kemudian ia berbalik dan menatapku. Lalu tersenyum simpul sambil melempar lalu menangkap lagi kunci apartment ditangannya.
“Kenapa tidak tidur?” Tanya Zayn.
Aku mendudukkan tubuhku, lalu Zayn ikut duduk disebelahku.
“Apakah Jade baik-baik saja?” Tanyaku.
Zayn tidak menjawab, ia justru tersenyum, kemudian merebahkan kepalanya disandaran sofa, aku mengikutinya.
“Kau menyukainya, ya?” Tanyanya langsung.
Aku tertawa pelan, kemudian menolehkan kepalaku kearahnya.
“Kenapa berpikir seperti itu?” Tanyaku.
Memangnya jelas terlihat kalau aku menyukai Jade ya? Eh? Memangnya aku menyukai Jade ya? Aahh.. Tidak tahu lah…
“Aku hanya menebak. Kurasa kau memang menyukainya..”
“Lalu, kalau aku menyukainya?”
Zayn menoleh cepat kearahku, kami jadi saling bertatapan sekarang.
“Kau mudah sekali jatuh cinta ya? Tapi kusarankan, sebaiknya jangan mainkan perasaannya. Kau mau diamuk Perrie nanti?”
Aku tertawa pelan. “Kau ini ada-ada saja. Aku tidak tahu Zayn, ada perasaan berbeda ketika aku dekat dengannya. Ia mencuri perhatianku sejak awal kita bertemu tadi malam. Ia mencuri hatiku sejak awal kita bertemu…”
Sekarang giliran Zayn yang tertawa.
“Sejak kapan kau berubah puitis seperti itu?”

Jade’s POV

“Hari ini Zayn tidak datang?” Aku mendengar suara Jesy, bertanya kearah Perrie.
Kami baru saja selesai dengan satu lagi konser kami, dan sedang melepaskan semua aksesoris-aksesoris kami.
“Tidak. One Direction diundang ke Ellen Show lagi malam ini..”
Ujar Perrie sambil melepas anting-antingnya.
“Jade. Kau terlihat murung sejak tadi..”
Leigh mengelus pelan bahuku, sementara Perrie dan Jade menatap khawatir kearahku.
Aku tersenyum sampai kemudian, aku menundukkan kepalaku, menatap ketiga sahabatku sebentar, lalu menggeleng. “Aku baik-baik saja, tenanglah…”
Beberapa waktu kemudian, ponselku berdering.
Nomor ponsel tak dikenal muncul dilayarnya.
“Angkat saja, siapa tahu penting..” Jesy mengambil ponselku dari atas meja rias, kemudian menyerahkannya padaku.
Mereka tahu sekali kalau perasaanku sedang kaau, sedang kalut.
“Ha… Hallo?” Suaraku terdengar aneh sekali ketika itu.
“Hallo, Jade?”
Suara itu… Pikiranku kembali melayang keperistiwa satu tahun silam.

*flashback*

“Maaf, tapi ini apartmentku sekarang. Alona sudah pindah dua hari yang lalu..” Seorang ibu paruh baya yang membukakan pintu apartment Alona ketika aku mengunjungi Alona, tepat tiga hari setelah peristiwa di café itu terjadi.
“Apa kau tahu kemana ia pindah?”
Ibu itu menggeleng, lalu bicara. “Siapa namamu? Skandar? Atau.. Umm.. Jade?”
Dheg! Bagaimana ia bisa tahu tentang aku? Tentang Skandar?
“Aku.. Umm.. Jade..”
Tentu saja aku Jade. Aku wanita. Dan Skandar adalah nama untuk laki-laki, bukan?
Ibu itu memberikan amplop kecil kearahku. Kecil. Mungkin tujuh kali sepuluh senti. Warnanya merah muda , sementara tangan kanannya menyerahkan amplop merah muda tersebut kearhku, sebelah tangan kirinya memegang amplop yang sama ukurannya, hanya saja warnanya biru.
“Alona menitipkan ini. Sudah ya, aku sedang merebus air..”
Pintu itu tertutup kencang.
Aku segera membuka amplop tersebut, ada selembar notes kecil yang terlipat dua didalamnya. Tulisan tangan Alona. Hanya dua baris kalimat. Namun menyisakan dua sekat perih dihatiku.
“Jangan cari aku.
Aku benci kau Jade.”
Hanya itu.

*flashbackend*

“Alona?”
Ketiga temanku serempak menoleh ketika aku menyebutkan nama itu.
“Bagus. Kau masih mengingatku. Aku hanya ingin mengatakan hi. Dan.. Yah.. Hanya itu saja..”
Crap! Aku harus bicara apa sekarang.
“Alona..”
“Yup?”
“Aku minta ma-“
“Tidak usah minta maaf. Sudah terlanjur. Lagipula aku sudah tidak memikirkan semuanya. Skandar sudah bersikap cukup baik. Dan kuharap kau juga..”
Sambungan telepon terputus.

Harry’s POV

“Jadi… Kao mauo melaukukaen ithu suekharwang?” Liam bertanya sambil terus menyikat giginya.
Aku menatap engsel pintu kamar mandi, sambil terus bersandar disalah satu sisi pintunya.
“Aku menyukainya. Dan aku sudah tak sanggup membendung perasaanku padanya. Tak peduli meskipun Jade tidak menerimaku, setidaknya aku sudah mencoba, kan?” kataku.
Liam baru menjawab ketika ia selesai dengan giginya. “Sejak kapan kau berubah puitis seperti itu?”

Jade’s POV

Aku sedang duduk bersandar di coach, dibalon apartmentku.
Alona datang keapartment tadi malam. Ia tidak marah-marah. Ia datang secara baik-baik.
Ia menceritakan semuanya. Tentang awal pertemuannya lagi dengan Skandar, dua bulan yang lalu. Ketika Skandar bercerita kalau ia masih saja mencintai dan mengharapkan aku. Well, aku tidak terlalu percaya dengan yang satu itu. Malam ketika di café saat aku bertemu lagi dengan Skandar.. Skandar tidak mengatakan hal yang sama, justru sebaliknya. Skandar merasa bersalah terhadap Alona, dan jelas begitupun aku…
“Jade.. Harry datang…” suara khas Perrie terdengar.
Harry? Datang? Tapi… untuk apa?
Aku segera bangkit, mengecup pipi Perrie sekejap, lalu menghampiri Harry diruang tamu.
“Harry? Ada apa?”
Harry kelihatan keren kala itu. Well, ia memang selalu keren, kan?
“Mau jalan-jalan sebentar?”
Tanya Harry.
Aku mengedikkan dua bahuku. Kurasa tak ada salahnya. Tak enak juga kalau aku harus menolak ajakan Harry. Harry sangat baik. Aku suka.
“Baiklah, aku ambil tas sebentar..”

Harry’s POV

Aku dan Jade memutuskan untuk duduk sebentar setelah berkeliling. Kami duduk disalah satu bangku, dibawah pohon, ditaman tengah kota.
“Jade…” Aku menggenggam tangannya. Jade kelihatan sedikit terlonjak.
“Ada apa?”
Ia membiarkan tangannya ada dalam genggamanku.
“Aku… Aku.. Menyukaimu, sejak awal kita bertemu. Kau selalu bersikap baik padaku. Dan untuk itulah aku berani untuk menyatakan perasaanku padamu. Kurasa kau juga menyukaiku, Jade.. Aku mau kau menjadi kekasihku..”
Tepat ketika aku selesai dengan kalimatku, Jade menarik cepat tangannya.

Jade’s POV

“Aku… Aku.. Menyukaimu, sejak awal kita bertemu. Kau selalu bersikap baik padaku. Dan untuk itulah aku berani untuk menyatakan perasaanku padamu. Kurasa kau juga menyukaiku, Jade.. Aku mau kau menjadi kekasihku..”
Dheg! Hatiku terasa mencelos ketika itu.
Secepat mungkin kutarik keluar tanganku dari genggaman tangan Harry.
“Ma… Maaf Harry.. Aku tidak bisa..”
Ekspresi Harry berubah, kedua alis matanya terlihat turun, terlihat kecewa.
“Ta.. Tapi.. Tapi kenapa? Kukira kau menyukaiku..”
Aku memang menyukaimu. Tapi sukaku berbeda. Bukan suka dalam artian suka.
Masih ada Skandar. Sudah beberapa lama, tapi perasaanku, pikiranku. Tak pernah berpaling darinya. Ia orang pertama yang membuatku jatuh cinta. Meskipun sikapnya tak pernah sebaik Harry. Tapi tetap saja, aku mencintainya. Dan hanya dia.. Skandar, bukan Harry..
“Aku.. A.. Ada orang lain..”
Harry menatap lurus kedepan, kearah kolam ditengah taman. Ada sepasang kekasih disana.
Mata Harry menatap nanar. Ketika air mataku hampir menetes…
“Sebaiknya kita pulang…”



Harry’s POV

Aku tak mengerti. Hatiku  tak pernah sehancur ini sebelumnya. Jade… Tidak menyukaiku… Kukira ia menyukaiku. Kukira harapan itu ada. Baik-baik saja kalau Jade hanya tidak menyukaiku. Tapi… Ada orang lain?
Lalu bagaimana selanjutnya? Bagaimana? Bagaimana Harry? Bagaimana Jade? Bagaimana Tuhan? Bagaimana….
Bagaimana.. Kalau aku mencintai Jade, dari kekurangannya, kelebihannya. Bagaimana jika semua benar terjadi.. Tapi tunggu.. Itu semua sudah terlanjur. Semuanya terlanjur sudah.. Sudah terjadi..
Aku terlanjur mencintainya…
Aku terus melangkah pongah, sementara langkah Jade lebih cepat. Ia sudah masuk kedalam mobilku.

Jade’s POV

Aku dan Harry sedang dalam perjalanan pulang sekarang. Harry hanya diam, berkali-kali matanya terlihat ‘hampir’ basah. Mungkinkah itu… Mungkinkah ia menangis…
Aku tetap memfokuskan pandanganku kedepan. Berusaha agar mataku tak meliriknya.
“Jade…” Harry menyebut namaku.. Suaranya terdengar parau. Namun sisi lembutnya tak pernah hilang.
Aku tak menjawab.
“Boleh aku tahu siapa orang itu?”
“Tidak, sebaiknya jangan..”
“Apa ia temanku?” cecar Harry penasaran, ia menatapku sekarang.
“Perhatikan jalannya Harry..” kataku sambil memijit keningku dan mengalihkan pandanganku kearah jendela disebelah kananku.
“Apa aku mengenalnya?”
Aku tak menjawabnya..
“Jade.. Jawab aku..”
“Bisakah kau diam!?” Aku naik pitam.
Harry. Air mata mengalir dipipinya.
“Aku hanya ingin kau tahu kalau aku terlanjur mencintaimu..”
Aku baru akan menoleh kearahnya ketika tiba-tiba ada truk didepan kami.
“Harry!! Awas!!”
Aku dapat mendengar bunyi benturan. Keras. Sangat keras. Salahku, aku tak memakai seat beltku. Tubuhku terbentur beberapa kali. Telingaku berdenging,
“Jade!! Ahh!! Jade!! Astaga!! Aww!! Astaga!!” Aku dapat mendengar Harry menyebutkan namaku berkali-kali. Benturan sudah berhenti. Sekarang aku tak lagi dapat mendengar apapun selain suara dengingan ditelingaku. Aku tak lagi dapat mendengar suara Harry. Posisi mobil terbalik sekarang. Aku dapat melihat Harry sekarang. Wajahnya dipenuhi darah, ketika aku dapat merasakan sesuatu mengalir didahiku, dan nafasku terasa mencekat… Semuanya gelap.

Author’s POV

Perrie, Jesy, Leigh, Zayn, Liam, Niall dan Louis berlari bersamaan dilorong rumah sakit. Mereka menuju kesatu tempat yang sama. Ruangan UGD. Tempat kedua sahabat mereka ditangani oleh tim medis.
Mereka berhenti tepat didepan ruang UGD.
“Astaga Niall… Apakah Harry akan baik-baik saja?” Louis bicara, nafasnya masih saja memburu. Panik. Sekaligus lelah berlari.
Perrie, Jesy dan Leigh masih menangis.
Sementara Zayn dan Liam bertugas menenangkan.
“Tenanglah… Kita berdoa saja…” Niall menepuk pelan bahu Louis. Padahal ia sama khawatirnya.

Perrie’s POV

Aku benci dengan kenyataan ini. Dua teman kami mengalami kecelakaan. Ada Zayn yang meredakan tangisku. Tapi tetap  saja tak bisa dipungkiri, aku khawatir.
Kami sudah menunggu dua jam lebih didepan ruang UGD.
Lalu beberapa waktu kemudian, seorang dokter keluar dari dalam ruangan UGD. Pintu terbuka kencang, menciptakan suara bising.
“Apa mereka akan baik-baik saja dok?” Jesy yang bertanya lebih dulu.
“Kita hanya bisa menunggu. Mereka berdua kritis. Sebaiknya, kita mendoakan mereka…”
Tak bisa dibendung lagi. Tangis kami pecah, bahkan Zayn dan Liam yang sedari tadi menenangkan aku, Jesy dan Leigh, mereka ikut menangis.
“Kalian bisa melihat mereka, tapi jangan berisik…” Dokter berjalan cepat meninggalkan pintu UGD.

Author’s POV

Sudah satu minggu. Tapi Harry dan Jade belum juga sadar dari koma-nya.
“Harry, kami semua khawatir, lebih baik kau bangun..” Anne, ibu dari Harry. Jelas saja, ia yang paling khawatir disini.
Leigh terlihat berbisik ketelinga Harry. “Harry, bangunlah, temui Jade sebentar, ia tidak mau bangun, sama sepertimu..”
Tepat setelah kalimat Jade selesai, jari jemari Harry bergerak-gerak.
“Astaga!! Harry sadar!!” Anne berteriak.
“Biar aku yang panggil dokter!!” Gemma, kakak Harry berlari cepat keluar kamar rawat.

Harry’s POV

Cahaya temaram mengisi penglihatanku ketika mataku terbuka. Kepalaku terasa berputar hebat. Pandanganku tak bisa fokus selama beberapa saat. Namun perlahan, aku dapat melihat siapa saja dikelilingku. Ibu, Gemma, Zayn, Liam, Niall, Louis, Perrie, Leigh, Jesy, dan seorang laki-laki berjas putih.
Sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi? Dimana aku?
“Hey Harry.. Apa kabar?” seorang pria berjas putih bicara padaku. Kelihatannya ia adalah seorang dokter.
“Kurasa, lebih baik sekarang…” aku memegang kepalaku, kemudian merasakan perih dan lagi-lagi pusing. Ada perban yang melilit kepalaku.
“Lukamu belum pulih, sebaiknya jangan disentuh dulu..” Pria berjas putih itu bicara lagi.
Luka? Ahh!! Aku ingat!! Kecelakaan itu!! Jade!? Bagaimana keadaannya?
“Bagaimana keadaan Jade?” Aku bangkit, aku berusaha mendudukkan tubuhku, sekalipun kepalaku berputar hebat.
“Dokter, Ruangan 365, Jade Thirlwall. Keadaannya gawat!!”
Seorang suster menerobos masuk dan ia berbicara pelan kedokter disebelah ranjangku.
Jade? Gawat?
Dokter itu segera berlari keluar ruangan, diikuti Perrie, Leigh, Jesy, Zayn dan Niall.
“Aku… Aku harus menemui Jade…” Aku menurunkan kakuku, kemudian saat aku baru saja hendak turun dari atas ranjang, ibuku menahan tubuhku.
“Jangan Harry, kau baru saja sadar, kau tahu kalau kau sudah koma selama tujuh hari?”
Aku tak peduli, kutarik lepas infus yang terpasang ditangan kiriku. Aku meringis pelan, damn! Ternyata sakit sekali.
“Harry..” Gemma menahanku dengan memelukku.
“I love you Gemma, tapi aku benar-benar harus menemui Jade.. Aku harus mengejar cintaku..”
Bibir Gemma bergetar menahan tangis. Aku berusaha berjalan, seluruh tubuhku terasa sangat sakit.
Butuh waktu lima belas menit bagiku untuk sampai keruangan Jade.
Dokter keluar ketika aku sampai.
“Fungsi jantungnya melemah!! Kita butuh donor jantung secepatnya!!” Aku mendengar dokter yang tadi ada dikamarku, ia berlarian, bicara kepada beberapa suster.
Jade…. Apa yang terjadi padamu….
“Apa yang terjadi dengan Jade?” Aku dapat mendengar suara Perrie. Dokter itu berdiri diantara kami sekarang.
Tapi bukannya menjawab pertanyaan Perrie…
“Eh! Harry!! Apa yang kau lakukan disini?”
“Jawab saja aku dulu, apa yang terjadi pada Jade?”

Author’s POV

Dokter James McFlint menatap kedelapan orang didepannya. Menuntut penjelasannya atas keadaan Jade kini.
“Jade… Fungsi jantungnya melemah, dan tak bisa lagi menunggu, Jade butuh donoer jantung, sayang sekali, rumah sakit ini tak punya cadangan donor jantung, kami harus mengambilnya dari rumah sakit pusat, dan itu membutuhkan wak-“
“Ambil jantungku.”
Dokter Flint, Zayn, Liam, Niall, Louis, Perrie, Jesy dan Leigh serempak menoleh kearah Harry.
“Kau tidak serius kan? Ambil jantungmu? Ambil nyawamu…” kata Dokter James.
“A… Apapun… itu… A.. Apapun untuk Jade…” Harry bicara terbata-bata, ia memegangi kepalanya. Kepalanya terasa sakit.
“Ambil jantungku, sampaikan maafku, sampaikan salamku, padanya nanti, kalau ia sudah sadar..” kata Harry.
“Tapi Harry!! Kita tidak bisa!! Bagaimana kalau jantungmu tak cocok untuk Jade?”
Harry terisak. “Pasti cocok. Detak jantungnya adalah detak jantungku.”
Harry menyelesaikan kata-katanya. Sampai akhirnya, tubuhnya benar-benar ambruk.

Jade’s POV

Mataku perlahan terbuka. Pandangan yang semula buram, perlahan semakin jelas.
“Hai Jade..” mula-mula Perrie.
“Selamat datang kembali Jade..” Lalu Leigh.
“Kami senang kau kembali..” kemudian Jesy.
Semuanya ada disana… Semua, kecuali Harry.


Sudah tiga minggu semenjak aku sadar dari koma. Dan selama itu juga aku tidak melihat Harry ada disekitarku. Apakah ia baik-baik saja?
Aku masih berbaring diranjang rumah sakit.
“Jesy..” Aku memanggil Jesy yang sedang duduk disofa, sedang membaca majalah. Hanya ada aku dan Jesy didalam ruangan ini sekarang.
“Yes hun?” Balasnya.
“Kemana Harry?”
Perlahan Jessy menatapku, ia menutup majalah dipangkuannya, kemudian melangkah perlahan kearahku. Jesy menggenggam telapak tanganku.
“Kami sengaja tak menceritakan ini semua padamu sekarang…”
Eh? Apa maksudnya? Menceritakan apa memangnya?
“Aku tidak mengerti Jess. Apa yang terjadi dengan Harry? Ia baik-baik saja kan?”
Jesy menitikkan air matanya, kemudian ia menggeleng. Perlahan tangannya bergerak naik kedada kiriku.
“Jantung yang berdetak dalam tubuhmu, jantung ini jantung Harry…”
Petir terasa menyambar tubuhku kala itu.
“Jadi.. Jadi Harry.. Harry sudah tak disini?” Air mataku tak lagi dapat dibendung.
Jesy mengangguk. “Harry ada disurga… ia menunggumu untuk datang dan menemaninya disana..” Jesy berusaha tersenyum.
“Tapi aku menyakitinya, aku membentaknya ketika kecelakaan itu akan terjadi. Aku jahat padanya, apa yang sudah aku lakukan…”
“Sudahlah…” Jesy terus mengelus lenganku.
“Ia mencintaiku Jesy, ia mengatakan itu. Tapi aku tak membuatnya senang. Aku justru mematahkan hatinya disaat terakhir kami bertemu…”
“Ia mencintaimu, dan akan selalu begitu. Ia hidup dihatimu, dijantungmu. Dan akan selalu seperti itu.. Akan tetap seperti itu selamanya…


Aku berdiri didepan pusara Harry. Hujan turun sangat lebat. Aku tak peduli. Itu justru sangat bagus. Hujan membawa air mataku, membuatnya mengalir lebih cepat. Membuatnya tak terlihat oleh siapapun.
Kini aku berlutut didepan pusara Harry.
Berharap dengan begitu, Harry akan memaafkanku.
Aku terlalu bodoh.  Terlalu bodoh menolak seseorang yang telah tulus mencintaiku. Telah memperlakukan aku dengan baiknya.
Aku… Mencintainya. Mencintai Harold Edward Styles. Harry.
Bodohnya aku. Mengapa aku baru menyadari itu sekarang, ketika Harry sudah tak lagi bisa hadir disisiku. Ungkapan itu benar.. Penyesalan selalu datang belakangan.
Mungkin suatu saat, aku akan jatuh cinta lagi pada orang lain. Tapi tidak sekarang, tidak ketika seluruh ruang dihatiku, masih diisi olehnya.
Harry Styles.

No comments:

Post a Comment